Matahari sudah hampir hilang, hanya menyisakan sinar remang-remang yang menyelimuti hutan di Forks. Sementara Edward dan Bella sibuk dengan perjalanan mereka sendiri, Carlisle dan [Name] berjalan santai di sekitar rumah keluarga Cullen, menapaki jalan setapak yang ditumbuhi dedaunan dan ranting yang berserakan.
Carlisle melangkah dengan tenang, menatap hutan di sekitarnya seolah memori dari masa lalu kembali mengapung di benaknya. [Name], yang biasanya penuh dengan komentar sarkastik, kali ini hanya diam. Aura ketenangan yang jarang muncul dalam dirinya perlahan-lahan mengisi hatinya, membuatnya enggan merusak momen ini dengan kalimat sinis.
Mereka berdua berjalan dalam keheningan untuk beberapa waktu, sampai Carlisle akhirnya mulai berbicara.
"Aku pernah menjadi manusia biasa, jauh sebelum aku mengenal kehidupan sebagai vampir," kata Carlisle, suaranya lembut dan hampir berbisik. "Aku hidup pada abad ke-17 di Inggris, di masa ketika manusia begitu takut dengan segala hal yang mereka anggap sebagai 'iblis'."
[Name] mengangkat satu alis, sedikit tertarik. "Dan bagaimana kau bisa berakhir seperti ini? Menjadi salah satu makhluk yang dianggap 'iblis' itu sendiri?"
Carlisle tersenyum tipis, menatap tanah di bawahnya. "Ayahku dulu seorang pastor. Dia sangat percaya bahwa segala bentuk kejahatan harus diberantas. Dan baginya, vampir adalah ancaman yang tak bisa diabaikan." Ia berhenti sejenak dan melipat tangannya di depan dada. "Dia dulu memimpin perburuan makhluk-makhluk ini. Dan aku, aku dilatih untuk melanjutkan tugasnya. Namun pada akhirnya, aku yang menjadi korban dari dunia yang coba kulawan."
[Name] menatap Carlisle dengan ekspresi datar namun penuh perhatian, seolah mencoba mencari makna di balik setiap kata yang ia ucapkan. "Bagaimana rasanya.. berubah?" tanyanya akhirnya. Ini adalah salah satu hal yang paling jarang [Name] tanyakan. Namun, ada rasa penasaran yang samar, yang walaupun ia coba tutupi, namun itu tetap memaksa untuk keluar.
Carlisle menarik napas, meski ia tidak membutuhkannya, dan mengembuskannya dengan lembut. "Menyakitkan, tentu saja. Rasanya seperti setiap sel tubuhku terbakar dalam api. Tapi yang lebih menyakitkan dari itu adalah kehilangan kemanusiaanku. Aku pernah percaya pada hal-hal yang baik, pada kekuatan untuk melawan kegelapan. Namun, saat itu aku pikir diriku telah menjadi bagian dari kegelapan itu sendiri."
[Name] hanya mendengarkan, menyerap setiap kata. Ia tidak membalas dengan apapun, hanya sebuah anggukan kecil sebagai tanda bahwa ia mendengar dan mengerti.
Carlisle melanjutkan, "Setelah aku berubah, aku terpaksa bersembunyi di kegelapan, memisahkan diri dari dunia manusia. Namun, di satu sisi, itu memberiku waktu untuk berpikir dan menemukan jalan hidupku yang baru. Aku tak ingin menjadi monster yang hanya mengikuti insting untuk memangsa manusia. Aku memilih jalan hidupku sendiri, berusaha untuk melindungi manusia daripada menyakiti mereka."
Untuk beberapa saat, mereka hanya melangkah tanpa suara, membiarkan gemerisik daun dan angin hutan menjadi satu-satunya yang berbicara di antara mereka.
"Jadi, selama ratusan tahun kau hanya hidup dengan memegang keyakinan itu?" Tanya [Name] akhirnya, dengan nada yang hampir skeptis namun juga penuh ketertarikan. Ia heran bagaimana makhluk seperti Carlisle bisa menahan diri untuk tidak mengikuti naluri yang dimiliki oleh hampir semua vampir.
Carlisle tersenyum sedikit menanggapi pertanyaan iblis itu. "Ya, dan aku menganggap itu sebagai penebusan dosaku. Meskipun aku tak pernah meminta menjadi seperti ini, aku percaya bahwa setiap makhluk, termasuk kita, harus bertanggung jawab atas keberadaannya."
[Name] hanya tertawa kecil, terdengar agak sinis namun tanpa kebencian. "Penebusan dosa, ya? Kau makhluk yang aneh, Carlisle. Vampir, namun tetap ingin hidup sebagai manusia. Apa kau tak pernah merasa ingin, kau tau, lebih?"
Carlisle menatap [Name] dengan pandangan lembut yang membuat iblis itu terdiam sejenak. "Kau mungkin tak paham, tapi bagi sebagian dari kami, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kekuatan dan kekuasaan. Kadang, kebahagiaan itu ada dalam hal-hal sederhana, seperti bisa hidup berdampingan tanpa perlu takut. Dan aku, entah kenapa aku merasa lebih damai di jalan ini."
Mereka kembali berjalan, dan kali ini, [Name] mulai merasakan sesuatu yang lain di dalam dirinya. Ada semacam ketenangan yang sulit ia jelaskan saat berjalan di samping Carlisle. Bahkan, ia mulai merasa bahwa kehadiran Carlisle seperti menghaluskan sisi keras dalam dirinya, sesuatu yang bahkan ia sendiri enggan mengakuinya.
"Jadi," lanjut Carlisle, mencoba mengalihkan pembicaraan, "bagaimana denganmu? Kau telah hidup jauh lebih lama dariku, kurasa. Apa kau tidak pernah merasa.. kesepian?"
[Name] terdiam, menatap langit yang gelap. Baginya, kesepian adalah teman lama, sesuatu yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, ia jarang memikirkannya. "Aku tak pernah menganggap itu sebagai masalah. Kesepian? Itu hanyalah konsekuensi dari siapa aku. Iblis tak butuh teman."
Carlisle tersenyum kecil, mengangguk seolah ia memahami lebih dari apa yang diungkapkan oleh kata-kata [Name]. "Mungkin begitu. Namun, aku percaya bahkan makhluk sepertimu pun memiliki sisi lembut di dalamnya, meski kau takkan mengakuinya."
[Name] hanya tertawa kecil. "Aku tak yakin kau ingin tahu bagaimana sisi 'lembut' seorang iblis, Carlisle."
Mereka berdua berhenti di tepi sebuah tebing kecil, memandangi hutan yang luas di bawah mereka. Angin malam berembus pelan, membawa aroma segar pepohonan. Carlisle berdiri di samping [Name], diam-diam menikmati kehadiran satu sama lain tanpa perlu banyak kata-kata.
Entah kenapa, berada di samping Carlisle membuat [Name] merasa damai, bahkan jika ia tak pernah mau mengakui perasaan itu. Keduanya hanya berdiri di sana, saling memahami tanpa perlu berbicara lebih banyak.
Carlisle akhirnya memecah keheningan. "Terima kasih telah meluangkan waktu untuk mendengarkan. Mungkin ini terdengar aneh, tapi aku senang bisa berbagi cerita denganmu."
[Name] hanya mengangguk pelan. "Tentu saja. Lagipula, kau adalah satu-satunya vampir yang tidak membuatku ingin muntah," ujarnya dengan senyum sinis, meski ada sedikit kehangatan di balik ucapannya yang biasanya tajam.
Carlisle tertawa kecil, terdengar tulus. "Aku akan anggap itu sebagai pujian, meski aku tau kau tak benar-benar bermaksud begitu."
Keduanya tertawa kecil, membiarkan kehangatan aneh yang perlahan muncul di antara mereka untuk sesaat. Ini bukan persahabatan, mungkin juga bukan cinta-namun ada sesuatu yang unik dan tak terjelaskan di antara mereka, sesuatu yang membuat mereka berdua tahu bahwa mereka lebih dari sekadar dua makhluk yang berbeda.
Malam itu, mereka saling berbagi ketenangan, di tengah gelapnya hutan dan sinar bintang yang malu-malu muncul di langit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Deal With the Devil [Twilight Saga x Reader]
FanficKetika [Name] Michaelis membuka mata, ia mendapati dirinya jauh dari istana kelam yang biasa ia sebut rumah-terlempar ke dunia aneh penuh manusia fana. Tak ada tanda-tanda kakaknya, Sebastian, atau pun kehidupan iblis yang penuh intrik. Sebaliknya...