Chapter 14 : Bab 13: Malam yang Tenang, Hari yang Tak Terduga

1 0 0
                                    

Malam itu, Hansel dan Mia akhirnya memutuskan untuk beristirahat di sebuah gedung tua yang terlihat cukup kokoh di antara reruntuhan. Dindingnya masih berdiri tegak meski penuh retakan, dan bagian atapnya memberikan cukup perlindungan dari angin malam yang dingin. Mereka masuk ke dalam, membersihkan sedikit area dari puing-puing, dan mengatur tempat untuk berjaga secara bergantian.

Mia segera tertidur dengan napas pelan, tubuhnya meringkuk di atas tasnya yang digunakan sebagai bantal darurat. Sementara itu, Hansel duduk di dekat jendela besar yang sudah pecah, menatap langit malam yang penuh bintang. Angin dingin menyapu wajahnya, tetapi itu tidak mengganggu pikirannya yang sedang merenung.

Dia bersandar ke dinding, menatap ke atas dengan mata kosong, pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Meski perjalanan mereka sejauh ini penuh dengan kekonyolan, Hansel tahu apa yang mereka hadapi bukanlah lelucon. Mother sedang bangkit, dan ia tahu betul apa yang akan terjadi jika mereka tidak menghentikannya. Dunia yang sudah hancur ini mungkin tidak akan punya kesempatan kedua.

Dia menoleh sebentar ke arah Mia yang tertidur lelap. Wajahnya yang lelah terlihat damai dalam tidur, meski sebelumnya ia melawan lima Beast Droid dengan keberanian luar biasa. Hansel menghela napas pelan, pikirannya bercampur antara rasa kagum dan kekhawatiran.

"Mia..." gumam Hansel sambil mengusap wajahnya. "Lo punya keberanian yang luar biasa, tapi lo bahkan belum ngerti sepenuhnya apa yang lo hadapi. Nano machine lo masih baru. Lo belum tahu potensi penuh lo. Dan gue..."

Hansel menatap tangannya sendiri, menggenggamnya pelan. Dia tahu bahwa meskipun dia bertahan dari proses integrasi Nano Machine Type-Z, tubuhnya masih beradaptasi, dan dia belum sepenuhnya memahami apa yang kini mengalir di dalam dirinya. Rasanya seperti membawa pedang tajam, tapi belum tahu bagaimana cara menggunakannya tanpa melukai diri sendiri.

"Gue cuma berharap kita punya cukup waktu," katanya pelan, seolah berbicara kepada langit. "Mother nggak akan nunggu kita siap. Dan gue nggak tahu apakah gue bisa ngelindungin Mia kalau dia benar-benar bangkit."

Hansel menatap ke horizon yang gelap, pikirannya melayang jauh. Namun, suara lembut Mia yang mendengkur kecil memecah keheningan, membuat Hansel tersenyum tipis.

"Gue harap lo nggak mimpi buruk soal tombol merah tadi," gumamnya sambil terkekeh kecil. Dia menarik napas panjang, menatap ke arah bintang terakhir kali sebelum akhirnya membaringkan tubuhnya, bersiap untuk giliran tidur.

Keesokan harinya...

Cahaya matahari pagi yang hangat menyusup melalui celah dinding gedung tua, membangunkan mereka berdua. Mia terbangun dengan mata masih berat, rambutnya berantakan, dan Hansel sedang sibuk memeriksa senjatanya.

"Pagi, atlet halang rintang," sapa Hansel sambil menyeringai.

Mia memelototinya sambil meregangkan tubuh. "Pagi juga, pahlawan perang yang suka lari kayak pengecut."

Hansel tertawa kecil, lalu melemparkan sebotol air ke arah Mia. "Minum dulu. Kita punya perjalanan panjang hari ini."

Setelah memastikan semuanya siap, mereka melanjutkan perjalanan menuju tujuan berikutnya. Kota tua yang semakin dekat terlihat seperti kuburan teknologi, penuh dengan kendaraan lapuk dan bangunan yang sebagian besar telah runtuh. Bau besi tua dan debu bercampur menjadi satu di udara.

Namun, di tengah perjalanan, mereka melihat sesuatu yang aneh. Di tengah jalan besar yang kosong, ada sebuah kendaraan kecil, semacam buggy beroda besar, yang tampaknya baru saja mogok. Sosok seorang perempuan sedang membungkuk di sampingnya, sibuk memperbaiki sesuatu di bawah kap mesinnya.

Hansel dan Mia langsung menghentikan langkah mereka, saling melirik.

"Lo lihat apa yang gue lihat?" tanya Mia.

Hansel mengangguk pelan. "Iya. Cewek sendirian di tengah kota tua yang penuh bahaya? Ini bisa jadi jebakan, atau dia beneran butuh bantuan."

Mia menatapnya curiga. "Atau dia Beast Droid yang nyamar."

Hansel tertawa kecil. "Kalau dia Beast Droid, gue harus ngaku, mereka punya teknologi yang makin keren."

Mereka berjalan mendekat dengan hati-hati, tangan Hansel sudah bersiap di gagang pistol plasmanya. Perempuan itu tampaknya tidak menyadari kehadiran mereka sampai mereka berada cukup dekat. Dia berdiri tegak tiba-tiba, menoleh ke arah mereka dengan alis terangkat.

"Eh, kalian siapa?" tanya perempuan itu dengan nada sedikit defensif. Dia mengenakan jaket kulit yang sudah lusuh, rambut pendeknya berantakan, tetapi wajahnya menunjukkan ketenangan seorang yang sudah biasa hidup di dunia keras ini.

Hansel mengangkat kedua tangannya, mencoba menunjukkan bahwa dia tidak berniat jahat. "Santai, kita cuma dua orang pengembara yang kebetulan lewat. Lo butuh bantuan?"

Perempuan itu menyipitkan matanya, menatap mereka dari ujung kepala hingga kaki. "Kalau lo nggak mau ambil barang gue, gue nggak peduli. Tapi kalau mau bantu, gue nggak bakal nolak."

Mia melirik kendaraan itu. "Apa yang salah dengan kendaraan lo?"

Perempuan itu mengusap dahinya yang berkeringat. "Sistem pendinginnya rusak, dan sekarang mesin ini panas banget. Gue nggak bisa jalan lebih jauh kalau nggak diperbaiki. Nama gue Cora, by the way."

Hansel menyeringai, melangkah mendekat. "Hansel. Dan ini partner gue, Mia."

Mia mengangkat tangan kecil sebagai salam. "Hai. Gue lebih suka jalan kaki daripada naik kendaraan kayak gitu, tapi masing-masing orang punya selera, kan?"

Cora mendengus sambil kembali membungkuk ke kap mesinnya. "Kalau kalian mau bantu, gue bakal anggap itu kebaikan. Kalau nggak, jalan aja terus."

Hansel jongkok di samping kendaraan itu, melirik bagian dalam mesinnya. Dia mendecak pelan. "Hmm... Gue pernah lihat sistem kayak gini dulu. Teknologi era Gastra, ya?"

Cora menatapnya dengan kaget. "Lo tahu soal itu?"

Hansel mengangkat bahu sambil mengambil alat dari tasnya. "Gue punya sedikit pengalaman. Ini perbaikan kecil aja. Kalau lo beneran mau bantu, Mia, kasih gue obeng dari tas gue."

Mia berdiri dengan tangan terlipat. "Obeng? Serius? Jadi sekarang lo montir keliling?"

Hansel melirik Mia dengan seringai. "Gue adalah manusia dengan banyak bakat. Kalau lo mau, gue bisa masak juga."

"Masak? Gue nggak mau racun," balas Mia sambil menyerahkan obeng dengan ekspresi datar.

Cora tertawa kecil melihat interaksi mereka. "Kalian berdua kayak pasangan tua yang lagi ribut di pasar."

Hansel dan Mia langsung saling melotot. "Kita BUKAN pasangan!" teriak mereka bersamaan.

Cora terkekeh sambil menggelengkan kepala. "Ya ya, apa pun itu. Tapi gue suka energi kalian. Kalau kalian bisa benerin kendaraan ini, gue bakal kasih kalian tumpangan. Deal?"

Hansel menatap Mia sebentar, lalu kembali menunduk ke mesinnya. "Deal. Tapi kalau ini mogok lagi, lo harus masakin makan malam buat kita."

Cora tertawa. "Gue masak? Gue bahkan nggak tau kapan terakhir gue makan makanan layak."

Mia menatap Cora dengan penuh rasa penasaran. "Ngomong-ngomong, lo ngapain sendirian di tempat kayak gini? Lo nggak takut ketemu Droid atau Beast Droid?"

Cora tersenyum tipis, lalu mengangkat jaketnya sedikit, memperlihatkan senjata laser besar yang tergantung di pinggangnya. "Takut? Kalau mereka dateng, gue bakal bikin mereka menyesal."

Hansel menatap senjata itu dengan kagum. "Oke, gue suka gaya lo."

Mia mendesah. "Keren sih, tapi ayo cepetan. Gue nggak mau kita diserang Beast Droid lagi gara-gara lo sibuk mengagumi senjata orang."

Hansel mengangguk, kembali fokus memperbaiki kendaraan. Dalam beberapa menit, suara mesin mulai menyala kembali dengan lancar, dan Cora tersenyum lebar.

"Lo orang berbakat, Hansel," kata Cora sambil melompat ke kursi pengemudi. "Ayo, gue kasih tumpangan. Tapi gue nggak janji ini bakal nyaman."

Hansel dan Mia saling melirik, lalu melangkah naik ke kendaraan itu. Perjalanan mereka baru saja mendapatkan tambahan anggota baru, mungkin.

MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang