8. Hadiah

616 128 5
                                    

Pagi pagi sekali Chika telah bangun dari tidurnya dan langsung bersiap siap diri karena hari ini ia ingin cepat cepat menemui anak kecil kesayangannya. Kemarin ia lupa kalau ada janji dengan anak itu dan mungkin membuatnya menunggu. Ini kesalahannya karena lalai dengan janjinya sendiri.

Chika duduk di depan meja riasnya, memoles wajahnya dengan make up tipis dan menutupi bawah matanya yang lagi lagi sembab karena menangis semalam.

Entah sudah sepuas apa ia menangis dan itu masih belum cukup untuk menutupi rasa bersalahnya, mungkin tidak akan pernah cukup. Setiap malam ia menangis menjelang tidurnya, ketika rasa bersalah itu hinggap dan membuatnya sulit tidur hingga malamnya ia habiskan hanya untuk menangisi kesalahannya.

Chika memandangi wajahnya di cermin, mengusap bawah matanya yang lagi lagi membengkak, selalu seperti ini ketika ia terbangun.

Setelah selesai bersiap siap, Chika pun keluar dari kamarnya dan turun ke lantai bawah bertepatan dengan Ashel yang baru saja keluar dari kamar tamu yang biasa dia pakai.

"Pagii" sapa Chika

"Pagi juga" balas Ashel

Keduanya berjalan ke meja makan yang disana sudah tersaji sarapan untuk mereka. Keduanya langsung saja menyantap sarapannya dengan diiringi obrolan kecil.

"Mata sembab, nangis lagi semalem?" Tanya Ashel di sela sarapannya. Hal biasa yang selalu ia tanyakan setiap pagi padahal ia sendiri sudah tau jawabannya.

Chika hanya berdehem pelan sebagai jawaban.

"Nangisin apa lagi? Ga usah ditangisin terus, semua udah lewat Chik"

"Gabisa cel, keinget papi.." lirih Chika.

Ashel menatap sendu pada Chika yang duduk di seberangnya. Selama ini, tak hanya pada Aran, tapi pada papinya juga Chika selalu merasa bersalah. Ashel sendiri telah banyak sekali menampung semua keluh kesah Chika, ceritanya, kesedihannya, hanya ia dan Olla yang menjadi tampungan segala keresahan Chika. Karena tak ada siapapun lagi yang bisa mendengarkan cerita Chika selain mereka.

"Chik, percaya sama gue, bokap lo pasti udah maafin Lo sebelum Lo minta" ucap Ashel menguatkan. Setidaknya hanya kalimat penenang itu yang bisa ia sampaikan sekarang.

"Papi benci gue cel, papi marah sama gue.." ucapnya pelan tapi penuh penekanan. Matanya mulai berkaca-kaca karena emosi dan kesedihannya.

Ashel hanya terdiam, ia beralih lalu duduk disebelah Chika dan mengusap pundaknya. Ia merasa bersalah karena pagi pagi sudah membuat Chika sedih.

"Maaf yaa, harusnya tadi gue ga nanya itu ke Lo, jadinya bikin Lo keinget lagi. Sorry.."

Chika mengangguk pelan, ketika Ashel menariknya ke dalam pelukannya setetes air mata Chika jatuh dan berubah menjadi tangisan lirih.

Ashel hanya bisa memeluknya, menguatkannya melalui usapan di pundak rapuh Chika. Tidak ada yang tahu seberapa rapuhnya perempuan itu, seberapa hancurnya dia kehilangan orang orang yang menyayanginya.

Ashel membiarkan Chika yang menangis di bahunya, sampai temannya itu mulai tenang baru ia melepaskan pelukan mereka.

"Lanjut makan lagi, habis ini kita beli hadiah buat bocil Lo" ucap Ashel.

Chika mengangguk sembari mengusap pipinya yang basah.

















***

"Kemarin dia udah beli mainan yang ini cel"

"Ya Lo tinggal beliin lagi aja"

"Ga, gue mau yang lain aja"

Rasa 2; Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang