Empat Belas

13 2 0
                                    

Karena Lara tak mau berboncengan dengan Raka, Lara memutuskan untuk tidak akan ikut jika Raka ngotot ingin pergi bersamanya dengan motor gede. Lara juga tak mau duduk berdua di dalam mobil dengan Raka malam-malam begini. Banyak hal yang Lara pikirkan; salah satunya dia harus mewaspadai modus pria di dalam mobil ketika malam hari.

Akhirnya, mereka sepakat naik sepeda. Raka dengan sepeda gunungnya, dan Lara dengan sepeda keranjangnya.

"Buat apa bawa gembok?" tanya Raka saat Lara meletakkan gembok ke keranjang sepedanya.

"Buat ngunci roda biar nggak dimaling," balas Lara enteng.

"Aelah, kalo dicuri, ikhlasin aja kali, Ra. Cuma sepeda, juga."

"Heh! Gue tau lo orang kaya. Mana ada artinya sepeda dua jutaan buat lo. Tapi buat gue ini harta berharga. Bahkan kalo sepeda gue dibegal, gue rela mati buat ngebelain harta gue."

"Isshh ...." Raka menatap Lara dengan tatapan julid. "Siapa juga yang mau ngerampok sepeda, Ra?"

"Heh, jangan salah! Laki orang aja bahkan sering dimaling sama cewe-cewe nggak punya otak."

"Beda konteks sih, Ra. Tapi serah lo, deh. Nyerah gue."

Sejurus kemudian, mereka sudah berada di jalur pesepeda. Lara tak ingin berlomba dengan Raka yang notabenenya seorang pembalap. Tapi entah mengapa dia merasa kesal melihat Raka mengolok-olok dirinya dengan berpacu lebih dulu, lalu melihat ke arahnya dengan senyum tengil menyebalkan.

"Lo nggak niat jadi pembalap juga, Ra?" tanya Raka ketika dia sudah melajukan sepedanya seLara di samping Lara. "Balap sepeda juga oke, loh. Mainnya mancanegara."

"Gue udah nyaman sama kehidupan sekarang. Walaupun ada kesempatan besar buat jadi presiden, gue nggak bakal mau," ujar Lara cuek dengan pandangan tertuju ke depan.

"Beneran nggak mau? Kalo masih ada kesempatan buat jadi istri gue lagi, lo juga nggak bakal mau?"

"Nggak," jawab Lara percaya diri. Lalu tersenyum saat menoleh pada Raka. "Gue jera, dan nggak bakal mau nikah lagi."

Lara mendayuh pedal sepedanya untuk meninggalkan Raka. Sejenak diam memandangi punggung Lara, Raka lantas ikut mendayuh pedal sepedanya lebih kencang agar dapat menyusul Lara dan bersepeda di samping perempuan itu.

"Yakin lo nggak mau nikah lagi?"

"Nggak."

"Kenapa? Bukannya nikah itu ngelengkapin separuh agama? Lo nggak mau sempurnain agama lo, gitu? Lo nggak mau masuk surga?"

Lara menoleh lagi untuk menatap Raka walau sekilas, masih tersenyum. "Ada banyak amalan lain buat masuk surga selain nikah."

"Tapi kan lebih banyakan amalan nikah, Ra ...."

"Gue lagi nabung buat naik haji," kata Lara. "Kalo bisa ntar setelah naik haji, gue mau sekalian tinggal di sana aja selamanya. Bisa mati di sana juga. Yang begitu lebih baik ketimbang nikah, terus diselingkuhin, terus cerai lagi .... Cape. Masa seumur hidup gue cuman ngerasain sakit mulu? Masih untung gue nggak nyalahin Tuhan. Gimana kalo ke depannya gue mutusin buat jadi atheis karena menderita terus?"

"Ya kan ... lo nikahnya sama gue. Bukan sama yang lain ...."

"Jadi kalo sama lo ada jaminan gue bakal hidup bahagia, gitu?"

Raka tersenyum kecut. Lara benar-benar sinis padanya. Bagaimanalah. Mau mengelak seperti apa pun, kenyataannya Lara pernah mengalami sakit hati yang hebat saat masih menikah dengan Raka dulu. Mendapatkan pria baru pun, Lara akhirnya bercerai juga. Jadi, wajar jika Lara merasa jera dan memutuskan untuk tak menikah lagi.

Jangan Membenci MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang