28. Penjelasan

399 25 0
                                        

Kevin merasa gelisah. Setiap detak jantungnya seakan mengingatkannya akan Luna, wanita yang kini terasa begitu jauh darinya. Dia tidak bisa membiarkan Luna terjebak dalam salah paham yang menyakitkan ini.

Pikirannya melayang ke kenangan manis yang mereka habiskan bersama di Bali. Gelak tawa, momen-momen romantis, dan ciuman yang hangat. Semua itu kini terasa hampa, terancam oleh berita yang menyesatkan. Dia tahu Luna adalah orang yang kuat, tetapi ia juga tahu betapa mudahnya perasaan cemburu dan marah bisa merusak segalanya.

Kevin tidak bisa menunggu lagi. Dia tidak ingin mengandalkan pesan atau telepon. Ketegangan yang mengisi hatinya membuatnya putus asa untuk melihat Luna secara langsung dan menjelaskan semuanya. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk terbang ke Jakarta.

Di pesawat, pikiran Kevin terus melayang, membayangkan reaksi Luna ketika ia tiba. Apakah dia akan marah? Apakah dia akan menerima penjelasannya? Setiap kemungkinan itu mencengkeram hatinya dengan kuat. Dia ingin meminta maaf dan menjelaskan bahwa hubungannya dengan Renata tidak lebih dari sekadar teman.

Setibanya di Jakarta, Kevin langsung menuju tempat tinggal Luna. Jalanan yang padat dan hiruk-pikuk kota tidak menghalangi tekadnya untuk segera bertemu Luna. Setiap detik terasa seperti satu jam saat dia ada di perjalanan, Kevin menunggu dengan cemas sambil memperbaiki penampilannya di cermin.

Akhirnya, dia berdiri di depan pintu kamar Luna, napasnya tersendat. Dengan penuh harapan, dia membunyikan Bel. Dia menunggu, mendengarkan suara langkah kaki di dalam. Jantungnya berdegup kencang, seakan menunggu sebuah keputusan penting.

Ketika pintu terbuka, Luna berdiri di sana, dengan ekspresi terkejut dan bingung. Sorot matanya menunjukkan betapa tidak sabarnya dia menunggu dan sekaligus merindukan penjelasan. Kevin bisa merasakan ketegangan di udara di antara mereka, dan saat itu dia tahu, ini adalah saat yang tepat untuk berbicara.

"Luna," Kevin memulai, suaranya penuh ketulusan. "Aku datang untuk menjelaskan semuanya."

Saat matanya bertemu dengan matanya Luna, dia merasa semua kata-kata yang ingin diucapkannya mulai menyusut. Rasa cemas dan harapannya untuk mendapatkan pengertian bersatu dalam satu momen yang penuh emosi.

Luna memandang Kevin dengan tatapan penuh pertanyaan. "Kenapa harus menjelaskan padaku, Kevin?" ujarnya dengan nada sinis.
"Lagipula, kita tidak punya hubungan apapun kan?"

Namun, di balik sindirannya, Luna merasakan gelisah di hatinya. Melihat ekspresi Kevin yang terlihat lelah dan khawatir, seakan baru saja sampai dari perjalanan panjang, membuatnya merasa sedikit kasihan.

Akhirnya, Luna menghela napas panjang, berusaha menenangkan perasaannya sendiri.
"Baik, masuklah," katanya sambil membuka pintu lebih lebar, memberi kesempatan bagi Kevin untuk melangkah masuk ke apartemennya.

Kevin melangkah masuk dengan hati-hati, matanya tidak lepas dari Luna. Dia merasakan beban di dadanya semakin berat, mengetahui bahwa Luna mungkin merasa tertekan dan bingung dengan situasi ini.
"Luna, aku hanya ingin kamu tahu...," ia mulai, tetapi kalimatnya terputus saat Luna menggelengkan kepala.

"Sebentar, Kevin," Luna memotong, "aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi semua ini. Aku hanya ingin menjalani hidupku tanpa semua drama ini." Suaranya mulai bergetar, dan meskipun dia berusaha untuk tetap tegar, dia tahu betul betapa dalamnya perasaannya terhadap Kevin.

"Dan ketika aku melihat foto itu—" Luna melanjutkan, "rasanya semua yang kita jalani menjadi tidak berarti."

Kevin merasakan sakit di hatinya. Dia tahu bahwa semua ini adalah kesalahpahaman yang bisa merusak apa yang telah mereka bangun. "Tapi, Luna, kamu harus tahu bahwa aku tidak mengenal Wanita bernama Renata itu. Ketika aku di Bali, ada seorang wanita yang menghampiriku dan berkata bahwa dia adalah fansku. Dia bahkan meminta tanda tanganku," Kevin menjelaskan dengan penuh keyakinan. "Aku benar-benar tidak berpikir bahwa semua ini akan seperti ini."

Luna menatap Kevin dengan keraguan, berharap bahwa semua yang diucapkannya adalah kebenaran.

Luna menatap Kevin dalam-dalam, berusaha mencari kejujuran di balik tatapan matanya. Rasa cemburu dan ketidakpastian masih menggelayuti pikirannya, membuatnya ragu untuk sepenuhnya mempercayai Kevin.

Kevin merasakan intensitas tatapan Luna. Dia tahu bahwa semua kata-katanya harus datang dari hati. “Luna,” ia mulai, suaranya lembut, “aku sangat menyukaimu. Aku minta maaf jika semua ini membuatmu merasa terluka. Itu bukan yang ingin kulakukan.”

Kevin menghela napas, berusaha menyampaikan perasaannya dengan jelas. “Aku tahu betapa sulitnya situasi ini bagimu. Yang ingin kamu ketahui adalah aku sangat serius tentang kita. Waktu yang kita habiskan bersama adalah saat terindah dalam hidupku, dan aku tidak ingin mengacaukan itu.”

Mendengar pengakuan itu, hati Luna bergetar. Meski rasa sakit dan keraguan masih membayangi, dia mulai merasakan bahwa mungkin ada jalan untuk mereka.

Kevin menatap Luna dengan penuh ketulusan, hatinya bergetar saat mengucapkan kata-kata yang telah lama ingin diungkapkannya.

“Aku minta maaf, Luna. Untuk semua gosip itu dan karena telah membuatmu ragu. Sejujurnya, aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menyukaimu.”

Luna menggigit bibirnya, mencoba mencerna semua yang dikatakan Kevin. “Jadi apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?” tanyanya, suaranya bergetar, mencerminkan keraguan yang menggelayuti hati.

Dengan lembut, Kevin menggenggam tangan Luna, mengalirkan rasa hangat yang menenangkan. “Jadilah kekasihku Luna Bailey. Beri aku kesempatan untuk selalu disisimu.”

Kata-kata itu terucap dengan tegas, menciptakan gelombang harapan yang menyentuh relung hati Luna.

“Aku ingin kita berbagi lebih banyak cerita, lebih banyak tawa, dan mungkin juga sedikit air mata, aku ingi kita bisa membagi segalanya.”

Luna merasakan detak jantungnya berpacu, harapan dan cinta berpadu dalam hatinya.

Kevin membalas senyum itu, matanya bersinar dengan kebahagiaan. “Aku berjanji akan melindungimu dan selalu ada di sampingmu. Bersama, kita akan menciptakan kisah cinta yang tak terlupakan.”

Momen itu menjadi titik awal bagi mereka untuk menjalani kisah baru, penuh dengan keindahan dan janji-janji manis yang mengisi ruang di hati masing-masing.

Luna tak mampu lagi menahan perasaannya. Air mata jatuh perlahan di pipinya, suaranya bergetar saat ia berkata, "Aku takut, Kevin... Aku takut kau hanya mempermainkan aku. Aku sudah terlanjur jatuh cinta padamu, dan aku tidak tahu bagaimana menghentikan perasaan ini."

Kevin terdiam sejenak, melihat Luna yang rapuh di hadapannya. Ia kemudian menarik Luna ke dalam pelukannya, memeluknya erat seakan tak ingin melepaskannya. “Maafkan aku, Luna…” bisiknya lembut di telinga Luna, suaranya sarat dengan ketulusan.
“Aku berjanji, aku akan selalu ada untukmu. Aku akan selalu membahagiakanmu.”

Pelukan Kevin memberikan rasa tenang yang hangat, seolah semua ketakutan Luna perlahan hilang dalam dekapan itu. Momen itu adalah janji yang terucap tanpa perlu banyak kata, hanya rasa yang memenuhi hati mereka berdua.








HIDDEN FLAMES[END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang