Sepuluh

22 3 0
                                    

"Lara gimana?"

Senyum tipis Raka terbit saat sang ibu bukannya bertanya kabar anaknya sendiri, malah justru menanyakan orang lain.

Yah, bagi Resti, Lara memang bukan orang lain lagi. Bukan orang asing lagi. Raka dibesarkan bersama Lara. Sudah pasti, Resti menganggap Lara sebagai seseorang yang cukup berarti.

"She's okay." Raka menjawab pertanyaan ibunya. "Dia lebih tangguh dari yang kita kira."

Resti mengangguk samar. Dia tengah menatap pohon kamboja yang tumbuh besar di halaman belakang rumah anak sulungnya. Terik siang membuat bunga kamboja kuning yang berguguran jadi terlihat sangat indah. Angin sepoi-sepoi juga menjadi pelengkap kedamaian di rumah besar itu.

Resti kemudian melihat ke arah lain. Raka melihatnya celingak-celinguk seperti tengah mencari keberadaan seseorang. Langsung saja Raka berpikir bahwa ibunya pasti tengah mencari apakah Lara ikut datang bersama Raka atau tidak.

"Lara belum bisa Raka bawa ke sini, Mah." Raka tersenyum pahit. "Maaf."

Sejenak tertegun, anggukan kepala Resti yang menyusul menyiratkan pemakluman yang bijak. Dia kembali duduk dengan tenang di kursi rodanya, kembali menatap bunga kamboja yang masih belum rontok meski sudah banyak yang berguguran karena angin.

Sampai saat ini, Resti masih belum mau menatap langsung mata anak bungsunya. Tapi, meski masih merasa marah dan kecewa, sebenarnya Resti tidak sampai ke tahap murka. Kendati dirinya kelihatan membenci Raka seumur hidup, biar Tuhan sajalah yang tahu bagaimana dirinya menghabiskan malam-malam untuk mendoakan anak-anaknya. Mendoakan Raka, juga Lara.

"Mungkin kamu melihat dia tangguh dan kuat. Tapi kamu nggak akan pernah tau kapan dia merasa runtuh seruntuh-runtuhnya. Kamu bahkan nggak pernah melihat gimana Mamah pas hilang arah setelah Papah kamu pergi, 'kan? Bukan berarti Mamah kuat dan hebat, tapi karena Mamah pandai sembunyikan itu dari kamu dan semua orang. Dan Lara ... mungkin juga begitu."

Raka diam. Dia mengangkat pandangannya ke arah pohon kamboja. Ekspresinya mungkin terlihat datar dan dingin. Tapi, di dalam dadanya sudah riuh.

"Mamah nggak berharap lagi kamu dan Lara bisa kembali. Tapi seenggaknya ... Mamah pengen kalian tetap bersahabat." Resti tersenyum hambar. "Mungkin sulit untuk kalian. Tapi Mamah pengen keegoisan Mamah kali ini bisa terwujud ... sebelum Mamah pergi."

Hal yang membuat Raka selalu merasa sesak setiap berbicara pada ibunya adalah ketika ibunya membicarakan perihal kepergian. Kenapa ibunya selalu mengancamnya dengan sesuatu yang paling Raka takutkan di dunia ini?

Belum habis kehilangan Lara, kehilangan Jerry—sahabatnya, kehilangan anaknya. Mengapa Raka harus dipaksa kehilangan ibunya?

Mengapa Raka harus kehilangan lagi?

"Mah, makan siang udah siap." Felly, kakak ipar Raka, datang dengan gamis dan hijab lebar menghampiri mertuanya. Dia lalu tersenyum saat menatap Raka. "Kamu makan bareng kita juga ya, Dek. Abang pulang siang ini."

Raka menggelengkan kepalanya pelan, menolak dengan senyum tipis. "Lain kali aja ya, Kak. Aku ada kerjaan lain."

"Kenapa kamu jarang makan?" tanya Resti tiba-tiba, membuat Raka dan Resti spontan menoleh ke arahnya. "Makan siang dulu di sini. Jarang-jarang jumpa keluarga, sekali datang malah cuma sebentar."

Raka tertegun. Apa itu artinya, Resti sudah sudi membuat Raka bergabung lagi dengan keluarga?

"Tau, tuh. Makan dulu. Kakak masak banyak."

Felly tersenyum lebar, ikut merasa senang karena akhirnya mertuanya sudah mulai membuka hatinya kembali untuk Raka. Jujur, Felly dan suaminya selalu merasa sedih jika sudah membahas tentang hubungan Resti dan Raka yang renggang sejak perceraian Raka dengan Lara.

Jangan Membenci MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang