Delapan

294 17 0
                                    

"Demi ngehormatin keinginan Papa, gue lebih milih jadi editor ketimbang penulis. Nggak jauh-jauh amat, sih. Lingkupnya masih di dunia kepenulisan. Yah, mau gimana. Kemampuan cuma sampe di sana. Sedangkan kuliah jurusan biasa aja gue sampe dibikin bangkrut. Apalagi kalo gue ngambil jurusan teknik? Mending dapet beasiswa. Kalo enggak? Bisa-bisa jadi ayam kampus gue kan."

Senyum Raka terbit selama memperhatikan Lara untuk pertama kali setelah sekian lama kembali mengobrol santai dengannya. Mungkin Lara masih menyimpan benci terhadapnya. Tapi Lara cukup bijak dengan menempatkan kebenciannya itu di situasi yang tepat.

Untuk sekarang, mereka hanya tetangga. Atau, mereka adalah sahabat lama yang tengah reuni.

"Jadi editor pun hebat," puji Raka. "Semua editor bisa jadi penulis. Tapi nggak semua penulis bisa jadi editor. Terus juga, bukannya novel-novel best-seller itu bisa sukses karena ada bimbingan editor? Menurut gue ... lo udah luar biasa, sih, Ra. Percaya nggak percaya, kalo senggang, gue suka ngabisin waktu buat baca novel terbitan penerbit tempat lo kerja."

Lara menatap Raka lekat-lekat sembari menghabiskan olahan seafood yang sedang dia makan. Bersamaan dengan itu, matanya juga ikut menyipit. "Emangnya lo tau gue kerja di penerbit mana?"

"Penerbit Peony's Book, 'kan? Jangan mikir aneh-aneh dulu, deh. Semua novel terbitan dari sana pada cantumin nama lo sebagai editor. Penulisnya juga ngucapin makasih sama Kak Lara selaku editor yang udah bla bla bla ...."

Raka mendesis melihat Lara yang masih menatapnya curiga. Sebenarnya, Raka membeli buku terbitan dari perusahaan tempat Lara bekerja hanya karena ingin menyamarkan rindunya saja. Dia merasa, melihat nama Lara tercantum di setiap buku-buku terbaik—yang beberapa di antaranya bahkan ada yang sudah divisualisasikan menjadi movie—Raka menjadi bahagia entah bagaimana. Setidaknya, meski rindu itu tak terbayarkan sepenuhnya, melihat nama Lara terkesan paling penting di dalam setiap karya, Raka merasa lega karena Lara tak semenyedihkan dirinya.

Entahlah. Raka menganggap dirinya menyedihkan hanya karena dia masih belum bisa menemukan sesuatu untuk menambal hatinya yang bolong. Sementara Lara, mungkinkah dia sudah bahagia? Tapi mengetahui Lara bercerai lagi karena diselingkuhi, agaknya Lara tak ada bedanya dengan Raka.

Mungkin mereka sama-sama kesepian?

"Banyak nggak enaknya juga jadi editor idealis. Gue sering dicibir penulis-penulis yang ngerasa diri mereka lebih senior, apalagi penulis-penulis yang ngejual cerita stensilan. Biasanya sih, mereka nggak terima kalo naskah mereka ditolak cuma karena alasan terlalu erotis. Padahal udah jelas-jelas persyaratan naskah yang bisa kita terima itu semaksimal mungkin dihindari segala macam bentuk pornoliterasi. Tapi masih aja ngotot coba peruntungan. Ya ditolak. Eh, pas ditolak, malah datengin kantor; nyari-nyari gue, ngelabrak gue ...."

"Pernah gitu?"

Lara mengangguk. "Sampe gue disiram minumannya dia waktu itu. Miris banget, mana dia penulis femes gitu di platform online. Mungkin karena udah kena gejala star syndrom, dianya jadi ngerasa hebat gitu. Ngerasa ke mana-mana harus diistimewain. Ya liat sikon, dong. Kalo mau coba peruntungan buku cetak, ya coba cari penerbit yang mau nerima karya stensilan. Di tempat gue udah jelas-jelas nggak bisa, malah ngotot."

Raka ikut mengangguk dalam artian mengerti. Lara yang melihat Raka masih sama; masih selalu menjadi pendengar yang baik, kian tersenyum miring. Dia menyadari sejak tadi hanya dirinya saja yang bercerita. Sejak dia menangis sesenggukan, dan Raka memeluknya. Sampai sekarang, Lara masih bingung dan bertanya-tanya; mengapa tadi dia harus menangis? Dan bisa-bisanya dia membiarkan Raka memeluknya!

Ya sudahlah. Mungkin Lara tak menyadari dirinya lelah. Begitu goyah sedikit, dia langsung luruh. Apalagi dirinya sejak pagi berusaha baik-baik saja, padahal kerinduan untuk orang tuanya selalu membuncah setiap harinya. Datang Raka yang tiba-tiba mempersiapkan segala macam hanya untuk membuatnya tidak merasa sepi. Tentu saja Lara jadi haru dan pilu di saat yang sama.

Jangan Membenci MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang