14 | "2017"

194 38 7
                                    

Sebelum baca, diharapkan vote duluu🫵🏻

Enjoyy!!

****

Rumah Sakit, 22 Januari 2017

Semalam, Leandra memutuskan untuk beristirahat di rumah sakit, menstabilkan kondisinya seusai pengambilan darah. Ia tidur di ranjang rumah sakit, pagi ini.. suasana rumah sakit jauh lebih tenang dari kemarin.

Semburat matahari pagi, masuk dari celah jendela rumah sakit, menambah kehangatan pagi ini. Ibu Amara menghampiri Leandra dengan membawa sesuatu di tangannya. "Sayang, sarapan dulu ya, Nak," ucap Amara, ia membawa satu porsi bubur ayam dan segelas air minum.

Mendengar suara lembut itu, Leandra beranjak dari tidurnya lalu duduk dengan tubuh yang ia sandarkan. Masih lemas rasanya, sebab sebelumnya Leandra belum pernah melakukan transfusi darah. Hingga mungkin, tubuhnya masih beradaptasi.

Leandra tersenyum tulus. "Makasih ya, Bu."

"Baskara gimana sekarang, Bu?" lanjutnya.

"Baskara sudah siuman, lagi sarapan juga dia sekarang," jawab Ibu Amara sembari menyiapkan sarapan pagi Leandra.

"Sama siapa, Bu? Kenapa Ibu di sini? Ibu gak temani Baskara?" Serentetan pertanyaan Leandra lontarkan.

Dengan tenang Ibu Amara membalas, "Baskara laki-laki, dia bisa. Lagi pula ada Papanya di sana, jadi ... Ibu temani Dokter Leandra di sini."

"Terima kasih untuk semalam, ya?" Ibu Amara meraih tangan Leandra, tatapan mereka penuh arti dan cinta. Leandra mengangguk mantap. "Gak usah bilang terima kasih terus, Bu. Leandra ikhlas lakuin ini," jawabnya tak kalah tulus.

"Ini biar Ibu suapin, ya." Ibu Amara mengangkat satu sendok bubur ayam, mendekatkannya pada mulut Leandra.

Leandra menggeleng. "Leandra bisa sendiri, Bu. Ibu bisa temani Baskara di sana," ujarnya.

"Shh ... makan aja, Ibu suapin." Akhirnya, Leandra menurut apa kata Ibu Amara. Sungguh, ia merasakan kembali kehangatan seorang Ibu saat ini.

Di tengah suapan demi suapan yang masuk, Ibu Amara mengatakan, "Dokter Leandra, sebetulnya tinggal sama siapa di sini? Semalam gak pulang, memangnya orang tua Dokter gak nyariin?"

Tatapannya tulus, hangat, penuh cinta. Leandra dengan ramah menjawab, "Leandra sendiri, Bu. Ayah Ibu Leandra ada di Bandung, Leandra pisah sama Ayah Ibu dari awal pendidikan, sampai sekarang menetap kerja di sini," ucapnya diiringi tawa berat.

Mendengar itu, hati Amara tersentuh. Rupanya, tidak hanya baik hati, Leandra juga punya sisi mandiri. Sosok yang dikenal kuat, tapi selalu ada sisi rapuh ketika mengingat keluarganya.

"Ngga sendiri, Dok. Ada Ibu, Baskara, Pak Jaya, Langga. Anggap kami keluarga kamu di sini," ujar Amara menguatkan.

***

Di sudut kamar lain, Baskara yang kini tengah menikmati sarapannya juga. Kondisinya jauh lebih baik dan lebih segar dari sebelumnya.

Dalam keheningan itu, Pak Jaya membuka suara. "Bang, tau gak siapa yang donorin darah buat kamu semalam?" ucap Sang Ayah.

"Papa, kan? Atau, pihak rumah sakit?" Oh, God.. Baskara sama sekali tidak mengetahuinya.

Papanya menggeleng cepat. "Bukan," jawabnya.

"Terus?"

"Leandra," jawab Papa tegas.

Mendengar nama itu, hatinya tersentak kecil. Baskara mengerutkan dahinya, bagaimana bisa Leandra mendonorkan darahnya? Apa golongan darahnya sama? Apa Leandra benar-benar mengorbankan dirinya untuk keselamatannya malam itu? Beribu pertanyaan melintasi pikirannya.

"Leandra?" tanyanya meyakinan.

Pak Jaya mengangguk. "Semalam, dia datang ke sini jam 12," jawab Papanya.

"Sekarang, Leandra di mana, Pah? Mama juga di mana?"

"Mama lagi temenin Leandra di ruang transfusi darah. Lagi nganterin sarapan, semalam dia gak pulang, dia tidur di rumah sakit," jelas Pak Jaya.

Baskara merasakan rasa yang tampaknya tidak bisa ia ungkapkan. Entah itu rasa kagum, rasa khawatir, atau rasa cinta?

"Papa bisa bantuin Abang ke sana gak?" ucapnya seraya menyimpan sarapan yang sudah ia nikmati sedari tadi.

***

Leandra yang tengah asik berbincang dengan Amara. Melihat sosok Baskara dengan kursi rodanya di ambang pintu ruangan. Senyum tulus tersimpul di wajah pria itu. Pak Jaya membantu mendorong kursi roda putranya untuk mendekat ke ranjang tempat Leandra duduk.

"Bas? Kok keluar ruangan?" ucap Leandra cemas.

Papa dan Mama Baskara memundurkan langkahnya, mereka diam di belakang menyaksikan interaksi Putranya itu.

Di samping ranjang, Baskara meraih tangan Leandra. "Terima kasih, ya? Pengorbanan kamu semalam, membuat saya masih bisa menghirup udara dunia."

Leandra balas genggaman itu lebih erat. Matanya sudah mulai dipenuhi bulir bening yang akan menetes. Hatinya berdegup cepat. "Sama-sama, selagi saya bisa, selagi saya mampu, gak ada salahnya buat bantu."

Baskara menyeka air mata yang mengalir lembut di sudut matanya. "Seharusnya saya yang nangis, kamu jangan," ucap Baskara.

Seperti mengerti apa yang tengah Leandra rasakan, Baskara mengatakan, "Jangan pernah merasa sendiri, jangan bilang kamu sendiri di sini. Ada saya, ada keluarga saya." Ucapan itu persis seperti apa yang dikatakan oleh Ibu Baskara.

Seolah hanya ada mereka berdua, seperti hanya dua bintang yang berkelip di langit malam, sampai-sampai mereka lupa bahwa ada orang tuanya di sana. "Ini kayaknya sudah lebih dari sekedar teman sejati," usil Pak Jaya menimpali.

Keduanya menoleh ke arah Papa dan Mama Baskara berdiri. Lalu tawanya pecah di sana.

***

Mungkin ini adalah bagian dari kebahagiaanku, meski belum memilikimu.

—Leandra Ganes Gantari

Terima kasih sudah bertahan atas segala rasa rindu dan rasa cintamu. Bila semesta mengizinkan, mungkin aku juga ingin memilikimu. Merengkuh erat dirimu dalam daksaku.

—Abiraya Herdyan Baskara

Bersambung...✨

jangan lupa vote, yaa🫵🏻🫵🏻
Terima kasih sudah menemani dan berkelana bersama mereka sampai titik ini, nantikan titik selanjutnya...🫰🏻

Atma dan RenjananyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang