Chapter 1 : PrologEra Baru: Dunia Setelah Perang Gastra

1 0 0
                                    

Jayakatar, ibu kota baru Indonesia, berdiri megah di tengah dunia yang remuk redam. Gedung-gedungnya mencakar langit, bersinar dengan lampu-lampu neon biru yang benderang di bawah kabut abu hasil dari sisa-sisa perang Gastra. Di bawahnya, terdapat kota bawah tanah yang kumuh, tempat di mana para "sisa-sisa" manusia hidup—orang-orang yang tak berhak tinggal di atas permukaan yang bersih dan berkilauan. Para android yang dulu menjadi ancaman kini hanya tinggal reruntuhan, tersebar di berbagai wilayah, meski rumor tentang "Mother" yang tertidur dan para Droid sisa tetap menjadi momok bagi umat manusia.

Di sudut salah satu pasar gelap bawah tanah, Hansel sedang jongkok di depan kios penjual barang rongsokan, mengenakan jaket lusuh yang penuh tambalan dan topi fedora yang terlihat kebesaran. Di belakangnya, sebuah gerobak penuh dengan potongan-potongan android bekas dan logam-logam berkarat yang ia kumpulkan dari reruntuhan kota lama. Sekarang, Hansel dikenal sebagai "Scrapter"—pengumpul barang bekas. Tidak ada yang tahu bahwa ia adalah mantan tentara elite di Perang Gastra, salah satu yang bertahan hidup dengan darah nano machine yang mengalir di tubuhnya.

"Pak Arman, ini kepala Droid Type S asli, lho. Sensor matanya masih menyala! Lihat deh," ujar Hansel sambil mengangkat kepala android dengan satu mata yang berkedip-kedip, meski penuh retakan.
Penjual tua di kios itu mendengus sambil mengunyah permen karet. "Hansel, gue udah bilang berapa kali, barang rongsokan kayak gini nggak laku lagi! Sekarang semua orang pakai teknologi baru. Siapa juga yang mau beli kepala Droid tua buat apa?"
"Pak Arman, ini kan buat koleksi. Bayangin aja, kalau ada orang kaya dari atas sana yang mau bikin pajangan di rumahnya. 'Oh, ini kepala Droid yang hampir ngehancurin dunia. Keren kan?' Dijamin, mereka bakal rela bayar mahal!" Hansel mencoba meyakinkan, matanya berbinar penuh harapan.

"Udah, Hansel. Gue tahu lo butuh duit, tapi lo harus lebih kreatif. Kenapa lo nggak jual nano machine yang katanya ada di tubuh lo itu, hah? Katanya bikin lo awet muda?" Pak Arman menyeringai, memperlihatkan gigi depannya yang ompong.
"Pak, kalau gue jual nano machine gue, gimana gue mau tetap ganteng kayak gini?" Hansel mengangkat kedua tangannya seolah memamerkan wajahnya. "Lagian, siapa juga yang mau beli nano machine bekas perang? Nanti malah jadi rusak, terus gue disalahin. Nggak deh."

Pak Arman terkekeh. "Lo ini mulutnya lancar banget kalau ngomong, tapi duit lo tetep nol. Bener-bener, Hansel si Scrapter, raja rongsokan."
Hansel menghela napas dan mengangkat gerobaknya. "Ya udah, kalau gitu gue cari pembeli lain. Ingat ya, Pak Arman, kalau gue tiba-tiba kaya raya, jangan minta diskon!" Ia melangkah pergi sambil mendorong gerobaknya, suara roda yang berderit-derit menggema di lorong pasar gelap.

Setelah berjalan cukup jauh, Hansel tiba di sebuah lapangan terbuka yang penuh dengan reruntuhan bangunan. Ini adalah salah satu dari banyak zona perang yang ditinggalkan, tempat di mana perang melawan Mother pernah mencapai puncaknya. Menara komunikasi besar yang dulu digunakan untuk mengontrol para Droid masih berdiri di kejauhan, meski miring dan penuh karat.

Hansel mendesah saat ia mulai membongkar sisa-sisa logam di sekitar. Tangannya yang cekatan dengan cepat membongkar panel-panel bekas yang tersembunyi di balik puing-puing.
"Kenapa gue harus jadi pemulung di usia kayak gini, ya?" gumamnya pada diri sendiri. "Dulu gue megang senjata plasma, sekarang gue cuma megang obeng. Hidup ini benar-benar plot twist."

Saat ia sedang asyik membongkar salah satu bagian dari Droid Type R yang terkubur setengah di tanah, suara langkah kaki terdengar mendekat dari belakang. Hansel langsung berjaga-jaga, tangannya meraih pistol kecil yang selalu ia selipkan di sabuknya.

"Hansel!" sebuah suara perempuan memanggil.
Hansel berbalik dan melihat Mia, seorang mekanik muda yang biasa membantu menjual barang-barangnya di pasar gelap. Rambut pendeknya acak-acakan, wajahnya terlihat kesal.
"Lo ngapain di sini? Gue udah nyari lo dari tadi," ujar Mia.
"Nyari duit, jelas. Kalau nggak gue makan apa?" jawab Hansel santai, sambil melempar sebuah kabel bekas ke gerobaknya. "Kenapa lo ribet banget, Mia?"
Mia mendekatinya dengan tatapan serius. "Lo nggak denger berita? Ada Droid Type A yang aktif lagi di zona ini. Gue dengar, Mother mungkin masih punya unit-unit tidur yang belum dimatikan."

Hansel mengangkat alisnya. "Droid Type A? Yang buat tempur? Ah, udahlah, itu cuma rumor. Lagian, kalau ada Droid aktif, kenapa gue nggak ketemu satupun? Mereka pasti udah karatan kayak barang rongsok gue ini."
Mia mendesah frustrasi. "Lo terlalu santai, Hansel. Kalau lo sampai mati gara-gara Droid itu, siapa yang bakal bayar utang lo ke gue, hah?"
Hansel tertawa kecil. "Santai aja, Mia. Gue nggak bakal mati muda. Lagian, gue punya nano machine yang bikin gue hidup lebih lama, ingat?"
"Tapi otak lo kayaknya nggak ikut diperbarui sama nano machine itu," balas Mia sambil memutar matanya.

Hansel tertawa lagi, tapi tawanya langsung terhenti ketika ia mendengar suara dentingan logam dari balik reruntuhan. Ia menatap Mia dengan ekspresi tegang. "Lo dengar itu?"
Mia mengangguk, matanya melirik ke arah suara tersebut. Mereka berdua perlahan mundur, mencoba menjauh tanpa menarik perhatian. Tapi suara itu semakin dekat, dan tiba-tiba sebuah Droid Type A yang masih utuh muncul dari balik puing-puing. Tubuhnya besar, dilapisi logam hitam berkilat dengan lampu merah menyala di bagian dadanya. Senjata plasma terpampang di lengannya.

Hansel menelan ludah. "Oke, mungkin kali ini gue salah. Itu bukan rongsokan..."
"YA JELAS BUKAN!" teriak Mia.

"LARI!" Hansel menarik tangan Mia, sementara Droid itu mulai menembakkan plasma yang meledak di belakang mereka.

"Hari yang indah untuk jadi pemulung, ya?" Hansel berteriak sambil berlari, mencoba mengabaikan fakta bahwa ia baru saja menarik perhatian musuh yang pernah hampir menghancurkan dunia.

MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang