Di pojokan kafe kampus, Wiona duduk sambil menunggu. Udara sore yang dingin membuatnya menarik sweater lebih erat, mencoba menghangatkan diri. Matanya tak lepas dari pintu masuk. Hatinya selalu berdebar setiap menunggu Shan, kakak tingkatnya. Mereka sudah sering bertemu di sini. Awalnya tanpa banyak arti, hanya sebagai teman, sesekali berbagi tawa, berbagi waktu. Tapi entah sejak kapan, perasaan Wiona mulai berubah.Shan muncul, membawa secangkir kopi dan senyum khas yang selalu membuat pertahanan Wiona luluh.
“Nunggu lama?” Shan duduk di depannya, seperti biasa dengan santai.
“Nggak juga. Lagian udah biasa kan nunggu kamu,” jawab Wiona, tersenyum kecil.
Shan tertawa, membuat Wiona ikut tertawa. Mereka mengobrol santai, membicarakan kelas, gosip kampus, tugas yang menumpuk. Sesekali Shan menyelipkan lelucon, dan Wiona merasa dunianya lebih cerah setiap kali tertawa bersamanya.
Tapi ketika obrolan mulai mereda, ada sesuatu yang sudah lama Wiona tahan, yang tak bisa lagi disimpan.
“Shan…” Suaranya pelan, nyaris berbisik.
Shan menatapnya, alis sedikit terangkat. “Hm?”
“Kita ini… sebenarnya apa, sih?”
Wiona melihat perubahan halus di wajah Shan, seperti dia sudah menduga pertanyaan itu akan datang. Ia mendesah pelan, lalu menatap lurus ke mata Wiona.
“Kamu tahu, kan? Kita ini… ya, teman… lebih dari teman, tapi nggak pakai label,” jawab Shan, mencoba tersenyum meski terlihat sedikit tegang.
Wiona terdiam, senyum getir muncul di wajahnya. “Iya, aku tahu. Tapi… kadang aku ngerasa kita lebih dari sekadar teman.”
“Wiona…” Shan menunduk, suaranya melembut. “Kamu tahu alasannya, kan? Aku nggak mau kamu terluka. Aku nggak mau kamu nanti sakit hati karena ini.”
Wiona mengerutkan kening. “Dan menurut kamu… sekarang aku nggak ngerasa sakit?”
Shan terdiam. Ia menggaruk tengkuknya, bingung menjawab. “Aku pikir… kita berdua ngerti situasinya. Nggak ada ekspektasi, nggak ada yang berharap lebih.”
Wiona menghela napas, mencoba menahan rasa yang mengganjal di dadanya. “Mungkin kamu bisa, tapi aku nggak bisa pura-pura nggak ngerasain apa-apa setiap kali kita ketemu, Shan.”
Shan tertegun. Ia menatap jauh ke luar jendela, lalu kembali menatap Wiona, kali ini dengan tatapan penuh keraguan.
“Kamu spesial buat aku. Tapi aku… bukan orang yang tepat buat kamu.” Shan menggenggam tangan Wiona, seolah berusaha menyalurkan perasaan yang tak bisa diungkapkan lewat kata-kata. “Kita cuma akan nyakitin satu sama lain.”
“Aku nggak takut disakitin, Shan.” Suara Wiona bergetar, namun ia tetap menatap Shan. “Yang aku takut… aku satu-satunya yang punya perasaan lebih di sini.”
Shan terdiam, tak mampu menjawab. Ia tahu, Wiona memang lebih dalam merasakan hubungan ini daripada dirinya. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Mungkin… kita memang harus berhenti, Wiona.”
Wiona menunduk, merasa ada yang hancur di dalam dirinya. Namun, ia tahu mungkin ini jalan terbaik. Berharap pada seseorang yang tak bisa memberi kepastian hanya akan membuatnya semakin terluka.
“Mungkin kamu benar,” bisiknya, dengan senyum pahit yang dipaksakan. “Mungkin kita harus berhenti.”
Keduanya duduk dalam keheningan. Di antara semua tawa, senyum, dan waktu yang pernah mereka bagi, kini ada perasaan yang harus dilepaskan. Mereka saling menatap untuk terakhir kali, seolah mencari keberanian untuk benar-benar melepaskan.
Di tengah kafe yang semakin ramai, mereka berdua terjebak dalam kesunyian, di antara rasa yang tak pernah terucapkan.
S E L E S A I
KAMU SEDANG MEMBACA
SNAPSHOTS IN TIME • JANGKKU
Teen Fiction"Bayangkan setiap bab seperti satu foto, masing-masing dengan cerita, warna, dan emosinya sendiri. 'Snapshots in Time' menghadirkan kisah-kisah yang berdiri sendiri, namun masing-masing meninggalkan gema, mengingatkan kita akan momen berharga dalam...