Batas Tipis Antara Kita

23 14 0
                                    


Vicky dan Shian. Dua nama yang sering jadi bahan obrolan di kampus. Bukan karena mereka pasangan serasi atau apa, tapi lebih karena hubungan mereka yang... ya, agak absurd. Kalau kata anak kampus, mereka tuh “love-hate relationship” banget. Ada hari-hari di mana mereka terlihat asik bareng, tapi ada juga saat di mana mereka kayak kucing sama anjing—nggak bisa lepas dari saling ledek dan sindir.

Sore itu, Vicky lagi nungguin Shian di kafe kampus. Mereka harus ngerjain tugas kelompok, tapi Shian (seperti biasa) datang telat. Saat akhirnya cowok itu muncul dengan senyum setengah nyebelin di wajahnya, Vicky udah pasang ekspresi sebel maksimal.

"Bro, jam berapa nih?” Vicky langsung ngegas.

Shian cuma nyengir. “Chill, Vik. Baru lima belas menit telat kok. Lu terlalu tegang deh hidupnya,” balasnya sambil naruh tas dengan santai.

Vicky mendesah, melipat tangannya di dada. “Dua puluh menit, Shian. Udah tau deadline-nya ketat, tapi lu masih aja telat. Gue nggak ngerti deh kenapa gue masih tahan kerja bareng lu.”

Shian ketawa kecil, angkat bahu. “Karena lu nggak ada pilihan lain, kan? Siapa lagi yang bisa nahan vibe lu yang perfeksionis itu?”

Vicky melotot, tapi Shian cuma nyengir makin lebar. Udah tau kalau Vicky bakal ngomel-ngomel gitu, tapi dia malah ngerasa ini seru. Buat Shian, Vicky itu partner yang nggak biasa—gampang banget dibuat kesel tapi, entah kenapa, dia juga yang bikin hari-harinya jadi nggak ngebosenin.

“Yaudah, mulai aja deh,” Vicky akhirnya menyerah sambil mengeluarkan laptop. Mereka mulai diskusi, walau tetap dengan bumbu saling sindir. Tapi itulah mereka. Seaneh apapun, keduanya somehow menikmati momen-momen kayak gini.

Beberapa hari kemudian, kampus ngadain kompetisi debat. Vicky, si anak yang kalo ngomong selalu tajam dan penuh argumen, udah bersiap-siap buat menang. Tapi tanpa disangka, Shian ternyata ikutan kompetisi itu juga dan mereka ketemu di babak final.

Pas Shian dapat giliran ngomong, dia sengaja ngelirik Vicky sambil senyum iseng. “Jadi, menurut gue, hidup ini nggak harus selalu on point atau sesuai ekspektasi orang lain. Kadang kita tuh cuma butuh... ya, a little chill,” ucapnya, dengan nada yang kayaknya sengaja banget buat nyentil Vicky.

Vicky yang lagi duduk berusaha kelihatan kalem, tapi matanya menyorot penuh tantangan. Begitu dapat giliran, dia langsung balas dengan nada yang nggak kalah nyolot. “Ya, tapi kepekaan itu nggak bisa jadi alasan buat nggak serius, kan? Orang yang ngerti tanggung jawab pasti paham pentingnya disiplin, nggak cuma asal santai-santai doang.”

Kompetisi berjalan sengit, dan akhirnya Shian yang menang. Setelah mereka keluar dari aula, Vicky jalan di samping Shian sambil masang muka kesal.

“Jadi, seneng banget ya menang lawan gue?” kata Vicky sambil melirik Shian.

“Eh, jangan denial gitu dong. Lu bete karena kalah, kan?” goda Shian dengan senyum penuh kemenangan.

“Bukan soal kalah-menang. Cuma... ya, lu tuh terlalu santai! Kalo mau serius, serius aja, jangan setengah-setengah!” Vicky berusaha ngomel, tapi Shian malah kelihatan makin seneng.

“Vik, yang bikin lu tetep betah sama gue itu ya sisi santai gue. Ya ngaku aja, lu suka, kan?” godanya lagi sambil senyum nakal.

Vicky mendadak terdiam, wajahnya sedikit memerah, tapi dia buru-buru nutupin dengan balas nyindir, “Hah, pede amat. Yang ada, gue tuh cuma kasian aja. Takut lu makin terjerumus jadi anak leha-leha.”

Shian ketawa lepas, ngerasa menang. “Oke deh, apapun kata lu. Tapi tetep aja, lu nggak pernah bisa lepas dari gue.”

Mereka tertawa bersama, sadar kalau di balik segala ledekan dan debat, ada sesuatu yang lebih dalam yang sulit diungkapkan. Kadang mereka benci, kadang mereka suka, tapi apa pun itu, keduanya tahu kalau mereka saling melengkapi. Dan mungkin, dalam love-hate relationship yang nggak jelas ini, mereka menemukan rasa yang selama ini mereka cari.

S E L E S A I

SNAPSHOTS IN TIME • JANGKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang