15. Mabuk

830 151 9
                                        

Sepulang dari cafe Aran tadi, Chika tak berhenti menangis dan menyalahkan dirinya. Ia benar-benar merasa di benci Aran sekarang. Aran tak mau menatapnya, bahkan berbicara dengannya. Juga, Chika merasa putus asa karena harapannya untuk bisa bersama Aran lagi telah pupus. Aran telah dimiliki orang lain.

Hari ini Chika menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kemesraan Aran dan Anin. Mereka sangat romantis dan saling melengkapi. Aran juga kelihatan jauh lebih bahagia dengan kebersamaannya dengan Anin. Chika kalah telak.

Mungkin dari sekarang ia harus berhenti mengejar Aran, rencana yang sudah ia susun dari jauh jauh hari harus ia tutup begitu saja karena sudah tidak ada harapan lagi.

Chika masih menangis terisak, bahkan Olla, Ashel dan Aldo bingung bagaimana cara untuk menenangkannya. Sudah hampir 1 jam lebih Chika menangis tanpa henti.

"Hiks..hiks.."

"Udah lah Chik, kan belum tentu bener juga"

"Itu bener shel! Dia sendiri yang bilang kalo Anin istrinya! Hiks"

"Yaudah sih Chik, kan tujuan Lo nyari tau Rain anak Lo apa bukan, ngapa malah nangisin bapaknya deh?" Olla berdecak sebal melihat Chika yang masih bersikap kekanak-kanakan padahal dia sudah dewasa.

"Ollaaa" geram Ashel. Karena mulut temannya itu tangis Chika malah semakin pecah.

"Lagian, kemaren aja Lo ninggalin dia, sekarang dia punya istri baru malah ditangisin, aneh" bukannya diam, Olla malah semakin menambah suasana semakin runyam.

"Duh.."

"Iya semua salah gua! Gua yang salah! Puas?!!" Chika berteriak sambil memukul-mukul bantal sofa sampai melemparkannya ke sembarang arah.

"Salahin gue! Aran benci gue itu juga salah gue! Papi meninggal itu juga salah gue!"

"Kalian kalo mau ninggalin gue juga silahkan! Tinggalin gue sekarang!" Teriaknya, setelahnya ia menangis dengan keras.

Chika menangkupkan kedua tangannya di wajah dan menangis terisak. Ia meracau dan menjambak rambutnya sendiri.

Olla, Ashel, dan Aldo saling pandang. Mereka sudah terbiasa melihat Chika seperti ini, memang tidak bisa ditenangkan kalau bukan dari Chika sendiri yang berhenti.

"Lu sih!" Ashel mendelik pada Olla.

Olla ingin menjawab, tapi mulutnya dibungkam oleh Aldo menggunakan bantal. Jika gadis itu kembali bersuara, yang ada emosi Chika semakin tak terkendali dan dia semakin menyakiti dirinya sendiri.

"Diem" ucap Aldo.

Ashel mendekat pada Chika, menarik tangan Chika dengan lembut untuk melepaskan cengkraman dari kepalanya sendiri. Ia menarik Chika ke dalam pelukannya, mengusap bahu rapuh itu agar ia tenang.

Meski Ashel juga kadang emosian, tapi ia lebih bisa mengendalikan dirinya daripada Olla. Jika mengandalkan Olla, gadis itu akan terus mengeluarkan kata-kata yang membuat Chika semakin emosi dan menyalahkan dirinya.

Setelah cukup tenang, Ashel melepas pelan pelukannya, membenarkan rambut Chika yang acak-acakan dan mengusap air mata di pipi temannya itu.

Chika memeluk lututnya sendiri, masih sesegukkan tanpa henti.

"Jangan peduliin gue!" Chika menepis kasar tangan Ashel lalu mendorong tubuhnya hingga Ashel terdorong ke belakang.

Chika berlari ke luar rumah, membuat ketiga temannya panik.

"Ayo kejar kenapa malah diem?!" Ashel berteriak panik.

"Lo udah di dorong kasar ama dia cel, masih peduliin dia?" Olla menggeleng, jika refleknya tidak bekerja, kepala Ashel sudah terbentur sudut meja tadi.

Rasa 2; Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang