19. Mama Chika

953 158 13
                                    

Chika menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya dan mengusap wajahnya dengan kasar, ia menghela nafas panjang. Kedatangan Aran membuatnya sangat terkejut, apalagi melihat laki-laki itu yang marah kepadanya karena hal yang tidak ia duga.

Chika sendiri tidak tahu menahu jika teman temannya benar benar mengambil tindakan tes DNA demi membantu dirinya. Teman temannya tidak memberitahunya sedikitpun perihal ini kepadanya.

Chika memijat pelipisnya yang berdenyut, lagi lagi ada hambatan ketika ia mulai mencoba mendekati Aran. Belum lagi memulai, tapi ia sudah dipukul mundur duluan dengan sikap Aran yang kembali dingin terhadapnya.

Chika bingung, entah dengan cara apalagi ia mencoba mendekati Aran, Aran benar-benar menutup akses untuknya. Bahkan mungkin sangat kecil kemungkinan ia bisa masuk kembali ke dalam kehidupan Aran. Bahkan melalui Rain sekalipun.

Bukan tanpa alasan, Chika sudah setengah jalan dan sudah sepenuhnya menunjukkan dirinya lagi. Ia harus mencapai tujuannya, yaitu mencari tahu tentang anaknya yang ia tinggalkan dulu. Jika ia menyerah sekarang, maka semua yang ia lakukan selama ini akan sia-sia.

Bagaimanapun juga ia tetap harus mendapat maaf dari Aran atas kesalahannya di masa lalu. Ia ingin menebus kesalahannya jika bisa. Chika tak ingin mengulang kesalahan yang kedua kalinya, dimana dia selalu dibayang-bayangi rasa bersalah karena tidak mendapat maaf dari almarhum papinya sampai beliau menghembuskan nafas terakhir.

Seperti yang papinya pernah ucapkan dulu,

"Tebus kesalahan kamu kalau kamu merasa bersalah dan menyesal. Jangan hanya menangisi yang sudah terjadi, itu tidak ada gunanya Chika. Papi kecewa sama kamu, tapi bagaimana dengan Aran dan keluarganya? Mereka juga pasti kecewa."

"Dan satu lagi, minta maaf dengan anakmu. Di dunia ini mungkin ada yang namanya mantan suami, tapi tidak ada yang namanya mantan anak. Dia anak kamu, tanggung jawab kamu menghidupi dia"

Hanya itu pesan terakhir yang ia dapat dari papinya sebelum papinya pergi ke Bandung. Sebulan setelahnya ia mendapat kabar jika papinya sakit lalu akhirnya meninggal.

Dunia Chika hancur saat itu juga. Dalam keadaan belum mendapat maaf papinya saat itu tapi beliau sudah pergi lebih dulu. Pada akhirnya hanya tersisa penyesalan yang membuat Chika terus menerus menyalahkan dirinya.

Sesak itu kembali Chika rasakan. Pandangannya mengabur seiring air mata yang turun perlahan membasahi pipinya. Dia sudah tidak punya siapapun. Keluarga satu satunya telah pergi. Dia sendirian.

Chika menghapus air matanya, ia mengambil tas dan berjalan ke luar dari ruangan.

Chika mengemudikan mobilnya tanpa arah. Segala yang terjadi di hidupnya kembali terlintas. Masa lalunya, hidupnya sebelum itu, bahagianya, semuanya seakan menjadi flashback. Untungnya Chika masih bisa mempertahankan fokusnya sendiri, meski sesekali ia terus mengusap pipinya yang basah tanpa henti.

Mobilnya berhenti di depan sebuah rumah besar berwarna abu. Rumah yang seseorang di dalamnya pasti tidak menerima kedatangan dirinya. Chika masih diam, menangis terisak dalam kesendiriannya.

***

"Abis dari mana?"

"Cafe Bun"

Aran menyandarkan tubuhnya di sofa sembari memijit pelipisnya yang berdenyut. Sepulang dari kantor Chika, pikirannya mendadak kalut. Wanita itu benar-benar membuatnya pusing.

"Kenapa? Ada masalah di cafe?" Tanya Shani sembari meletakkan segelas kopi untuk Aran.

Aran menyeruput kopinya sembari menggeleng sebagai jawaban.

"Rain mana?"

"Tidur dia. Tadi pulang sekolah langsung makan terus tidur sama mbak" jawab Shani

"Kusut banget mukamu, lagi banyak pikiran?" Tanya Shani lagi sambil mendudukkan dirinya di sofa.

Rasa 2; Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang