Mobil itu melaju membelah jalan di tengah kegelapan malam yang menusuk dingin, sunyi dan sesak. Pria berambut perak yang duduk di belakang kemudi mengemudikan kendaraan dengan hati-hati, berusaha tidak menarik perhatian zombie-zombie yang berkeliaran. Kesunyian menggantung tebal di antara deru mesin dan keheningan malam, tak ada percakapan yang terdengar dari dalam mobil.
Lilith menatap keluar jendela, pikirannya penuh tanya. Apakah di dunia yang hancur ini masih ada mobil? Pikirnya, menatap sekilas pada pria di sebelahnya. Dari mana mobil ini? Apakah pria ini berasal dari zona besar? Atau mungkin dia membawanya dari dunia nyata?
'Oh, bicara soal itu… bukankah aku disuruh membawa tiga item?' batinnya tiba-tiba terkejut. 'Astaga, aku lupa!' Namun, ia menarik napas lega. 'Untunglah aku punya cincin ruang yang penuh perbekalan,' gumamnya dalam hati, sedikit lega.
Matanya kembali melirik pria di sebelahnya yang tampak fokus pada jalan. Sesaat mata mereka bertemu, dan Lilith buru-buru membuang pandangannya, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Entah kenapa, keberadaan pria ini terasa menenangkan, berbeda dengan karakter pria lain yang biasanya ia temui di dunia ini.
Karena kesunyian terasa semakin mengganjal, Lilith akhirnya membuka suara, berniat memperkenalkan diri. Namun, sebelum sempat berbicara, pria itu juga membuka mulut, membuat keduanya terdiam dan merasa canggung.
"Silakan, kau duluan," kata pria itu dengan suara rendah.
"Tidak, kamu saja duluan," balas Lilith cepat, merasa malu.
Pria itu mengangguk pelan. "Baiklah," katanya, menatap lurus ke depan. "Kenapa anda sendirian di tengah malam? Apakah kau tidak punya zona aman?"
Lilith menggaruk kepalanya dengan canggung. "Sebenarnya, aku tersesat saat bertarung dengan gelombang zombie tadi. Maukah kamu mengantarku ke sana? Aku bisa menukar dengan makanan atau air," ujarnya menawarkan. Namun, harapannya segera pupus oleh jawaban pria itu.
"Boleh, tapi saya tidak tahu di mana zona amanmu," kata pria bernama Kian itu sambil meliriknya. "Jika kau mau, anda bisa ikut ke zona aman tempatku. Tenang saja, aku tak punya niat jahat."
Lilith menatapnya, menimbang-nimbang. Akhirnya, dia mengangguk setuju, merasa yakin bahwa ia bisa menjaga dirinya sendiri jika Kian berniat jahat.
" namaku Lilith " ucap Lilith memperkenalkan dirinya yang sempat terputus tadi.
"Hm" dehem kian yang tetap fokus menyetir tanpa menyadari perubahan suasana Lilith.
"Huhh dasar kulkas" gumam Lilith yang tentu saja di sadari kian yang diam diam tersenyum kecil hingga hampir tidak terlihat sedang tersenyum.
Mereka pun sampai di tujuan dan turun dari mobil, melangkah menuju sebuah tempat yang dilindungi perisai berwarna biru kehijauan, berbentuk setengah bola besar. Di dalamnya, suasananya terasa berbeda. Ternyata zona aman itu besar sekali, bagaikan sebuah pasar yang penuh aktivitas. Meskipun di luar tampak kumuh dan berantakan, di dalam terlihat lebih hidup dan teratur. Apakah ini tempat bagi para pengguna kekuatan besar? pikir Lilith, kagum.
"Hei, tunggu aku, Kian!" seru Lilith terengah-engah, kesulitan mengikuti langkah Kian yang panjang dan cepat.
Kian menoleh, melihat Lilith berusaha mengejarnya seperti kura-kura mengejar kelinci. Ia terkekeh, lalu memperlambat langkahnya agar bisa berjalan di samping Lilith.
Lilith ingin marah, tapi malah terpesona. Wajah Kian yang selama ini selalu datar terlihat semakin tampan saat ia tertawa. Tanpa sadar, Lilith bergumam, "Tampan sekali..."
Kian mendengarnya dan menoleh. "Iya, kah?" tanyanya, tersenyum samar.
Malu karena ketahuan, Lilith akhirnya berkata dengan sedikit gugup, "Iya, kalau kamu tersenyum, malah tambah tampan. Sering-sering tersenyum, ya."
Kata-kata Lilith membuat Kian terdiam, merasa ada kehangatan yang asing di hatinya. Ia tertawa lagi, kali ini lepas, perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan sejak usia 13 tahun.
"Berhenti!" seru Lilith yang membuat kian menghentikan tawanya.
