Musim semi telah tiba, dan di sebuah kafe kecil di Seoul, Wonyoung duduk sambil menatap jendela, memperhatikan dedaunan yang baru mulai tumbuh. Suasana di dalam kafe cukup ramai, namun pikirannya terasa kosong. Ponselnya bergetar, mengalihkan perhatiannya. Ada pesan dari Sunghoon.“Wonyoung, bagaimana kalau kita bertemu di kafe tempat biasa? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
Wonyoung merasa jantungnya berdegup kencang. Selama beberapa waktu terakhir, hubungan mereka sebagai teman dan rekan MC di acara musik sering kali membuat perasaan itu semakin rumit. Namun, dia juga ingat Haruto, sahabat pertamanya yang selalu ada untuknya sejak debut.
---
Setelah beberapa saat, Wonyoung sampai di kafe. Sunghoon sudah menunggu di meja pojok, wajahnya terlihat serius.
“Wonyoung, terima kasih sudah datang,” katanya dengan senyuman yang sedikit dipaksakan.
“Aku juga senang bisa bertemu. Apa yang ingin kamu bicarakan?” Wonyoung bertanya, merasa sedikit tegang.
Sunghoon menatapnya dalam-dalam. “Aku sudah memikirkan ini selama beberapa waktu. Selama kita menjadi MC bersama, aku merasa… aku menyukaimu, Wonyoung. Lebih dari sekadar teman.”
Wonyoung terdiam. Ucapan Sunghoon terngiang di telinganya. Dia ingin merespons, tetapi tidak tahu harus berkata apa. “Sunghoon… aku…”
“Sebenarnya, aku sudah tahu bahwa ini mungkin membuatmu merasa canggung. Aku hanya tidak bisa lagi menyimpan perasaan ini,” lanjut Sunghoon, tampak putus asa.
Wonyoung menggigit bibirnya, berpikir keras. “Aku menghargai perasaanmu, Sunghoon, tetapi… aku tidak ingin menghancurkan hubungan kita. Kita sudah terikat sebagai teman dan rekan kerja. Jika kita berusaha menjalin sesuatu yang lebih, aku takut semua ini akan berantakan.”
Sunghoon menunduk, menyembunyikan ekspresi kecewanya. “Aku mengerti. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku yang sebenarnya.”
---
Keesokan harinya, Wonyoung memutuskan untuk bertemu Haruto. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, dan Haruto selalu memberinya dukungan sejak awal debutnya.
Di sebuah restoran ramen favorit mereka, Haruto sudah menunggu dengan senyuman lebar. “Wonyoung! Aku sudah memesankan ramen spesial. Aku tahu kamu suka,” katanya sambil menunjukkan menu.
“Terima kasih, Haruto. Kamu selalu tahu bagaimana cara membuatku senang,” balas Wonyoung sambil tersenyum.
Namun, saat mereka duduk, suasana berubah menjadi serius. Haruto menatapnya dengan intens. “Wonyoung, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
“Apa itu?” tanyanya, merasa cemas.
“Aku sudah lama ingin jujur padamu. Sejak kita berteman, aku mulai menyukaimu. Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, tapi perasaanku semakin kuat,” Haruto berkata dengan jujur.
Wonyoung terkejut. Ini adalah pernyataan yang tidak dia duga. “Haruto, aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Kamu adalah sahabat terbaikku.”
“Sahabat? Itu yang kamu sebutkan?” Haruto bertanya, nada suaranya sedikit kecewa. “Aku tidak ingin merusak persahabatan kita, tetapi aku juga tidak bisa terus menahan perasaan ini.”
Wonyoung merasa tertekan. Dua orang yang penting dalam hidupnya mengungkapkan perasaan, dan dia tidak ingin menyakiti keduanya. “Haruto, aku sangat menghargai persahabatan kita. Aku tidak ingin mengubah apa pun di antara kita.”
“Jadi, kamu tidak merasa hal yang sama?” tanya Haruto, mencoba menahan emosinya.
“Aku… aku tidak siap untuk hubungan yang lebih dari persahabatan. Kita sudah memiliki ikatan yang kuat, dan aku takut jika kita mencoba untuk lebih, itu justru akan menghancurkan semuanya,” ucap Wonyoung dengan suara pelan.
Haruto menatapnya, wajahnya menunjukkan pemahaman meski rasa kecewa terlihat jelas. “Aku menghargai kejujuranmu, Wonyoung. Mungkin kita bisa tetap seperti ini, hanya sebagai teman.”
---
Setelah pertemuan itu, Wonyoung merasa sedikit lega, namun ada rasa hampa yang mengikutinya. Dia menyadari bahwa meskipun perasaan cinta bisa membawa kebahagiaan, kadang-kadang persahabatan yang sudah terjalin adalah hal yang lebih berharga. Dia memilih untuk tidak menjalin hubungan yang bisa menghancurkan persahabatan yang sudah mereka bangun.
Beberapa minggu kemudian, Wonyoung kembali ke kafe tempat pertama kali dia bertemu Sunghoon dan Haruto. Dia ingin berbicara dengan mereka berdua, berharap bisa mengklarifikasi semuanya.
“Sunghoon, Haruto, terima kasih sudah datang. Aku ingin kita bisa kembali seperti dulu,” Wonyoung membuka percakapan.
Keduanya saling bertukar pandang, lalu Sunghoon yang pertama berbicara. “Wonyoung, kami menghargai keputusanmu. Kami ingin tetap bersahabat.”
“Ya, persahabatan kita sangat berarti bagi aku,” tambah Haruto.
Wonyoung tersenyum, merasa lega. “Aku memilih untuk fokus pada karier dan diri sendiri saat ini. Aku tidak ingin mengorbankan hubungan yang telah kita jalin. Kita bisa saling mendukung sebagai teman.”
Keduanya mengangguk, dan meskipun ada rasa pahit di dalam hati mereka, mereka sepakat untuk menjaga persahabatan yang telah terjalin dengan baik.
---
Malam itu, saat pulang ke dorm, Wonyoung merasa lebih ringan. Dia mungkin memilih untuk sendiri, tetapi dia tahu bahwa kadang-kadang cinta yang terbaik adalah cinta yang tidak mengubah ikatan yang telah ada. Persahabatan adalah hal yang berharga, dan dia bertekad untuk menjaganya sebaik mungkin.
S E L E S A I
KAMU SEDANG MEMBACA
SNAPSHOTS IN TIME • JANGKKU
Fiksi Remaja"Bayangkan setiap bab seperti satu foto, masing-masing dengan cerita, warna, dan emosinya sendiri. 'Snapshots in Time' menghadirkan kisah-kisah yang berdiri sendiri, namun masing-masing meninggalkan gema, mengingatkan kita akan momen berharga dalam...