Di tengah gemerlap ibu kota, Wonyoung dan Sunghoon hidup sebagai pasangan yang baru saja menikah. Mereka berasal dari keluarga kaya raya yang sudah lama saling mengenal, dan pernikahan mereka adalah hasil perjodohan demi mempertahankan reputasi dan kekuasaan dua keluarga besar. Namun, di balik kemewahan rumah mereka yang berlokasi di distrik elit Seoul, keduanya tidak lebih dari dua orang asing yang hidup bersama tanpa pilihan.
Malam itu, Wonyoung duduk di ruang tamu yang mewah, memandangi jam tangan berlian yang dipakainya. Wonyoung tahu Sunghoon belum pulang dari rapat bisnisnya. Bagi Sunghoon, pekerjaan tampaknya lebih penting daripada pernikahan mereka. Suara langkah Sunghoon terdengar dari balik pintu, dan seketika keheningan menyelimuti ruangan.
“Kau belum tidur?” tanya Sunghoon singkat tanpa menatap Wonyoung.
Wonyoung tersenyum tipis, berusaha menutupi perasaan canggung. “Aku hanya menunggumu. Aku pikir... mungkin kita bisa makan malam bersama, tapi rupanya kau terlalu sibuk.”
Sunghoon menghela napas, merasa lelah setelah seharian bekerja. “Aku punya banyak urusan, Wonyoung. Aku harap kau mengerti. Lagipula, bukankah kita menikah hanya demi keluarga? Aku tidak ingin kau berharap lebih dari ini.”
Kalimat itu terasa tajam di hati Wonyoung, meskipun ia sudah terbiasa dengan sikap Sunghoon yang dingin. “Aku tahu perjodohan ini untuk kepentingan keluarga,” ucap Wonyoung lembut, mencoba menahan emosinya. “Tapi... apakah salah jika aku berharap kita bisa hidup lebih dari sekadar formalitas?”
Sunghoon menatapnya sesaat, lalu beralih ke arah jendela besar di belakang mereka, menatap gemerlap kota yang tak pernah tidur. “Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Aku hanya mengikuti apa yang diminta keluargaku. Aku tidak tahu bagaimana cara mencintai seseorang hanya karena diwajibkan.”
Wonyoung terdiam, perasaan sakit hatinya semakin dalam. Namun, dia berusaha tetap kuat di hadapan Sunghoon. “Aku juga tidak memilih ini, Sunghoon. Tapi jika kita memang terikat oleh takdir... tidakkah kau berpikir kita bisa setidaknya saling menghargai?”
Sunghoon terdiam, lalu dengan nada rendah ia berkata, “Hidup kita sudah terlalu diatur. Bagiku, pernikahan ini hanya menjadi salah satu aturan yang harus kuturuti.”
---
Hari demi hari berlalu, dan Wonyoung mencoba menjalani kehidupannya dengan baik. Meskipun Sunghoon dingin dan menjaga jarak, Wonyoung berusaha menciptakan kenyamanan di rumah mereka yang megah namun kosong dari kehangatan. Ia terjun dalam kegiatan sosial dan amal, berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga besar mereka.
Namun, suatu hari, Wonyoung mengalami kecelakaan kecil di sebuah acara amal yang ia hadiri. Kakinya terkilir, dan kabar itu segera sampai kepada Sunghoon. Tanpa berpikir panjang, Sunghoon meninggalkan semua urusannya dan pergi menemui Wonyoung di rumah sakit. Ia melihat Wonyoung terbaring di ranjang dengan pergelangan kaki yang dibebat perban.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Sunghoon dengan nada khawatir yang tak biasa.
Wonyoung terkejut melihat Sunghoon, namun ia tersenyum samar. “Aku baik-baik saja. Ini hanya sedikit luka.”
Sunghoon menghela napas lega, namun masih terlihat tegang. “Kau tidak perlu memaksakan diri untuk kegiatan seperti ini, Wonyoung. Kau bisa istirahat di rumah.”
Wonyoung tertawa kecil. “Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang berguna. Lagipula, aku tidak bisa hanya duduk diam tanpa melakukan apa-apa.”
Melihat ketulusan Wonyoung yang selalu berusaha menjalani hidup dengan baik, Sunghoon perlahan-lahan merasakan sesuatu yang lain. Ada rasa kagum yang tumbuh dalam dirinya, meski ia enggan mengakuinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa mungkin Wonyoung bukan sekadar istri dari perjodohan yang tak ia inginkan.
---
Hari-hari berikutnya, Sunghoon mulai mengubah sikapnya sedikit demi sedikit. Ia mulai pulang lebih awal dan makan malam bersama Wonyoung, sesuatu yang sebelumnya jarang ia lakukan. Mereka mulai saling berbagi cerita, meski hanya sebatas obrolan ringan tentang pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. Namun, bagi Wonyoung, perubahan kecil ini berarti banyak.
Suatu malam, saat mereka tengah menikmati makan malam bersama, Sunghoon tiba-tiba berbicara dengan nada yang lebih lembut dari biasanya. “Wonyoung, aku tahu aku belum menjadi suami yang baik selama ini. Tapi aku ingin mencoba. Mungkin kita bisa memulai kembali, tanpa memikirkan apa yang diinginkan keluarga.”
Wonyoung terkejut, namun ia tersenyum bahagia. “Aku juga ingin kita bisa menjalani kehidupan ini dengan lebih baik, Sunghoon. Mungkin kita tidak pernah memilih satu sama lain, tapi... aku percaya kita masih bisa membuat hubungan ini berarti.”
Sunghoon menatap Wonyoung dalam-dalam, menyadari bahwa wanita di depannya ini bukan sekadar orang yang dipaksa untuk berada di sisinya. Dia adalah seseorang yang berusaha keras dan tulus untuk membuat hidup mereka lebih baik, bahkan di tengah keterpaksaan yang mereka alami.
---
Seiring berjalannya waktu, cinta perlahan-lahan tumbuh di antara mereka. Sunghoon yang dulu dingin kini lebih perhatian, sementara Wonyoung yang awalnya hanya menunggu kini merasa memiliki seseorang yang benar-benar mendampinginya. Mereka saling melengkapi, bukan lagi sebagai dua orang asing yang dipaksa bersama, tetapi sebagai pasangan yang menemukan arti cinta di tengah perjodohan yang dulu terasa memaksa.
Di balkon rumah mereka yang tinggi, mereka berdiri berdua, menatap gemerlap lampu-lampu kota di bawah sana. Sunghoon menggenggam tangan Wonyoung dan berbisik, “Aku tahu kita terikat oleh benang merah takdir. Mungkin kita pernah merasa terpaksa, tapi sekarang... aku merasa kita adalah bagian dari satu sama lain.”
Wonyoung tersenyum, mengeratkan genggamannya. “Benang merah itu mungkin pernah kusut, tapi sekarang aku tahu, itu tidak akan pernah putus.”
Dengan senyum di wajah mereka, Wonyoung dan Sunghoon tahu bahwa ikatan mereka kini bukan lagi hanya demi keluarga, melainkan demi kebahagiaan mereka sendiri.
————S E L E S A I————
KAMU SEDANG MEMBACA
SNAPSHOTS IN TIME • JANGKKU
Ficção Adolescente"Bayangkan setiap bab seperti satu foto, masing-masing dengan cerita, warna, dan emosinya sendiri. 'Snapshots in Time' menghadirkan kisah-kisah yang berdiri sendiri, namun masing-masing meninggalkan gema, mengingatkan kita akan momen berharga dalam...