Di sinilah sekarang, di tengah hamparan rumput luas yang langsung menghadap pada pemandangan kota di malam hari, Aran dan Chika duduk berdampingan menatap pada lampu lampu yang menyala di pemukiman yang ada di bawah sana. Aran yang tadinya akan mengantarkan Chika pulang, memutar haluan ke tempat ini untuk mengajak wanita itu bicara.
Tadi Chika juga sempat menolak ingin di antarkan oleh Aran, tapi melihat tatapan tajam lelaki itu, Chika akhirnya menurut.
Keduanya berada dalam keheningan yang cukup lama. Sudah hampir 15 menit mereka duduk di sana dan saling diam. Berperang dengan isi kepala masing-masing tentang pertanyaan-pertanyaan yang muncul begitu saja.
Sesekali Chika menoleh sekilas menatap wajah samping Aran ketika hembusan nafas kasar terdengar dari lelaki itu.
Sedari tadi Aran tak berbicara sedikitpun padanya. Bahkan sejak terakhir kali ia bicara saat mengatakan jika dia akan mengantarnya pulang dan setelah itu tak ada suara apapun lagi saat di mobil hingga sampai di tempat ini.
"Kamu tau kenapa aku ajak kamu ke tempat ini?"
Chika menggeleng tanda tak tahu. Memang dia tidak tahu apa tujuan lelaki di sampinya ini.
"Ini waktu yang tepat untuk kita bicara setelah sekian lama" lanjutnya lelaki itu.
Karena sejak bertemu Chika kembali, mereka memang tidak memiliki waktu untuk berbicara satu sama lain, lebih tepatnya tidak siap, karena yakin akan ada sesak jika membahas masa lalu.
Chika masih diam menunggu Aran melanjutkan kalimatnya.
"Jujur aja, dulu awal awal kepergian kamu, aku masih mengharapkan kembalinya kamu." Aran menoleh menatap pada Chika yang duduk di sebelahnya.
"Lucu ya? Aku masih berharap padahal kamu udah ninggalin aku" Aran terkekeh pelan, menertawakan dirinya yang cukup menyedihkan.
Kembali hening, Aran masih berusaha menyusun kata-katanya. Sedang Chika, hanya diam membisu merasa sesak.
"Dari awal, seharusnya aku gak pernah menaruh kepercayaan sama kamu. Kamu datang ke aku, meyakinkan aku kalau kamu juga memiliki perasaan yang sama setelah beberapa waktu yang udah kita lewati"
"Dan bodohnya aku malah percaya" Aran terkekeh pelan.
Mendengar itu, Chika hanya bisa meneteskan air matanya mendengar semua yang Aran ungkapkan. Dadanya terasa sakit mendengar semua kata-kata Aran yang seolah-olah menyesal memilihnya. Bahkan jika itu dirinya, dia juga akan membenci orang yang sudah meninggalkannya.
"Kenapa kamu harus pergi Chik?"
"Kenapa ga pergi sejak awal sebelum aku jatuh cinta sama kamu?" Tanya Aran bergetar menatap wajah Chika. Pertanyaan yang selalu terputar di kepalanya setiap kali ia teringat tentang Chika. Pertanyaan itu akhirnya lolos dari bibirnya. Sesakit itu rasanya menanyakan apa alasan atas perginya wanita ini.
"Kamu menyesal Aran? Kamu menyesal memilih aku?" Tanya Chika di sela isakannya. Nada suaranya melemah bercampur rasa sakit yang ia rasa.
Aran menggeleng. "Aku gatau apakah pilihan itu salah atau benar, tapi aku gak bohong kalau dulu aku juga pernah bahagia sama kamu"
"Beberapa bagian dari cerita kita pernah buat aku sesayang itu sama kamu. Hanya saja rasa sayang aku ga pernah mampu buat kamu terus bertahan sampai kamu memilih pergi"
"Aku minta maaf.."
"Mungkin aku egois karena selama ini terlalu menyalahkan kamu, sampai aku lupa kekurangan aku bisa jadi alasan atas kepergian kamu"
"Semua salah aku Ran, aku yang gak pernah bersyukur punya kamu" ucap Chika lirih. Air matanya menetes semakin deras.
"Kalau kembalinya aku hanya buat luka kamu semakin dalam, aku minta maaf. Aku gak tau harus kemana lagi karna ga ada siapapun lagi tempatku kembali selain kamu. Aku mau ketemu anak aku, hanya itu"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa 2; Hujan
Short StoryHidup tidak selalu berjalan dengan mulus dan sesuai keinginan. Apalagi kehidupan setelah pernikahan, banyak hal yang telah dilalui oleh pasangan pasangan yang baru saja menikah. Salah satunya adalah perbedaan pendapat dan pemikiran yang tidak sejala...