Pagi di Jakarta terasa lebih hangat daripada biasanya, tetapi kehangatan itu bukan hanya karena sinar matahari yang menembus jendela apartemen Luna. Di tempat tidur, Luna terbangun pelan, matanya masih setengah terpejam saat melihat Kevin di sebelahnya. Ia masih tertidur, napasnya tenang, dan wajahnya terlihat damai.
Luna tersenyum kecil. Ada sesuatu yang nyaman ketika ia bisa memulai hari dengan Kevin di sisinya, sesuatu yang dulu tak pernah ia bayangkan. Ia mengamati garis rahangnya yang kuat, rambutnya yang berantakan namun tetap memikat, dan menyadari betapa ia telah jatuh dalam perasaan yang lebih dalam dari sebelumnya.
Kevin menggerakkan tubuhnya sedikit, membuka mata perlahan. “Selamat pagi,” gumamnya, suaranya serak khas pagi hari.
“Selamat pagi,” jawab Luna sambil tersenyum. “Kau bangun lebih awal hari ini.”
Kevin mengusap wajahnya dan duduk di tepi tempat tidur.
“Aku pikir akan membuat sarapan untuk kita. Kau ingin sesuatu yang spesial?”
Luna tertawa pelan.
“Ya aku mau kamu”Kevin menatapnya dengan tatapan pura-pura tersinggung. “Jangan menggodaku lagi Luna, Atau kau akan menyesal nanti?.”
Setelah Kevin turun ke dapur, Luna duduk sendirian di kamar, memikirkan apa yang terjadi belakangan ini. Hubungannya dengan Kevin terasa begitu alami, meskipun cepat. Namun, ada hal yang terus membayang di pikiran kepergian Kevin yang sudah di depan mata.
Ia tahu Kevin harus segera kembali ke klubnya untuk memulai pelatihan, dan saat itu, semuanya akan berubah lagi.
Mereka menghabiskan waktu bersama sepanjang minggu ini, seolah mencoba menunda kenyataan bahwa Kevin harus pergi. Dan meskipun Luna mencoba untuk bersikap biasa, ada kekhawatiran di hatinya. Bagaimana jika semuanya berubah setelah Kevin pergi?
Setelah sarapan, Kevin duduk berhadapan dengan Luna di meja makan. “Aku harus pamit besok,” kata Kevin akhirnya. Suaranya rendah, dan meskipun ia mencoba bersikap ringan, Luna bisa merasakan nada berat di sana.
Luna menatapnya, mencoba menyembunyikan perasaan yang campur aduk. "Secepat itu?"
“Pelatihan dimulai dalam beberapa hari. Aku harus kembali ke klub untuk bersiap,” jawab Kevin sambil menyentuh tangan Luna di atas meja. "Tapi aku berjanji akan selalu menyempatkan waktu untuk kita."
Luna mengangguk, meskipun di dalam hatinya ada kekosongan yang sulit ia abaikan. Kevin tersenyum tipis dan meraih tangannya lebih erat. “Kita akan baik-baik saja, Luna. Jangan khawatir.”
Luna berusaha tersenyum, tapi hatinya masih gelisah. Malam itu, saat mereka berbaring di tempat tidur, Luna merasa perpisahan semakin dekat, dan keheningan malam terasa lebih berat dari biasanya.
Hari itu Kevin menyajikan Omelate dengan roti panggang untuk Luna. Dia menyodorkan piringnya dengan penuh kebanggaan. "Coba ini, kemampuanku semakin berkembang," candanya.
Luna tersenyum, menikmati sarapan buatannya.
"Kalau kau pensiun nanti, mungkin kita bisa buka restoran" candanya, membuat Kevin tertawa.
Hari-hari mereka di apartemen berlalu dengan damai. Mereka menonton film di ruang keluarga, berbincang sambil minum kopi di balkon yang menghadap pemandangan kota, dan terkadang Kevin memotret Luna saat dia tidak sadar. Momen-momen kecil yang penuh cinta mengisi hari-hari mereka.
Namun, kebahagiaan itu diselingi oleh kenyataan yang harus mereka hadapi. Seminggu kemudian, di sebuah sore yang tenang, Kevin duduk bersama Luna di sofa, menatapnya dengan penuh keseriusan.
"Aku harus kembali ke klub besok," ucap Kevin perlahan.
Luna menoleh padanya, sedikit terkejut meskipun ia sudah tahu saat itu akan tiba. "Besok?"
Kevin mengangguk. "Latihan dimulai lagi. Aku tidak bisa menundanya. Klub memerlukan aku."
Keheningan menggantung di antara mereka. Luna berusaha menelan perasaan sedihnya, tapi senyum tipis tetap terlukis di wajahnya. "Aku tahu. Ini bagian dari hidupmu."
Kevin menarik tangan Luna ke dalam genggamannya, memandangnya dalam-dalam. "Aku akan merindukanmu setiap hari. Tapi aku berjanji, aku akan selalu kembali."
Luna menahan emosinya, mengangguk pelan. "Aku juga akan merindukanmu, Kevin."
Malam itu, mereka berdua duduk di balkon apartemen, menikmati malam Jakarta yang tenang, dengan lampu-lampu kota yang berkilauan di bawah mereka. Kevin menggenggam tangan Luna erat, mencoba mengabadikan momen ini dalam ingatannya sebelum harus kembali ke rutinitasnya.
"Tidak peduli seberapa sibuk kita, aku akan selalu kembali padamu," ucap Kevin lembut.
Luna tersenyum, menatap Kevin dengan mata penuh kepercayaan. "Aku akan menunggumu."
Saat mereka duduk di balkon,
Kevin menatap Luna dengan senyum lembut saat mereka duduk di ruang tamu apartemen Luna di Jakarta. "Kau terlihat lebih santai sekarang. Tidak ada jadwal syuting dalam waktu dekat?"Luna menatap Kevin sambil menyesap teh hangatnya.
"Belum ada. Biasanya aku butuh waktu untuk recharge setelah menyelesaikan satu proyek besar. Kadang aku mengambil jeda lebih dari setahun sebelum kembali Syuting."Kevin mengangkat alisnya. "Setahun? Cukup lama juga. Jadi kau benar-benar libur total?"
Luna tertawa kecil, menggeleng pelan.
"Tidak sepenuhnya. Aku masih ambil beberapa job iklan. Itu lebih santai dan waktunya tidak menuntut seperti syuting film."
Kevin menyenderkan tubuhnya, tampak puas.
"Kedengarannya menyenangkan. Kamu bisa fokus menikmati hidup tanpa tekanan. Dan tentu saja, lebih banyak waktu untukku."
Luna mengangguk, menyandarkan kepalanya ke bahu Kevin. "Ya, aku juga senang bisa menghabiskan waktu seperti ini bersamamu, tanpa harus khawatir tentang jadwal yang padat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden Flames
RomantizmLuna Bailey, seorang aktris papan atas Indonesia yang memiliki reputasi kuat dan dingin, terbiasa menghadapi dunia dengan ketenangan. Namun, ketika skandal lama dari masa sekolahnya muncul ke permukaan, hidupnya yang tertata mulai terguncang. Sebuah...