Hansel dan Mia naik ke kendaraan Cora dengan waspada. Meski kendaraan itu terlihat kokoh dan suaranya kini jauh lebih stabil setelah Hansel memperbaikinya, suasana di dalamnya terasa tegang. Mata Mia terus mengamati setiap gerakan Cora, sementara Hansel duduk dengan tangan di dekat pistol plasmanya, siap jika sesuatu terjadi.
Mia akhirnya memecah keheningan dengan menarik senapan anti-droidnya dan menodongkannya langsung ke arah Cora.
"Berhenti dulu," kata Mia tajam, suaranya tidak menyisakan ruang untuk diskusi.
Cora melirik senapan itu dengan tenang, lalu menghela napas sambil mengangkat kedua tangannya setinggi bahu. "Serius, Mia? Gue kasih kalian tumpangan, dan lo langsung mikir gue bakal ngekhianatin kalian? Lo ini paranoid atau gimana?"
Hansel melipat tangannya, ikut menatap Cora dengan serius. "Mia benar. Di zaman sekarang, kita nggak bisa percaya begitu aja sama orang asing. Gue udah lihat banyak jebakan, banyak orang yang pura-pura minta bantuan cuma buat ngebunuh lo di tengah jalan dan ngambil barang-barang lo. Jadi, lo nggak bisa salahin kami kalau kita lebih hati-hati."
Cora mendesah sambil memutar matanya. "Oke, oke. Gue ngerti. Tanya aja apa yang mau kalian tahu. Gue akan jawab sejujurnya, tapi kalau ini cuma soal siapa yang bakal nyetir, jawabannya tetap gue."
Mia mempererat genggaman pada senjatanya. "Lo sendirian di tengah reruntuhan kayak gini, ngaku seorang insinyur. Apa lo beneran sendirian, atau lo punya teman-teman Droid yang nunggu di belakang buat nyergap kita?"
Cora menatap Mia dengan alis terangkat, lalu tertawa kecil. "Teman-teman Droid? Gue bukan tipe orang yang kerja sama dengan tumpukan besi pembunuh, oke? Kalau lo belum tahu, Beast Droid itu nggak pandang bulu. Kalau mereka bisa ngancurin manusia, mereka bakal ngancurin gue juga."
Hansel, yang memperhatikan dashboard kendaraan, tiba-tiba menunjuk sesuatu. Di dekat setir, ada lambang yang membuatnya terdiam sejenak—lambang Tentara Kebebasan Era Gastra, lambang yang sama dengan yang terukir di pintu markas rahasianya.
"Cora," kata Hansel dengan nada lebih serius. "Dari mana lo dapet kendaraan ini?"
Cora mengikuti arah pandangannya, lalu mengangguk pelan. "Kendaraan ini milik keluarga gue. Gue perbaiki sendiri dari puing-puing yang ditemukan ayah gue."
Mia menatap lambang itu dengan mata menyipit. "Lambang itu... itu lambang Tentara Kebebasan. Lo tahu artinya?"
Cora menatap mereka berdua dengan ekspresi sedikit bingung, lalu menghela napas. "Tentu aja gue tahu. Ayah gue dulu sering cerita soal itu. Gue keturunan salah satu mekanik Tentara Kebebasan. Nama dia Ilyas. Ahmad Ilyas, lebih tepatnya."
Mata Hansel melebar mendengar nama itu. Dia langsung duduk tegak, matanya penuh dengan keterkejutan dan sedikit rasa tak percaya. "Ahmad Ilyas? Lo serius? Lo anak atau cucunya?"
Cora menoleh ke Hansel dengan tatapan tajam. "Gue cucunya. Lo tahu dia?"
Hansel terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan sambil tertawa kecil, seolah-olah kenangan lama yang terkubur jauh di masa lalu tiba-tiba muncul ke permukaan. "Tahu? Tentu gue tahu. Ahmad Ilyas adalah salah satu mekanik terbaik di unit gue selama Perang Gastra. Dia yang selalu bikin senjata dan kendaraan kita tetap jalan di tengah kekacauan. Tanpa dia, banyak dari kami yang nggak bakal selamat."
Cora menatap Hansel dengan curiga, seperti mencoba menilai apakah pria di depannya ini sedang jujur atau bercanda. "Lo... lo bilang lo ada di unit yang sama dengan kakek gue? Siapa lo sebenarnya?"
Hansel menatap Cora langsung, wajahnya serius tetapi ada sedikit senyuman di sana. "Nama gue Hansel. Gue bagian dari pasukan pembebasan yang sama dengan kakek lo. Bahkan, bisa dibilang, gue dan dia dulu sering kerja bareng."
Mata Cora membesar, mulutnya sedikit terbuka. "Hansel? Hansel... yang mana?"
Hansel menyeringai kecil. "Hansel yang suka bikin masalah, menurut cerita orang-orang."
Cora menatapnya dalam diam, lalu perlahan wajahnya berubah menjadi ekspresi terkejut. "Nggak mungkin... Kakek gue pernah cerita soal lo! Hansel si 'Raja Kekacauan'! Dia bilang lo adalah orang paling sulit ditebak di unit kalian, tapi juga yang paling tangguh. Lo... lo masih hidup?!"
Hansel tertawa kecil. "Yah, gue rasa cerita soal gue belum sepenuhnya bohong. Dan ya, gue masih hidup. Nano machine di tubuh gue bikin itu mungkin."
Mia, yang sejak tadi mengamati percakapan mereka, menyela dengan suara datar. "Tunggu dulu. Jadi sekarang lo terkenal di masa lalu juga, Hansel? Gue beneran nggak ngerti lo ini siapa sebenarnya."
Hansel menoleh ke Mia dengan senyum nakal. "Gue ini legenda, Mia. Lo beruntung bisa jadi partner gue."
Mia memutar matanya. "Legenda? Atau cuma orang tua yang suka cari masalah?"
Cora, yang masih terlihat kebingungan, akhirnya menurunkan tangannya dan mulai tertawa kecil. "Ini gila. Gue nggak pernah nyangka gue bakal ketemu sama seseorang yang kenal langsung sama kakek gue. Dia sering banget cerita soal perang, soal unitnya, tapi gue selalu pikir itu cuma cerita lama yang nggak ada hubungannya sama hidup gue sekarang."
Hansel mengangguk. "Ahmad Ilyas itu orang yang hebat. Dia nggak cuma mekanik brilian, tapi juga seorang teman yang bisa diandalkan. Dia orang terakhir yang bakal ninggalin lo di medan perang."
Cora tersenyum tipis, matanya terlihat sedikit berkaca-kaca. "Gue bangga jadi keturunannya. Dan kendaraan ini... ini adalah salah satu peninggalan yang dia kasih ke keluarga gue. Gue ngerawatnya kayak harta karun."
Mia akhirnya menurunkan senjatanya, meski wajahnya tetap waspada. "Oke, jadi lo bukan musuh. Tapi gimana caranya kita yakin lo bisa dipercaya? Di zaman sekarang, orang baik itu langka banget."
Cora menatap Mia dengan senyum miring. "Gue nggak minta lo percaya gue. Tapi kalau gue berniat jahat, gue udah kabur pas lo lagi sibuk ngomong."
Hansel tertawa kecil, lalu menepuk bahu Mia. "Santai, Mia. Gue rasa dia bisa kita percaya. Lagipula, dia cucu Ilyas. Kalau dia setengah aja seperti kakeknya, kita bisa andalkan dia."
Mia menghela napas panjang. "Baiklah. Tapi kalau dia berkhianat, Hansel, gue bakal bilang ini semua salah lo."
Hansel mengangkat tangan. "Oke, itu adil."
Cora menghidupkan kembali mesin kendaraannya, dan kali ini suara mesin terdengar jauh lebih mulus. Dia menatap Hansel dan Mia sambil tersenyum. "Ayo, kita lanjut. Kalau kalian mau pergi ke tempat Mother, gue rasa kita punya jalan yang sama."
Hansel menyipitkan matanya. "Lo tahu soal Mother?"
Cora mengangguk. "Gue nggak tahu banyak, tapi gue dengar ada aktivitas aneh dari sisa-sisa jaringan lama yang terhubung ke Mother. Gue sedang mencoba cari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Hansel dan Mia saling melirik.
"Well," kata Hansel sambil menyeringai, "kelihatannya kita punya teman perjalanan baru."
Cora tersenyum kecil, lalu melajukan kendaraan itu, membawa mereka bertiga menuju perjalanan berikutnya yang penuh dengan ketidakpastian.
![](https://img.wattpad.com/cover/373117069-288-k31593.jpg)