"Kenapa?" tanya Kian, ia pun kembali terkekeh saat mendapatkan jawaban yang tak disangkanya, lalu ia pun menikmati reaksi gadis di sampingnya yang begitu polos dan murni.
"Terlalu tampan! Nanti aku bisa pingsan," gumam Lilith, memasang cengiran lucu.
Mereka pun melanjutkan perjalanan sambil tertawa dan bercanda, merasa lebih nyaman dan akrab dibandingkan sebelumnya. Kian merasa ada sesuatu yang berbeda pada Lilith, dan Lilith mulai menyadari bahwa ada sesuatu tentang pria ini yang menarik hatinya.
***
Di tengah malam yang dingin, tiga sosok tampak berjalan tergesa-gesa, berwajah kusut dan lelah. Mereka sedang mencari Lilith, yang entah hilang ke mana. Sensor chip yang terpasang di tubuhnya seharusnya bisa membantu melacak keberadaannya, tapi seolah ada sesuatu yang menghalangi sinyal tersebut yang membuat lucian ingin membunuh penelitinya yang tak becus menjalankan tugas darinya.
"Sialan!" teriak Adrian, frustrasi. Dia baru saja bertemu Lilith setelah sekian lama, tapi kini mereka terpisah lagi. Dengan emosi yang memuncak, ia melampiaskan kemarahannya pada Lucian, menyalahkannya.
Lucian tak terima dipersalahkan begitu saja. "Hei, jangan seenaknya menyalahkan orang!" katanya, mendekat dengan ekspresi menantang. Pertengkaran mereka nyaris meledak, jika Celina tidak segera melangkah di antara keduanya.
"Sudah cukup! Kalian ini apa-apaan? seperti anak kecil saja!" bentak Celina, menghela napas kesal.
Dia memandang kedua pria itu dengan tajam. "Bukankah kalian berdua menyukai Lilith? Kenapa tidak ada yang memperhatikannya saat pertarungan tadi?"
Adrian dan Lucian terdiam, saling pandang sejenak. Keduanya tidak berani menjawab, hanya berusaha menyembunyikan rasa malu. Mereka sama-sama terlalu fokus bertarung, berharap bisa membuktikan diri di depan Lilith. Dalam hati, mereka ingin Lilith melihat betapa kuat dan layaknya mereka sebagai kekasih, tanpa menyadari bahwa Lilith kemudian menghilang.
Celina menghela napas lagi, kali ini lebih lembut. 'Seharusnya aku juga lebih peka. Lilith sering kali tersesat kalau pergi terlalu jauh… tapi aku yang terlalu terpesona dengan kemampuannya, sampai lupa akan hal itu.' batin celina mulai merasa bersalah akan keteledoran dirinya.
Keduanya masih diam, mencoba meresapi perasaan bersalah masing-masing. Mereka tahu Celina benar, dan bahwa perasaan mereka pada Lilith telah membuat mereka bersikap egois.
"Aku bertanya, kenapa diam?" ulang Celina, menatap mereka datar. Ia bisa membaca ekspresi mereka dengan jelas; sejak kecil, ia mengenal mereka berdua dengan sangat baik. Tapi, hubungan mereka mulai renggang saat tumbuh dewasa, dan kini seolah ada tembok tak kasatmata di antara mereka.
Akhirnya, Celina melanjutkan, "Dengan kemampuan Lilith, dia seharusnya akan baik-baik saja. Kita sebaiknya kembali ke zona aman daripada memicu kedatangan zombie yang lebih kuat." Celina mencoba mendorong mereka untuk bergerak, namun Adrian dan Lucian bergeming, masih merasa enggan meninggalkan Lilith.
Kesal, Celina melipat tangan di dada dan mengancam, "Kalau kalian mati di sini, Lilith mungkin akan jatuh ke tangan pria lain. Apa kalian mau itu terjadi?"
Ancaman itu langsung mengena. Kedua pria itu terkejut dan saling berpandangan sejenak, membayangkan kemungkinan tersebut. Dengan wajah tak rela, mereka akhirnya berbalik mengikuti langkah Celina menuju zona aman, meskipun hati mereka masih penuh kekhawatiran dan rasa bersalah yang tertahan.
TBC
.
.
.
.
.Next??
segini dulu ya gaes soalnya bikinnya malam malam gini ngantuk, gara gara kecapean tadi pulang kerja shif siang huhu 😭
1073kata
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi ke novel reverseharem?!
FantasyKarena sebuah undangan misterius di handphonenya, Seli terjebak dalam dunia novel penuh petualangan dengan genre reverse harem. Di dunia novel ini, dia dikenal sebagai Lilith dan akan bertemu karakter-karakter menarik dari lima dunia berbeda yang ma...