Dua

38 2 0
                                    

Lara tak bisa berkata-kata. Lidahnya seakan terkunci hingga membuatnya hanya bisa ternganga. Meski sudah dua tahun, meski Lara berhasil menepi dengan sangat jauh dari pria itu dan melupakannya, mengapa hari ini mereka dipertemukan lagi? Apa tak cukup malam-malam sunyi terlewat hanya untuk menangisi pria itu saat lampau? Kenapa dipertemukan lagi?

Bahkan walaupun sudah ditambal dengan luka dari pria yang lain, Lara tetap selalu merasa ingin runtuh setiap mengenang luka dua tahun lalu. Dan waktu, masih belum cukup untuk membuatnya berdamai.

Kaki Lara terasa lemas. Dia merasa akan tumbang, tapi tak boleh. Dia perempuan tangguh. Toh, sudah banyak hal yang dia lalui. Menghadapi Raka tidak akan menjadi kelemahannya. Namun, mengapa dia ingin menangis?

"Ah ... udah lama banget, ya? Sejak lo cerein gue dan kawin sama laki-laki lain, kita udah nggak pernah ketemu lagi, ya? Jadi apa kabar? Masih langgeng sama suami barunya?"

Tidak salah lagi. Belum apa-apa, Raka sudah menyerangnya membabi-buta. Memang sejak lahir Raka itu luar biasa menjengkelkan. Kenapa sejak lahir? Karena mereka dipertemukan sudah sejak mereka masih bayi; merangkak bersama, makan bubur bersama, bahkan belajar jalan bersama!

Info penting; orang tua mereka bersahabat akrab. Bahkan tetap bersahabat setelah keluarga Lara pindah ke wilayah sini.

"Kenapa lo bisa di sini?" tanya Lara sambil berusaha menekan suaranya yang bergetar. Dia berusaha untuk tetap tenang meski hatinya menjerit ingin pergi dari hadapan pria itu. Dan memang lebih baik untuk mereka menyebut satu sama lain dengan panggilan informal seperti lo dan gue, daripada aku-kamu yang justru akan mengingatkan Lara dengan kehidupan manis pasca pernikahan.

"Pertanyaan nggak mutu. Gue di sini karena gue tinggal di sini."

"Lo tau rumah di samping lo ini rumah bokap-nyokap gue, Ka." Mata Lara terasa panas, dan entah sejak kapan sudah berkaca-kaca. "Lo mungkin juga tau gue tinggal di sini. But why? Nggak ada rumah lain? Kekayaan lo yang katanya sebanyak antah itu, nggak bisa beli rumah di tempat lain?"

Raka mengedikkan bahunya tak acuh. Mungkin dia memang tampan dan punya aura memikat—seperti magnet. Tapi sifat tengilnya yang terlihat minim empati sedikit-banyak pasti membuat orang-orang akan berpikir lagi jika ingin berhubungan intens dengannya.

"Gue maunya di sini. Nggak ada yang berhak protes karena gue beli ini rumah pakai duit sendiri. Lagian udahlah, mau sampai kapan lo benci sama gue? Toh juga gue di sini nggak gangguin hidup orang. Jadi ayok, kita hidup damai, sebagai tetangga."

Raka tiba-tiba tersenyum dengan manis, memamerkan sebelah lesung pipinya yang dalam. Sembari itu, dia mengulurkan tangan kanannya yang besar kepada Lara. Bermaksud mengajak mantan istrinya itu berjabat tangan.

"Salam damai."

Tepat saat Lara menurunkan arah pandangnya untuk menatap tangan Raka yang terulur, air mata Lara yang menggenang sebelumnya seketika jatuh. Sesuatu dalam dada Raka terasa rumit dan basah, lalu pelik begitu dilihatnya Lara mendongak dengan senyum sinis.

"Najis," tolak Lara sebelum melangkah pergi. Raka dibuat bergeming bahkan sampai Lara masuk ke rumahnya. Suara pintu yang dibanting cukup memberitahu Raka betapa merasa sialnya Lara bertemu dengannya hari ini. Membuat Raka menatap tangannya yang masih terulur dengan senyum pahit sebelum akhirnya dia kepal kuat tangannya itu.

Raka tahu ini akan sulit, bahkan sangat sulit. Mendapatkan hati Lara kembali, adalah angan-angan yang dia paksa kubur sejak dia tahu Lara menikah lagi. Namun, karena ibunya yang marah padanya mengajukan syarat diterimanya maaf adalah dengan membawa Lara kembali ke hadapan ibunya, Raka berpikir hanya ini satu-satunya cara untuk mendekati Lara lagi; dengan menjadi tetangga yang baik.

Jangan Membenci MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang