Chapter 18 : Bab 17: Kejutan Fajar di Deipok

1 0 0
                                    

Suara ledakan mengguncang keheningan dini hari, membangunkan Hansel, Mia, dan Cora dari tidur mereka yang belum lama dimulai. Api unggun kecil yang mereka nyalakan sebelumnya telah padam, tetapi kilauan cahaya oranye terang dari kejauhan menerangi wajah mereka yang masih setengah sadar.

"BOOOM!"

Ledakan lain terdengar, mengguncang tanah di bawah mereka. Disusul oleh suara rentetan senjata otomatis, teriakan histeris, dan jeritan menyayat hati dari arah kota Deipok yang hanya berjarak 52 kilometer dari tempat mereka berada.

Mia langsung terduduk, matanya masih setengah terpejam tetapi wajahnya menunjukkan keterkejutan. "Apa itu tadi?!" tanyanya dengan nada panik, napasnya terengah-engah.

Hansel sudah bangkit dari tempatnya, meraih pistol plasmanya yang ada di samping. Tatapan seriusnya menunjukkan bahwa dia sudah sepenuhnya terbangun. "Itu suara serangan... dan besar," gumamnya sambil menatap ke arah cahaya ledakan di horizon.

Cora, yang sudah berdiri dengan senjatanya di tangan, menatap keduanya. "Kota Deipok. Mereka diserang. Tapi siapa?"

Mia berdiri cepat, meraih senapan anti-droidnya. "Lo serius masih nanya siapa? Siapa lagi kalau bukan Droid humanoid?!"

Hansel mengepalkan tangan, tatapan tajamnya tidak lepas dari cahaya yang terus memantul di langit. "Ya. Itu pasti Droid humanoid. Nggak ada hal lain yang bisa bikin kehancuran sebesar ini."

Suara rentetan tembakan semakin jelas terdengar, diiringi dengan teriakan anak-anak, tangisan orang dewasa, dan suara bangunan yang runtuh. Mereka bertiga berdiri dalam keheningan sesaat, membiarkan suara itu mengisi udara seperti bayangan ancaman yang tidak terucapkan.

Mia memecahkan keheningan dengan suara tegas. "Kita nggak bisa cuma berdiri di sini. Kita harus ke sana. Sekarang."

Hansel menoleh ke Mia, wajahnya serius tapi penuh dengan keraguan. "Lo sadar apa yang lo bilang, Mia? Kalau itu beneran Droid humanoid, kita bakal masuk ke medan perang tanpa rencana apa pun. Kita cuma bertiga. Kita nggak punya cukup persenjataan buat ngelawan mereka dalam jumlah besar."

Mia menatap Hansel tajam, ekspresinya penuh dengan tekad. "Jadi lo mau kita cuma duduk di sini sambil nonton mereka dibantai dari jauh? Anak-anak, Hansel! Lo dengar suara tangisan itu? Gue nggak peduli berapa jumlah mereka. Gue nggak bisa diam."

Hansel mendesah panjang, wajahnya berubah sedikit lebih lembut. Dia tahu Mia benar. Tapi sebagai seseorang yang sudah terlalu sering melihat kehancuran dan kematian, dia juga tahu risiko yang mereka hadapi.

Cora menatap mereka berdua dengan ekspresi campuran antara ketakutan dan tekad. "Gue setuju sama Mia. Gue nggak bisa duduk di sini. Ini bukan cuma soal bertahan hidup. Ini soal ngebantu orang yang nggak bisa nolong diri mereka sendiri."

Hansel memejamkan matanya sejenak, menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Baiklah. Kita ke sana. Tapi kita harus bergerak hati-hati. Kita nggak bisa langsung terjun ke medan perang tanpa tahu situasi sebenarnya."

Beberapa menit kemudian...

Hansel, Mia, dan Cora mengendarai kendaraan Cora secepat mungkin ke arah kota Deipok. Suara tembakan dan ledakan semakin jelas, bahkan dari jarak jauh. Kilauan api yang membakar kota terlihat jelas di horizon, membayangi bayangan bangunan yang runtuh.

Mia, yang duduk di kursi belakang, memeriksa senjatanya dengan tangan gemetar. "Lo tahu apa yang bikin gue takut, Hansel?" tanyanya dengan suara pelan, tapi tetap terdengar di atas suara mesin kendaraan.

Hansel menoleh sedikit sambil tetap fokus pada jalan. "Apa?"

"Kalau ini beneran Droid humanoid... berarti mereka udah mulai bergerak lagi. Setelah bertahun-tahun. Dan itu cuma bisa berarti satu hal." Mia menelan ludah, menatap ke luar jendela. "Mother udah bangun."

Hansel tidak menjawab, tapi ekspresinya berubah menjadi lebih gelap. Dia tahu Mia mungkin benar. Serangan sebesar ini di zona yang relatif aman seperti Deipok tidak mungkin hanya kebetulan.

Cora, yang mengemudi dengan fokus penuh, akhirnya berbicara. "Kalau itu beneran Mother yang ngegerakin mereka, kita punya masalah besar. Kota Deipok itu salah satu titik pertahanan manusia yang tersisa. Kalau kota itu jatuh..."

Hansel melanjutkan kalimatnya dengan suara datar. "...kita semua ada di ujung tanduk."

Suasana di dalam kendaraan berubah menjadi lebih tegang. Tak ada lagi candaan atau kekonyolan seperti biasa. Mereka tahu apa yang sedang mereka hadapi—sesuatu yang jauh lebih besar daripada mereka bertiga.

Di luar kota Deipok...

Mereka berhenti di bukit kecil yang menghadap langsung ke kota. Dari sana, mereka bisa melihat dengan jelas kehancuran yang terjadi. Api membakar sebagian besar bangunan, asap tebal memenuhi udara, dan suara ledakan terus bergema. Di tengah kekacauan itu, mereka bisa melihat sosok-sosok humanoid besar, bergerak seperti mesin pembunuh yang tak kenal ampun. Mata merah mereka bersinar dalam kegelapan, dan gerakan mereka cepat serta presisi.

Hansel mengangkat teropong kecil dari tasnya, menatap ke arah kota dengan fokus penuh. "Tiga... empat... lima... sial, ada lebih dari dua puluh Droid humanoid di sana."

Mia menatap Hansel dengan ekspresi penuh kengerian. "Dua puluh?! Kita bakal lawan mereka dengan apa, Hansel?!"

Hansel menurunkan teropongnya, matanya penuh dengan rasa frustrasi. "Kita nggak bisa lawan mereka semua. Tapi kita bisa coba bantu orang-orang buat kabur. Prioritas kita adalah nyelamatin sebanyak mungkin orang."

Cora menggigit bibirnya, lalu menatap kendaraan mereka. "Gue bisa bawa kendaraan ini masuk ke kota dan angkut orang-orang keluar. Tapi gue nggak bakal bisa masuk terlalu jauh tanpa mereka ngehancurin kita."

Mia menatap Hansel. "Kalau Cora bawa kendaraan ini buat evakuasi, kita yang maju, ya?"

Hansel mengangguk pelan. "Ya. Kita tarik perhatian Droid-Droid itu supaya mereka nggak fokus ke warga sipil. Kalau kita beruntung, kita bisa bikin cukup waktu buat mereka kabur."

Mia menelan ludah, lalu mengokang senapannya. "Oke. Kalau kita mati di sini, Hansel, lo harus tahu satu hal."

Hansel menoleh, menatap Mia dengan alis terangkat. "Apa?"

Mia menatapnya dengan senyum kecil meskipun wajahnya penuh ketegangan. "Gue bakal nyalahin tombol merah itu buat semua ini."

Hansel tertawa kecil meskipun suasana di sekitarnya begitu suram. "Lo emang nggak pernah berubah, Mia."

Cora, yang sudah siap dengan kendaraannya, menatap mereka berdua. "Ayo. Kalau kita mau selamatkan mereka, kita harus bergerak sekarang."

Hansel mengangguk, lalu menatap kota yang terbakar di depan mereka. "Oke. Ini mungkin misi bunuh diri. Tapi kalau itu artinya kita bisa nyelamatin orang, gue nggak peduli."

Mia mengangkat senapannya, menatap Hansel dengan penuh keyakinan. "Gue di sini buat bantu lo, partner."

MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang