Tujuh Belas

15 3 2
                                    

Raka sangat terpukul. Bagaimana tidak? Meskipun sangat cerewet, Theo adalah satu-satunya manajer yang paling mengerti dirinya. Kecelakaan yang menimpa manajernya membuatnya perlu ruang untuk menyendiri. Belum lagi tiap hari dia harus menjumpai anak satu-satunya tengah sakit. Dia merasa dirinya adalah magnet yang menarik banyak masalah untuk bertandang.

Saat itu, Raka belum mengenal masjid sebagai tempat untuk bertenang. Seperti orang pada umumnya, dia justru pergi ke kelab untuk minum. Kata mereka alkohol dapat melenyapkan beban pikiran sejenak—meski mungkin keburukannya lebih banyak. Dan Raka pikir, tak ada salahnya untuk membuktikan sendiri.

Sebelumnya Raka selalu menahan diri untuk tidak minum-minum meski hanya sebatas meneguk bir bersama teman-teman seprofesi atau teman-teman tim pabrikan. Tapi saat itu dia mencoba menerobos palang yang membatasinya sebelumnya. Sesekali minum tidak apa, toh manajernya yang selalu melarang juga sudah tak ada lagi. Lara yang juga sudah jarang memperhatikannya juga tak akan peduli.

Maka dari itu, dia menghabiskan wiski sampai tiga gelas, padahal dia bukan seorang peminum sebelumnya—dan dia sanggup meneguk minuman dengan kadar alkohol tinggi hingga 50 persen. Sementara kadar alkohol 5 persen saja sudah membuat mabuk.

"You okay, Mas? Mau air putih?" tawar bartender yang khawatir melihat Raka duduk melipat kedua tangannya di pinggir meja dan melabuhkan keningnya di sana karena pusing.

"No, thanks." Alih-alih menerima air putih, Raka malah justru menyodorkan lagi gelas kosongnya kepada bartender tanpa mengangkat kepalanya dari tangannya untuk meminta wiski. "Ambilkan lagi."

Sementara itu, entah kebetulan atau memang sudah jalannya, Michelle juga datang ke kelab yang sama untuk alasan yang berbeda. Dia bukan ingin menenangkan diri, tetapi justru ingin menghibur diri dengan mencari pria yang mungkin bisa menemani tidurnya malam itu.

Tak Michelle sangka, saat dirinya pergi ke konter bar, dia malah mendapati punggung yang familier. Sedikit terkejut, dia merasa heran mengapa Raka bisa ada di kelab—secara, sejauh yang dia tahu, Lara cukup melarang Raka untuk mencoba mabuk-mabukan.

Langsung saja Michelle melesat ke konter bar menghampiri Raka. Dia sedikit terkejut ketika Raka langsung mendongak begitu dia menepuk punggung pria itu.

Melihat ekspresi Raka yang kusut dan tatapannya yang sayu, Michelle jadi merasa tak tega. Lara terlalu memikirkan dirinya sendiri hingga Raka dilengahkan sampai sebegitunya.

"Sayang?" gumam Raka, tak ayal membuat Michelle terenyak. Apa Raka melihat bahwa bukan Michelle yang berdiri di depannya, melainkan Lara?

Michelle hendak menyangkal, namun bartender tiba-tiba berseloroh, "Pacarnya Mbak, ya? Tolong bawa pulang aja masnya, Mbak. Udah mabuk berat soalnya. Nanti kalau dibiarkan pulang sendiri, takutnya bahaya."

Pacar? Bukan ....

Michelle ingin segera menyangkal saat itu. Namun, kenapa dia merasa senang ada yang menganggap dirinya adalah seorang pacar dari Raka?

"Kamu sama siapa ke sini? Jerry?" Raka yang bertanya dengan polos entah mengapa terlihat menggemaskan di mata Michelle. Agaknya Raka benar-benar sangat mabuk hingga berhalusinasi. "Abil gimana? Siapa yang jagain?"

"Ada," kata Michelle. "Kita pulang, yuk?" Michelle lantas menoleh ke arah bartender. "Udah bayar belum, Mas?"

"Belum, Mbak."

Michelle segera mengeluarkan dompetnya untuk membayar wiski yang sudah diminum oleh Raka. Sementara itu, Raka masih berperang dengan mabuk yang dialaminya. Pandangannya juga kabur hingga membuatnya sulit melihat. Parfum limited yang biasa Lara pakai, menjadi tanda untuk Raka berpikir bahwa wanita yang mendatanginya adalah istrinya. Padahal, Michelle saat itu juga memakai parfum yang biasa sahabatnya pakai. Michelle meminta Lara untuk menyebutkan merk parfumnya usai Michelle mendengar Lara berkata bahwa Raka suka dengan wangi parfum itu.

Jangan Membenci MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang