39. Apa Kabar

439 25 0
                                        

Kevin berdiri di depan rumah bergaya klasik dengan sentuhan kolonial Amerika, dikelilingi taman hijau dengan pohon-pohon tinggi dan semak-semak berbunga. Dinding eksterior rumah itu berwarna krem pucat, berpadu sempurna dengan pilar putih besar yang berdiri kokoh di teras depan. Jendela-jendela lebar dengan bingkai kayu gelap memberikan kesan hangat, dan sebuah pintu kayu besar dengan pegangan kuningan menghiasi pintu masuk utama. Tangga batu kecil menghubungkan jalan setapak dengan teras yang dipenuhi pot-pot bunga segar. Rumah itu tampak tenang dan nyaman, tempat yang terasa jauh dari hiruk-pikuk dunia luar.

Pintu rumah terbuka perlahan, dan Luna keluar sambil mengelus perutnya yang membuncit. Matanya yang sedikit lelah namun tetap berbinar, terbelalak saat melihat Kevin berdiri di sana. Napasnya tercekat, tak percaya bahwa sosok yang selama ini hanya ada dalam pikirannya kini hadir nyata di depannya. Raut wajah Kevin memperlihatkan kelegaan bercampur kerinduan yang mendalam, seakan semua pertanyaan dan kekhawatiran selama ini akhirnya terjawab.

Luna tak dapat berkata-kata, hanya berdiri diam, sementara tangan Kevin perlahan terulur, matanya tak lepas dari perut Luna yang menjadi bukti nyata dari ikatan yang masih mereka miliki.

Kevin menatap Luna dengan lembut, mencoba menyembunyikan segala emosi yang berputar dalam pikirannya. Setelah beberapa saat dalam keheningan, ia membuka mulut, suaranya rendah dan penuh perhatian.

“Apa kabar?” tanyanya,
nada suaranya sarat dengan rasa rindu yang dalam dan hati-hati, seolah-olah takut mengganggu kedamaian yang dirasakan Luna di sini.

Luna menatapnya sejenak, sedikit gugup dan ragu, lalu tersenyum kecil. Ia mencoba mencari kata-kata, tetapi berbagai perasaan yang selama ini ia pendam membuatnya sulit menjawab dengan sederhana.

“Baik…” jawabnya pelan.
“Aku baik-baik saja,” tambahnya, meski kedua matanya seakan menyiratkan banyak hal yang tak terucapkan.

Kevin tersenyum tipis, menunduk sejenak untuk meredam perasaan yang membuncah di dadanya. "Senang mendengarnya," ujarnya lembut. "Aku berharap... segalanya baik untukmu."

Keduanya terdiam lagi, tenggelam dalam kerinduan yang tak pernah mereka duga bisa menjadi seberat ini.

Luna mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri setelah kejutan yang tak ia duga. Dengan sopan, ia berkata,

“Masuklah, Kevin.”
Sambil mempersilakannya masuk ke ruang tamu rumah orang tuanya yang hangat dan sederhana, dengan nuansa elegan namun penuh sentuhan pribadi, terlihat dari beberapa foto keluarga yang tergantung di dinding.

Saat mereka berdua sudah duduk, Luna tak bisa menahan rasa penasaran yang meliputi dirinya. “Jadi… dari mana kamu tahu aku ada di sini?” tanyanya, suaranya pelan namun penuh ingin tahu.

Kevin tersenyum tipis, mengusap tengkuknya dengan canggung. “

Aku punya sedikit bantuan dari Dini, dan mungkin… naluri juga,” jawabnya dengan nada rendah, sedikit ragu tapi penuh ketulusan.

“Aku nggak bisa berhenti memikirkan mu sejak berita itu… Aku hanya ingin tahu kamu baik-baik saja.”

Luna menatap Kevin, terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku baik-baik saja, meskipun… banyak hal berubah sejak terakhir kali kita bertemu.”

Kevin mengangguk pelan, menyadari dalam-dalam makna yang tersirat dari kata-katanya. “Aku tahu, dan aku di sini… kalau kamu mau bicara atau butuh apapun.”

Kevin menarik napas dalam, seolah berusaha mengumpulkan keberanian. Ia menatap Luna dalam-dalam, matanya penuh penyesalan dan ketulusan.

“Luna,”
katanya pelan, suaranya bergetar,

“Aku benar-benar minta maaf… untuk semuanya. Untuk jarak yang membuat kita seperti ini, untuk waktu-waktu yang kamu lewati sendirian, dan juga untuk semua kesalahanku.”

Luna menunduk, mendengarkan dengan hati yang sedikit bergetar. Ia tak menyangka Kevin akan datang dengan permintaan maaf yang begitu tulus.

“Aku tahu, aku terlambat menyadari betapa pentingnya kamu dalam hidupku. Kalau bisa diulang, aku nggak akan pernah membuat kamu merasa seperti ini, sendirian atau terabaikan,” Kevin melanjutkan, nadanya penuh penyesalan.

“Aku cuma ingin kamu tahu… aku ingin memperbaiki semuanya, sebisa mungkin.”

Luna terdiam sesaat, perasaannya campur aduk antara marah, sedih, dan haru. Akhirnya, ia mendongak menatap Kevin,

“Aku juga nggak pernah ingin kita sampai di titik ini. Tapi sekarang, semuanya jauh lebih rumit. Ada kehidupan lain yang bergantung padaku.” Luna mengusap perutnya dengan lembut, menatapnya dengan senyum tipis yang penuh arti.

Kevin mengangguk, terlihat emosional.

“Aku tahu, dan aku siap bertanggung jawab untuk semuanya, untuk kamu dan… anak kita.”

Luna menarik napas dalam, dan dengan suara lembut namun penuh emosi, ia berkata,

“Kevin, Aku juga minta maaf, maaf karena menyembunyikan ini darimu.” Ia menunduk, menghindari tatapan Kevin, merasa bersalah karena memilih untuk menjalani semuanya sendirian.

“Aku tahu, ini bukan keputusan yang tepat, tapi aku terlalu takut… aku nggak tahu bagaimana kamu akan merespon saat itu. Kita sedang jauh dan aku berpikir mungkin aku bisa menghadapinya sendiri.”

Kevin mendekat, menatap Luna dengan mata penuh pengertian dan ketulusan.

“Aku bisa bayangkan betapa beratnya semua ini buat kamu, sendirian. Tapi, Luna… kamu nggak perlu melaluinya sendiri. Aku ada di sini, sekarang. Aku nggak akan ke mana-mana.”

Luna tersenyum tipis, namun matanya tampak berkaca-kaca.

“Aku hanya… nggak ingin menjadi beban untukmu. Aku takut kamu akan merasa terbebani dengan kondisiku, apalagi dengan semua yang sedang kamu perjuangkan.”

Kevin menggeleng, lalu menggenggam tangan Luna dengan lembut.

“Kamu dan anak kita nggak pernah akan jadi beban untukku, Luna. Kalian adalah bagian dari hidupku, dan aku mau kita hadapi semuanya bersama. Kamu nggak perlu lagi merasa sendirian.”

Luna menghela napas lega, perasaan hangat menyelimuti hatinya. Mereka saling menatap sejenak, seolah memahami bahwa meski perjalanan ini belum selesai, setidaknya kini mereka akan melaluinya bersama.


HIDDEN FLAMES[END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang