Tujuh

1.6K 83 0
                                        

"Assalamu'alaikum, Mah. Raka pulang."

Raka mengecup pipi mamanya yang saat itu sedang fokus di depan televisi. Saat Raka menunjukkan sebelah pipinya supaya dikecup balik, yang ada dirinya malah disambut cubitan.

"Dari mana aja kamu? Malam gini baru balik?"

Sambil mengusap pipinya yang baru saja dicubit, Raka dengan cemberut membalas, "Nongkrong, Mah, sama temen-temen basket ... bentar lagi kan mau lulus. Kapan lagi, kan?"

"Nongkrong mulu udah kayak bapak-bapak aja kamu. Ngerokok nggak kamu?"

"Enggaklah. Raka kan nggak boleh ngerokok." Raka tiba-tiba nyengir. "Mamah masak apa? Raka laper."

"Liat sana ke dapur. Mandi dulu baru makan!"

"Makan dulu baru mandi."

"Mandi dulu, Raka!"

Raka tersenyum kecut. Dia lekas menggunakan kaki jenjangnya untuk melangkahi tangga spiral menujur kamarnya yang ada di lantai atas. Segera dia menanggalkan pakaiannya dan mandi. Setelah mandi, baru saja dia selesai mengenakan kaus dan celana santai, terdengar suara mamanya yang berteriak memanggilnya dari bawah.

Raka sontak keluar dari kamarnya dengan panik. Dia pikir mamanya diserang perampok, tahu-tahu masih baik-baik saja di depan televisi. Raka sampai jantungan dibuatnya.

"Apa sih, Mah?"

"Sini!" Meski baik-baik saja, entah mengapa sang mama terlihat sangat panik. "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un ...."

Raka tentu saja jadi bingung. Mengapa mamanya sampai mengucap? Apa yang sedang dilihatnya dari televisi?

Lekaslah Raka mendekati mamanya dan ikut melihat ke layar televisi. Terpampang nyata di sana headline berita suatu pesawat komersil penerbangan antar provinsi yang dinyatakan hilang di titik perairan. Sejenak, Raka merasa miris dan bingung; kenapa mamanya terlalu terkejut mendengar berita seperti itu? Bukankah tahun-tahun lalu berita kecelakaan pesawat juga kerap menghebohkan negara?

"Tunggu apa lagi, Ka? Buruan samperin Lara!"

Raka terdiam, tambah bingung. "Kenapa samperin Lara?"

Sang mama menatap Raka tak habis pikir. "Jadi kamu nggak dikasi tau Lara kalo papa-mamanya pergi ke luar kota?"

"Dikasi tau, sih ...." Raka bergeming dengan ekspresi serius. "Jangan bilang kalo ...."

Mama Raka seketika terduduk lemas di sofa. Dia tak ingin percaya bahwa dua sahabat karibnya, yang tak lain adalah orang tua kandung Lara, tengah terjebak di kecelakaan pesawat yang diberitakan kala itu. Namun ....

"Baru kemarin ... baru kemarin, Ka ... mamahnya Lara datang ke rumah nganterin bolu. Dia bilang kalo hari ini mau berangkat ke luar kota. Mamah inget banget kalo mereka bakal naik pesawat ini; nggak tau kenapa kemarin itu dia bilang cuman pesawat ini yang paling kecil risiko kecelakaannya. Tapi ... sekarang ...."

Raka mematung untuk beberapa saat. Begitu terbayang olehnya bagaimana reaksi Lara mendengar berita kecelakaan pesawat yang dialami orang tuanya, sontak Raka kembali ke kamarnya untuk mengambil jaket dan kunci motor. Kemudian berlari turun, menyempatkan diri untuk mengecup tangan mamanya sembari pamit hendak ke rumah Lara.

Perasaan Raka bercampur saat itu. Sepanjang jalan, dia berharap Lara tetap tenang dan menahan diri untuk tak melakukan hal-hal impulsif. Padahal, dia sendiri tak bisa tenang. Bagaimanapun, ini kabar mengejutkan. Sebab, orang tua Lara, juga sudah dia anggap sebagai keluarganya sendiri.

Jangan Membenci MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang