Dua Puluh Dua

5 1 0
                                    

Dua hari setelah pertemuan Lara dengan Raka di pemakaman, Lara baru melihat Raka lagi sore hari usai pulang bekerja. Di depan rumah pria itu, Lara melihat Raka tengah membawa goni berisi entah apa. Pria itu memasukkan goni tersebut ke dalam bagasi mobilnya tanpa beban, padahal kalau dilihat-lihat, berat goni itu pasti mencapai 20 sampai 30 kilogram.

Lara pikir Raka sudah pindah ke tempat lain. Ternyata pria itu masih betah tinggal di samping Lara sebagai tetangga. Ataukah dia sengaja pulang ke rumahnya hanya untuk mengurus suatu hal?

"Itu apaan?" Lara tanpa sadar menyapa Raka. Dia merutuk mulutnya sejenak, tetapi karena sudah telanjur bertanya, dia berusaha untuk terlihat biasa saja.

"Orang," jawab Raka sambil memasukkan goni kedua. Kemudian menutup pintu bagasi sebelum menoleh ke arah Lara. "Mau ikut, nggak?"

"Jual orang?"

"Bukan. Dalam goni tadi itu rambutan."

"Katanya orang?"

"Becanda."

"Becanda nggak boleh boong."

"Iya deh Buk Aji. Mau ikut, nggak?"

"Ke mana?"

"Bagi-bagiin rambutan ke tetangganya Bang Gio. Kalo lo mau ikut, ntar lo bantu-bantu nakarin per kresek satu kilo. Kan, lo katanya mau bantu jualan. Tapi nggak jadi dijual, lebih baik dibagi-bagiin aja."

Lara tertegun. Dia menatap mata Raka saat pria itu mendekat ke arahnya. Selalu saja, Raka terlihat biasa saja menghadapi Lara, padahal jelas-jelas sebelumnya mereka ada masalah.

"Sekalian ketemu Mamah. Mau, nggak?" Raka tampak sengaja menawarkan tawaran yang mungkin akan membuat Lara sulit untuk menolak. "Mamah nanyain lo mulu. Seenggaknya, walaupun kita udah break, Mamah masih tetap orang penting buat lo, 'kan?"

Mata Lara mengerling. Dia terlihat sangat ragu-ragu. Sebelumnya, sejak pasar malam itu, apalagi sejak Michelle lagi-lagi datang hanya untuk mengingatkannya pada luka, Lara jadi banyak pikiran dan kadang-kadang bertekad untuk menghindar sebisa mungkin jika Raka datang padanya. Kalau dia malah mengiyakan ajakan Raka, bukannya dia malah terkesan tarik-ulur tekadnya sendiri?

"Bukan cuman Mamah. Bang Gio, Kak Felly, anak-anak mereka ... semuanya kangen banget sama lo."

"Anak-anak Bang Gio?" tanya Lara.

"Iya. Si Juna, Marwa, Aca. Tiap gue ke sana, mereka nanyain lo mulu. Bukannya nanyain kabar omnya sendiri."

Lara tersenyum tipis. "Mereka masih inget gue?"

"Masih, lah. Bukan cuman gue doang yang gagal move on. Mereka juga."

Mendengar itu, Lara kian terenyak. Senyum tanpa bersalah yang Raka suguhkan untuknya malah justru membuatnya nyeri sendiri.

"Gimana? Ikut?"

Lara kembali melihat ke arah lain saat mengemukakan alasan, "Gue belum mandi."

"Yaudin, mandi dulu sana. Rencananya juga gue pergi habis magrib."

Lara diam. Bagaimana ini? Apa harus untuknya ikut pergi?

"Kalo nggak mau, it's okay." Raka tersenyum tipis. "Kita cuman bakal bikin Mamah sedih kalo lo datengin dia dengan terpaksa."

Saat Raka hendak melangkah pergi, Lara tiba-tiba menyahut, "Gue ikut, deh!"

Raka menoleh, lalu tersenyum—puas. "Sip. Sana mandi. Kita berangkat habis magrib aja. Atau mau langsung pergi juga nggak papa. Biasanya juga lo jarang mandi, 'kan?"

"Heh? Lo, kali. Malah nuduh orang." Lara mendelik sebal. "Yaudah gue mandi dulu. Bentar."

"Okesip."

Raka tersenyum melihat Lara melangkah menuju rumahnya. Namun setelah Lara masuk ke rumahnya dan lenyap dari pandangan Raka, senyum Raka langsung lenyap. Belakangan ini, tepatnya setelah dari pasar malam waktu itu, perasaannya kacau sekali. Dia harus mengganti-ganti tempat tinggal hanya demi menuruti kemauan mood-nya. Malam ini di apartemen, besoknya di hotel, besoknya lagi di tempat yang lain. Itu semua demi menetralisir mood-nya yang kacau.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 11 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jangan Membenci MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang