9 Januari 2017
Hari ini, tepat satu bulan Baskara pergi bertugas jauh di Pulau Sebatik— Pulau perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan Utara.
Leandra masih dengan kesibukannya sebagai seorang dokter di rumah sakit.Sore ini, waktu sudah menunjukan pukul 16.03. Sisa satu pasien lagi untuk ia bisa melepas kepenatan seharian ini.
"Sore, Dok ...," sapa pasiennya itu, wanita paruh baya yang terlihat sangat ramah dan lembut sekali, bisa dilihat bagaimana cara ia menyapa Leandra.
Leandra menoleh lalu tersenyum. "Sore, Ibu ... silahkan," balasnya tak kalah ramah. Ini mengingatkan ia pada orang tuanya yang berada jauh dengan dirinya saat ini.
***
Selesai melakukan beberapa pemeriksaan, Leandra berbincang sebentar untuk menjelaskan bagaimana hasilnya.
"Ibu ... hasilnya cukup baik, ya. Tekanan darah dan gulanya normal. Hanya saja menurut saya, Ibu harus lebih banyak beristirahat di rumah ya, Bu." Leandra iringinya dengan senyum.
"Tapi, Bu. Tadi saya lihat dari cara jalan ibu, apakah kaki ibu mengalami cidera?" lanjut Leandra. Ia sangat peka terhadap kondisi pasien-pasiennya, bahkan hal kecil sekalipun.
Ibu itu mengangguk. "Iya, Dok. Ini sudah dari lama waktu saya masih muda. Saya mengalami kecelakaan saat di Medan Tempur dulu." Jawaban Ibu membuat Leandra sedikit terkejut lalu pikirannya langsung tertuju pada seseorang—Baskara.
"Ibu tentara?" tanya Leandra, dibalas anggukan serta senyum tulus dari Ibu di hadapannya.
"Iya, Dok. Rupanya profesi Ibu dulu, menurun pada anak lelaki Ibu," jawab Ibu.
Leandra dengan seksama mendengarkan apa yang Ibu itu ucapkan. "Sekarang, dia lagi pergi tugas sampai bulan Februari nanti," lanjut Ibu itu.
Leandra mengerutkan alisnya, teringat kembali pada Baskara. Baskara juga sedang menjalankan tugas dan akan kembali bulan Februari. Jantungnya kembali berdegup kencang saat mengingat sosok ini.
"Eum ... jika di Medan Tempur seperti itu, seberapa yakin Seorang Prajurit untuk bisa pulang dengan selamat, Bu?" Entah mengapa, kalimat itu tiba-tiba dilontarkan oleh Leandra.
Ibu itu tersenyum. "Keyakinan itu selalu ada. Tapi namanya di Medan Tempur, tidak ada yang meyakinkan untuk benar-benar bisa pulang. Semuanya bisa terjadi begitu saja, sebagai keluarga, kami hanya bisa mendoakan atas apa yang diinginkan."
Leandra merasakan kehangatan di hatinya, jawaban Ibu ini benar-benar memberinya keyakinan. Bahwa dengan doa lah, ia bisa menyampaikan harapan.
"Dokter sedang menunggu kepulangan seseorang dari Medan Tempur?," tanya Ibu membuat Leandra menciptakan senyumnya, lalu ia menganggukan sedikit kepalanya.
Leandra mengulurkan tangannya. "Maaf, Bu. Saya lupa perkenalkan diri," ucapnya terkekeh kecil. "Saya Leandra," lanjutnya.
Ibu itu mematung sejenak, mendengar nama 'Leandra' yang tidak asing di telinganya. "Ini Dokter Leandra?"
Leandra keheranan, apakah Ibu ini mengenali dirinya? "Iya, Bu. Saya Leandra," balasnya meyakinkan.
"Dokter Leandra! Saya Amara, Ibu dari Baskara." Jawaban itu sontak membuat Leandra membelalakan matanya, mulutnya sedikit terbuka, bagaimana bisa ia bertemu Ibu dari seseorang yang selama ini mengisi benaknya?
"Baskara yang menyarankan saya untuk berobat ke sini, katanya pelayanannya baik. Beberapa kali juga dia menceritakan Dokter Leandra kepada saya. Katanya juga, Dokter Leandra sangat telaten dalam memeriksa pasien. Untung sekali bertemu, ya," lanjut Ibu Amara. Sedangkan Leandra masih terkejut tidak bisa berkata-kata. Ia hanya tersenyum kikuk lalu menyalami Ibu Amara.
Leandra merasakan haru dalam hatinya, rupanya Baskara sudah menceritakan dirinya pada keluarganya. Sampai-sampai Sang Ibu rela datang ke rumah sakit ini untuk memeriksa kesehatannya, dan dengan harapan bisa bertemu Leandra, Dokter telaten yang sering anak lelakinya ceritakan itu.
"Apa seseorang yang ditunggu Dokter itu, adalah Baskara, Dok?" tanya Bu Amara yang membuat Leandra sedikit kebingungan untuk menjawab pertanyaan ini.
Leandra tersenyum tipis, wajahnya terlihat memerah. "Iya, Ibu. Saya harap, Baskara baik-baik saja di sana," jawab Leandra sedikit ragu.
Amara melemparkan senyum tulusnya, lalu ia raih tangan Leandra. "Baskara akan baik-baik saja, Dokter Leandra. Saya senang, Baskara bisa mempunyai teman dekat yang begitu tulus," gumam Amara, Leandra tersipu malu atas perkataannya.
***
Setelah percakapan ringan mengalir dalam beberapa waktu, akhirnya mereka berdua keluar dari ruangan pemeriksaan. Waktu mereka tadi cukup panjang dan terasa sangat mengesankan bagi keduanya.
"Ibu, apa perlu Leandra antar pulang?" tawar Leandra pada Ibu Amara.
"Tidak usah, Dokter Leandra. Saya tunggu jemputan saja," tolak Amara.
"Sekalian saya pulang juga, Bu. Gapapa biar saya antar, ya? Sudah sore juga ini," ajak Leandra, terlihat waktu juga sudah menunjukan pukul 17.10.
Amara tidak enak jika harus menolak tawaran ini, terdengarnya sangat tulus dan ingin membantu. "Ya sudah kalau tidak merepotkan, terima kasih, ya."
***
Leandra dan Ibu Amara sudah sampai di tempat tujuannya. Dengan sedikit ragu, Leandra melangkah keluar dari mobil mengikuti ajakan Ibu Amara untuk turun terlebih dahulu.
Sampai di halaman rumah, Leandra memutuskan untuk berpamitan di sini. Sebab, tidak enak mengganggu waktu istirahat keluarga Baskara.
"Ibu, Leandra sampai sini saja. Sudah hampir malam juga, masih ada sedikit kerjaan yang perlu diselesaikan," ucap Leandra menghentikan langkahnya.
Dengan berat hati, Ibu Amara harus mengiyakan ucapan Leandra. "Ya sudah kalau begitu, maaf sudah merepotkan, ya?" balas Amara.
Leandra menggeleng. "Tidak sama sekali, Bu. Terima kasih juga ajakannya untuk mampir."
Di sela obrolan singkatnya, terdengar suara berat memanggil Ibu Amara dari arah depan pintu rumah, rupanya itu adalah Papa dari Baskara.
"Mah, kenapa gak diajak masuk tamunya," teriak Papa Baskara yang terdengar tegas tapi tetap lembut.
Ibu Amara menunjuk ke arah Papa Baskara berdiri. "Tuh, ada Papanya Baskara. Beneran gak mau mampir dulu, Dok?" tawar Amara.
Bersambung..✨
Inget apaa?? jangan lupa buat vote, guys!
itu sederhana, tapi berarti banget buat akuu. Thank you, tunggu kelanjutannya besok yaa!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Atma dan Renjananya
Short StoryKerinduan, pengorbanan, dan bertahan. Hidup masih tetap berjalan meski ada yang hilang. Tolong sampaikan pada bintang, bisikan pada Sang pemiliknya, bahwa memang benar.. semua yang dicinta, pasti akan hilang. "Jika Tuhan masih mengizinkan, saya pa...