Vicky merasakan sesuatu yang ganjil. Jogja, dengan semua pesona dan ketenangannya, kini terasa asing. Udara yang seharusnya menyegarkan, kini justru terasa berat di paru-parunya. Setiap langkahnya di trotoar Kota Malioboro terasa semakin tidak pasti. Sesekali, dia menoleh, merasa ada yang mengikutinya, namun saat ia melihat ke belakang, tak ada seorang pun.
Sejak pertemuan pertama dengan Sean, semua itu terasa semakin buruk. Sean, pria yang tak pernah benar-benar dikenalnya, kini seolah muncul di setiap sudut kehidupannya. Dulu, Sean hanya teman sekelas biasa di kampusnya, seorang mahasiswa yang tidak terlalu mencolok, namun ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman—sesuatu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Namun sejak beberapa bulan lalu, Sean mulai muncul di luar dugaan. Wajahnya selalu muncul di depan matanya. Di kafe tempat ia biasa nongkrong, di taman, bahkan di sudut-sudut jalan yang sepi. Seolah-olah Sean tahu ke mana pun ia pergi. Rasanya seperti bayangan yang tidak pernah hilang.
Vicky, meskipun tidak ingin mengakuinya, merasa takut. Setiap kali berjalan sendirian di Kota Jogja yang terkenal damai ini, ia merasakan kehadiran yang mengganggu. Seolah-olah Sean sedang memantaunya, di mana pun dia berada. Namun, yang membuatnya semakin bingung, Sean selalu tampak tidak terlihat—tidak pernah muncul di depan umum, hanya muncul di tempat-tempat yang sepi dan tak terduga.
Malam itu, setelah mengikuti kegiatan kampus yang berakhir larut, Vicky berjalan pulang melalui jalan setapak yang gelap menuju kosannya. Jalan yang biasanya ramai, kini terasa kosong. Lampu jalan yang temaram hanya menerangi sebagian jalan, sementara bayangannya memanjang di atas trotoar. Ia merasa, kali ini, ada yang berbeda.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya, pelan namun teratur. Vicky berhenti sejenak, berpura-pura tidak mendengarnya, lalu melanjutkan langkahnya dengan lebih cepat. Namun, langkah itu juga semakin cepat, semakin dekat. Saat ia menoleh, sosok itu terlihat di ujung jalan, Sean.
"Vicky," kata Sean dengan suara tenang, hampir seperti bisikan angin malam. "Kamu tahu, aku selalu memperhatikanmu."
Vicky menahan napas, tubuhnya terasa kaku. "Apa yang kamu inginkan, Sean?" suaranya bergetar, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang.
Sean tersenyum, senyuman yang mengirimkan getaran aneh ke seluruh tubuh Vicky. "Aku ingin kamu tahu, Vicky, aku tidak bisa hidup tanpamu. Selama ini, aku selalu ada di sekitar kamu. Aku hanya ingin kita berdua... lebih dekat."
Vicky merasa ada ketegangan yang semakin mencekam. "Kamu gila," katanya sambil mundur sedikit, berusaha menjauh dari Sean.
Sean tidak bergerak, hanya berdiri diam dengan senyum yang semakin lebar. "Kamu tidak bisa lari dariku, Vicky. Tidak ke mana pun. Aku sudah mengawasi setiap langkahmu."
Vicky merasa bulu kuduknya meremang. Rasa takutnya kini sudah tak tertahankan. Dia berbalik dan berlari. Langkah kakinya terdengar cepat, namun langkah Sean tetap mengikuti, seperti bayangan yang tak bisa dihindari. Ke mana pun Vicky berlari, Sean selalu ada di belakangnya.
Akhirnya, Vicky tiba di kosannya, memaksa pintu terbuka, dan langsung menguncinya. Ia berdiri di belakang pintu, napasnya tersengal. Ia tahu Sean pasti ada di luar sana, menunggunya. Tetapi ketika ia menoleh ke cermin besar di ruang tamunya, matanya terbelalak.
Di dalam cermin, di balik pantulan wajahnya, ada wajah Sean. Wajahnya, dengan mata tajam yang penuh obsesi, terlihat jelas. Senyuman itu, senyuman yang jahat, muncul di cermin seolah hidup, seolah nyata. "Kamu tidak akan bisa lari dariku, Vicky," suara Sean terdengar begitu dekat, seperti bisikan di telinganya.
Vicky mundur, tubuhnya hampir terjatuh, gemetar tak bisa mengendalikan rasa takut. "Tidak... tidak mungkin!" ia berteriak, namun cermin itu hanya memantulkan wajah Sean yang semakin dekat.
Sean tertawa pelan. "Aku sudah ada di dalam hidupmu, Vicky. Tidak ada tempat yang aman. Setiap kali kamu melihat cermin, aku ada di sana."
Vicky menggigil, menyadari bahwa, entah bagaimana, Sean sudah menjadi bagian dari hidupnya. Mungkin bukan hanya di dunia nyata, tapi juga di dalam dirinya. Ia tidak bisa melarikan diri, karena bayangannya selalu ada—di setiap refleksi, di setiap sudut, di setiap cermin.
Saat Vicky melangkah mundur, cermin itu tetap memantulkan bayangan Sean yang tak terhindarkan. Senyuman jahat itu tetap ada, bahkan ketika ia menutup matanya. Karena, Sean bukan hanya mengejarnya di dunia nyata—Sean juga ada dalam cermin hidupnya.
Dan mulai malam itu, di Kota Gudeg yang tenang, Vicky tahu—ia tak akan pernah benar-benar sendirian lagi.
S E L E S A I
KAMU SEDANG MEMBACA
SNAPSHOTS IN TIME • JANGKKU
Ficção Adolescente"Bayangkan setiap bab seperti satu foto, masing-masing dengan cerita, warna, dan emosinya sendiri. 'Snapshots in Time' menghadirkan kisah-kisah yang berdiri sendiri, namun masing-masing meninggalkan gema, mengingatkan kita akan momen berharga dalam...