Lara bergeming dengan kondisi hati rancu. Tak dia sangka Raka akan berterus-terang mengatakan hal seperti itu padanya setelah selama ini seperti pura-pura tidak tahu apa saja yang sudah Lara lewati sejak berpisah dengannya.
Lebih penting dari itu, Raka ternyata tak benar-benar pingsan!
Apakah jatuh dari pohon adalah teknik dan modus Raka untuk bisa menangkap Lara dan memeluknya seperti ini?
Dengan kesal, Lara mencari titik di tubuh Raka yang bisa dicubit karena hanya itu satu-satunya cara untuknya bisa lepas dari dekapan Raka yang erat.
Karena perut Raka diketahui no lemak dan keras, Lara lantas memilih untuk mencubit pinggang pria itu. Cubitan yang kecil, cukup mematikan.
Sontak, Raka terperanjat begitu cubitan mematikan itu mendarat di pinggangnya. Lara langsung bangkit dengan sigap saat kedua tangan Raka membebaskannya dari dekapan mendadak pria itu.
Dengan wajah merah padam, Lara berdiri menatap Raka yang sudah duduk sambil meringis mengusap-usap pinggangnya.
"Bukannya kemaren lo udah tobat? Udah solat? Kenapa masih ganjen? Kalo kemaren cuman pencitraan, mending nggak usah tobat-tobat lo sekalian!"
Mata Lara memerah. Entah mengapa, mendapati sikap Raka barusan yang memeluk dan membisikkan bahwa dia rindu, Lara jadi sedikit terluka entah bagaimana.
"Lo pikir jatoh dari pohon tuh lucu? Mentang-mentang olahraga, lo pikir pinggang lo bisa ngelawan hukum alam? Lo bisa lumpuh, Ka! Paling enggak gegar otak! Kenapa sih, lo nggak pernah berubah dikit aja? Selalu impulsif nyobain hal berbahaya demi sesuatu! Lo pikir lo keren; pura-pura jatoh dan pingsan cuma demi mancing perhatian gue, modus peluk-peluk, segala bisikin kangen? Lo pikir gue bakalan langsung luluh terus cepet-cepet bawain baju-baju lo buat gue cuci?"
Masih mengusap-usap pinggangnya, Raka mendongak dan menatap Lara yang memarahinya habis-habisan. "Siapa yang pura-pura sih, Ra? Orang beneran kangen ... maksud gue, beneran jatoh .... Nggak tau kenapa ngeliat lo buru-buru pergi, gue jadi panik dan buru-buru turun. Tau-tau malah jatoh ...."
"Bodo amat! Najis banget tetanggaan sama lo, Ka! Bikin sakit kepala!"
Lara lantas berbalik dan berjalan meninggalkan Raka begitu saja. Tak peduli Raka memanggilnya, Lara tetap pergi dan memanjat tembok, lalu berjalan cepat ke rumahnya sembari tidak lupa membanting pintu.
Masih di rumput, Raka yang duduk berselonjor kaki itu kian menghela napas panjang. Hanya ketika sendirian, atau dalam mode serius, ekspresi Raka selalu terekspos apa adanya; dingin, dengan tatapan kosong dan hampa.
Bagaimana ini? Punggungnya benar-benar sakit sekarang.
**
"Gawat, Mas. Punggung Mas musti dioperasi, nih!"
Raka yang sedang dipijat oleh Mbah Otto si tukang pijat langganannya itu sontak menoleh ke belakang dengan ekspresi panik.
"Operasi gimana, Mbah? Emangnya ada yang hancur?"
"Ada. Harga diri Mas yang hancur."
Ekspresi Raka spontan berubah datar. Dia kembali menatap ke depan. Posisinya saat ini tengah duduk bersila dengan dada telanjang, membelakangi Mbah Otto yang menggunakan segenap kekuatan dan kemampuannya untuk memijat otot keras serta punggung lebar pemuda di depannya.
Sudah lama Mbah Otto mengenal Raka. Selain karena Raka selalu kemari setiap ingin pijat refleksi, Raka juga adalah anak dari teman lama Mbah Otto.
Untuk saat ini, hanya Mbah Otto yang bisa Raka jadikan teman. Biarpun Raka merupakan seorang publik figur dengan level relasi yang tinggi, sejatinya dia hanya seorang pria kesepian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Membenci Mantan
Romance"Aku nggak bisa jatuh cinta lagi, karena cintaku habis di kamu." ------------- Perceraian kedua membuat Lara memutuskan untuk sendirian seumur hidupnya. Di luar kendalinya, Raka si pembalap kondang kembali hadir di kehidupannya. Lara yang membenci R...