Dua belas tahun lalu, di SMAN 1 Negeri.
Larasati Piliang, saat itu termasuk sebagai murid yang keberadaannya sangat tipis. Dia sering terlupakan, bahkan teman satu kelasnya banyak yang tak tahu siapa namanya. Hanya ketika orang-orang tahu dirinya dekat dengan Raka maupun Jerry, Lara baru di-notice orang-orang.
Sebenarnya, Lara itu cantik. Kecantikannya alami, dengan tubuh ramping dan kulit terang. Wajahnya mulus dan pucat, dengan mata bulat dan bibir mungil yang tak pernah dia polesi liptint. Dia juga selalu apa adanya dengan rambut lurus diikat kucir. Mungkin, karena tak modis dan selalu tampil pucat seperti orang sakit, Lara jadi tak dianggap ada.
Melihatnya saja malas, apalagi mengajaknya berteman. Lara sama sekali tak memiliki aura yang bisa membuat orang bersemangat saat berkomunikasi dengannya.
Sebenarnya, Lara tak sedih dengan kehidupannya yang seperti itu. Dia senang dirinya tak mencolok. Duduk paling belakang, fokus dengan diri sendiri, dan melamun menatap luar jendela yang terbuka saat murid lain sibuk bergosip, itu menyenangkan. Sampai akhirnya dua cowok rese dari planet lain datang ke kelasnya; membuatnya auto jadi pusat perhatian.
"Lara ada, nggak?" tanya Raka kepada preman-preman yang menjaga pintu kelas.
"Eh, Lara siapa, Kapt?" Preman bertanya balik karena dia tak tahu siapa Lara—padahal teman sekelasnya sendiri. Dan Preman menyebut Raka dengan panggilan kapten karena memang saat itu Raka menjabat sebagai kapten basket.
"Lara. Temen kalian yang kalian anggap meja."
Jerry menyeringai. Baru saja mereka nongol, seisi kelas sudah langsung memusatkan perhatian pada mereka. Jerry mengabaikan siswi-siswi modis yang mencoba menarik perhatiannya. Dia hanya fokus mencari keberadaan Lara, lalu segera berlari kecil begitu melihat Lara ternyata tengah melamun di kursi paling belakang. Raka kemudian ikut menyusulnya.
"Ra! Kantin, yuk!" seru Jerry dan Raka serempak.
Lara menoleh, mendapati dua cowok jangkung sedang berdiri menjulang di hadapannya. Lara tak terkejut. Keberadaan dua sahabatnya sangat mudah disadari meski Lara pura-pura tidak tahu.
"Kalian aja. Ini lagi pergantian jam. Gue nggak mau ikut-ikutan masuk ruang BK."
"Bu Devi pasti, 'kan? Bu Devi mah nggak datang, Ra. Aman," ujar Jerry.
"Biar sekalian ntar nggak perlu ke kantin lagi. Lo nggak pernah kebagian soto Medan, 'kan?" Raka ikut melempar umpan.
Soto Medan ....
Karena suara Lara tak pernah sampai ke telinga Ibu Kantin setiap dia memesan di antara kerumunan, dia memang tak pernah mendapatkan soto Medan impiannya. Saat orang-orang sudah agak sepi, seringnya soto Medan sudah habis. Kalaupun masih tersisa, biasanya jam istirahat sudah berakhir. Makanya dia tak pernah mencoba soto Medan di sekolah.
Agaknya umpan yang Raka lempar bisa dipertimbangkan. Tapi bagaimana jika guru BK memergoki mereka sedang makan di kantin?
"Lo juga nggak usah khawatir sama Bu Helen," kata Raka yang seakan-akan bisa membaca pikiran Lara. Dan Bu Helen adalah guru BK mereka. "Dia lagi ngurusin kasus si orang, lupa gue namanya siapa. Pokonya Bu Helen nggak bakal keliaran karena lagi mukulin pantat orang."
"Sip." Lara langsung beranjak sambil mengemasi buku tulisnya dan menyimpannya ke dalam laci meja. Tanpa memedulikan tatapan seisi kelas padanya, dia langsung memimpin dua sahabatnya keluar dari kelas. "Demi soto Medan."
Mereka bertiga lantas berjalan santai di koridor menuju kantin. Mungkin Lara tak terlalu menyadari bahwa dirinya selalu berjalan di antara Raka dan Jerry yang jangkung. Tinggi Lara hanya sebatas pundak mereka saja. Membuatnya seakan-akan berjalan dikawali bodyguard. Dan siswi lain hanya bisa menatap Lara tak habis pikir dan juga iri. Mengapa Lara begitu serakah dengan merampas dua most wanted sekaligus?

KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Membenci Mantan
Romance"Jika tidak denganmu, maka tidak dengan yang lain." Mungkin kalimat inilah yang Raka tanam dalam hatinya hingga membuatnya gagal melupakan Lara, mantan istrinya. Sementara Lara harus dibuat pusing menghadapi mantan suami pertama sekaligus musuh beb...