40. Dunia Baru

131 7 0
                                    

Hari yang dinantikan Luna akhirnya tiba. Di sebuah rumah sakit terkenal di Los Angeles, Cedar-Sinai Medical Center, ia bersiap menghadapi momen besar dalam hidupnya. Rumah sakit itu terkenal dengan fasilitas modern dan perawatan medis yang luar biasa, sering menjadi pilihan bagi banyak publik figur karena kualitas dan privasinya.

Luna berbaring di ruang bersalin, berusaha mengatur napas sambil ditemani oleh perawat yang menenangkan. Di ruang tunggu, Kevin duduk tak tenang, terus-menerus melirik ke arah pintu dengan wajah tegang. Di sampingnya, ibu dan ayah Luna berusaha menenangkan, meski wajah mereka juga terlihat penuh kecemasan dan harapan.

Sesaat kemudian, seorang dokter muncul dari ruang persalinan, memanggil,

“Suami dari Ibu Luna Bailey.”

Kevin terdiam sejenak, lalu berdiri perlahan, tampak terkejut tapi tersentuh dengan panggilan itu. Ibu Luna menyentuh bahunya, memberikan dorongan,

"Pergilah, Kevin. Luna membutuhkamu sekarang."

Ayah Luna menambahkan dengan senyuman tenang,

“Kami ada di sini untuk kalian. Ini saatnya kamu mendampinginya, Kevin.”

Dengan napas yang sedikit gemetar, Kevin memasuki ruang persalinan, melihat Luna yang tengah berjuang. Ia mendekat, menggenggam tangan Luna dengan erat.

“Aku di sini, Luna,” bisiknya lembut, penuh dukungan.

Luna menatapnya dengan senyum yang lelah namun penuh kebahagiaan.

Di dalam ruang persalinan yang tenang namun penuh ketegangan, Luna berbaring di ranjang dengan napas yang tersengal-sengal, berusaha mengumpulkan kekuatan. Cahaya hangat menyinari ruang tersebut, dan suara detak mesin pendeteksi jantung bayinya berdenyut lembut, seolah-olah menambah irama semangat.

Kevin berdiri di samping Luna, memegang tangannya erat. Sesekali ia mengusap kening Luna yang berkeringat dengan tisu, sambil memberikan senyum yang meskipun lelah namun penuh ketenangan.

“Kamu kuat, Luna. Aku di sini,” bisiknya sambil menatap mata Luna dengan penuh cinta.

Perawat dan dokter di sekitarnya memberikan arahan lembut, memastikan Luna tetap fokus dan tenang. Setiap kali kontraksi datang, Luna mengepalkan tangan Kevin dengan erat, menahan perasaan sakit sekaligus ketegangan yang menggelora di dalam dirinya. Kevin terus membisikkan kata-kata penyemangat di telinganya,

“Sebentar lagi, Luna. Kamu bisa.”

Ketika dokter memberitahukan bahwa saatnya sudah semakin dekat, Luna menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan semua kekuatannya. Teriakannya menggema di ruangan, sementara Kevin tetap menggenggam tangannya, seolah-olah menyatukan seluruh keberanian yang ia miliki untuk Luna.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti seumur hidup, suara tangis bayi yang nyaring terdengar memenuhi ruangan. Luna menoleh dengan air mata yang berlinang, melihat perawat menggendong bayinya yang kecil dan mungil. Kevin menahan napas, hatinya penuh haru saat menyaksikan keajaiban di depannya. Perawat mendekatkan bayi itu ke Luna, dan saat bayi mereka diletakkan di dadanya, Luna merasa dunia seakan berhenti.

Air mata Luna mengalir deras, senyumnya penuh kebahagiaan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kevin membungkuk, mencium kening Luna dengan lembut sambil menyeka air matanya sendiri.


"Terima kasih, Luna," bisiknya penuh syukur.

Luna menatap bayi mereka, merasakan cinta yang tulus dan mendalam mengalir dalam dirinya. Dalam keheningan yang penuh haru itu, Luna dan Kevin berjanji dalam hati untuk selalu melindungi, mencintai, dan membesarkan anak mereka bersama, dengan sepenuh hati.

Perawat meletakkan bayi perempuan mereka yang mungil di dada Luna. Mata kecilnya yang indah dan berkilau mirip dengan mata Kevin, terbuka perlahan, memandang dunia barunya dengan tatapan polos namun tajam. Matanya begitu khas, seperti milik ayahnya, membawa kenangan dari Kevin yang selalu penuh cinta.

Kulit bayi itu terlihat lembut dan cerah, menyerupai kulit Luna yang bercahaya. Rambutnya hitam lebat, mengkilap di bawah cahaya ruangan, persis seperti rambut ibunya. Luna memandang putrinya dengan penuh keajaiban, hampir tidak percaya bahwa bayi yang begitu sempurna ini adalah miliknya.

Kevin yang berdiri di sampingnya, menunduk lebih dekat, dan menyentuh kepala putrinya dengan hati-hati, takut menyentuh terlalu keras.

"Dia... cantik sekali, Luna," gumamnya terharu, matanya berembun. Ia tak dapat menahan diri untuk tersenyum, menyadari betapa besar cinta yang ia miliki untuk bayi kecil ini, yang mewarisi pesona mereka berdua.

Luna menyeka air matanya, tersenyum sambil menatap Kevin.

"Terima kasih... telah di sini bersamaku,"
bisiknya lembut, suaranya penuh kebahagiaan dan haru. Mereka memandang putri mereka bersama, sebuah momen yang penuh kedamaian dan janji tak terucap untuk selalu melindungi dan mencintainya.

Luna menatap bayi perempuannya dengan penuh cinta, kemudian berkata lembut,

“Namanya Aletha Brielle Blake.”

Kevin tertegun, terkejut sekaligus terharu mendengar nama itu. “Kamu… kamu benar-benar mau memberikan nama belakangku padanya?” tanyanya, suaranya bergetar dengan emosi yang sulit ia sembunyikan.

Luna mengangguk, tersenyum kecil. “Aletha berhak tahu siapa ayahnya. Dia harus tahu bahwa ada bagian dari dirimu bersamanya.”

Kevin menatap Luna, matanya berkaca-kaca.

“Terima kasih, Luna. Ini lebih dari yang pernah aku bayangkan. Terima kasih sudah memberikan aku kesempatan ini.”

Di momen itu, mereka menyadari bahwa meski hubungan mereka penuh liku, kini mereka memiliki ikatan yang abadi melalui putri kecil mereka, Aletha Brielle Blake.

Hidden FlamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang