Tiga Belas

16 2 0
                                    

"Bee. Kamu kecewa?"

Raka mengalihkan pandangannya ke arah Lara yang baru saja bertanya. Dia lihat wajah pucat Lara yang tengah sendu memandang bayinya.

Selama tiga hari di waktu itu, Lara tak nyenyak tidur selama istirahatnya. Dia selalu ingin menemui bayi yang baru dia lahirkan. Sayangnya, waktu itu perawat tak bisa menyerahkan bayinya sesuka hati karena bayi itu harus dirawat intensif di dalam NICU . Dan setelah tiga hari, Lara baru bisa menemui bayinya walau dirinya yang harus pergi ke ruang tempat bayinya dirawat. Itu pun dia hanya bisa memandang dari balik dinding kaca. Tidak bisa menyentuh, bahkan memeluk bayinya sendiri.

Saat-saat itu cukup membuatnya tersiksa.

"Kecewa kenapa?" tanya Raka. Dia tak mengerti maksud pertanyaan Lara saat itu.

"Kecewa karena aku gagal ngasih anak yang sempurna buat kamu."

Raka terdiam kala itu. Diam bukan membenarkan, melainkan tak habis pikir; apa yang sudah membuat Lara menyangka dirinya seperti itu, dan serendah itu? Padahal, mendapati Lara dan bayi mereka selamat saja, Raka sudah sangat bersyukur.

"Apa karena dia albino?" Raka mencoba memastikan, dan diamnya Lara cukup memberitahu dirinya bahwa dugaannya benar. "Beda dari yang lain, bukan berarti dia nggak sempurna, Sayang."

Lara semakin sendu. Dia menyentuh permukaan dinding kaca; seolah-olah menyentuh bayinya yang sedang terlelap nyenyak. "Aku khawatir gimana nanti dia ngadepin masa depan. Aku takut dia ngerasa nggak sempurna cuma karena dia berbeda."

"Itu nggak akan terjadi kalau kita yang jadi orang tuanya." Raka tersenyum saat Lara menatap ke arahnya. "Kalau kita bisa nerima dia, berarti dia juga bisa."

Raka pikir kata-kata itu sudah cukup mampu untuk menghibur Lara. Ternyata, Lara masih tetap terlihat sendu saat dia kembali menatap bayinya. Sampai akhirnya Raka mencoba mendekat lebih rapat di samping Lara; mencoba menghibur perempuan itu dengan cara yang lain.

"Coba lihat dia, Yang," suruh Raka. "Ngeliat rambut putihnya aja, aku udah bisa ngebayangin secantik apa dia pas udah gede nanti. Belum lagi kalau kita tau warna matanya kayak apa. Biru? Abu-abu? Bukannya itu cantik?"

Lara masih diam.

"Percaya sama aku, Ra." Raka menggamit tangan Lara, memancing perempuan itu untuk menoleh dan mendongak padanya. "Dia sempurna. Anak kita sempurna. Kalau dia berbeda, bukan berarti dia punya kekurangan. Tapi dia justru punya kelebihan. Dan aku sama sekali nggak ngerasa kalau ini bentuk hukuman dari Tuhan untuk kita. Ini justru anugrah; yang nggak semua orang tua bisa dapetin ini. Kita dipilih dan dipercayai langsung sama Tuhan buat ngasuh anak yang udah diamanahin ke kita, dan harusnya kita bangga karena kita 'dipilih'. Itu juga karena Tuhan tau kalau kita mampu."

Air mata Lara menggenang. Dia tampak mati-matian menahan tangisnya meski dia tak cukup berbakat untuk itu. Dengan suara bergetar, dia berkata, "Aku sayang banget sama dia, Bee ... tapi aku takut kamu ngerasa sebaliknya ...."

"Nggak mungkin," lirih Raka sambil mengusap air mata istrinya kala itu. "Dia anakku. Nggak ada laki-laki mana pun yang rela berkorban untuk dia selain aku, ayahnya. Nggak ada yang perlu kamu takutin, Sayang. I'll be with you, and we'll be with her. Always."

**

Lara berterima kasih banyak kepada tukang kunci yang sudah berjasa membuatnya bisa masuk lagi ke rumahnya. Segera dia bersih-bersih rumah dan mencuci pakaian, sekaligus mencuci pakaian Raka yang dia pinjam semalam.

Tengah hari, dia baru nongol di halaman belakang untuk menjemur pakaian supaya cepat kering. Setelah pakaiannya kering, Lara langsung menyetrika. Dia memutuskan untuk belanja besok saja. Hari ini dia hanya perlu membereskan soal rumah dan pakaian, kemudian bersantai.

Jangan Membenci MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang