Chapter 10 : Bab 9: Godaan Tombol Merah

1 0 0
                                    

Kendaraan "Raja Besi" melaju perlahan melewati jalan berbatu, suara rantai rodanya menggeram pelan di tengah keheningan reruntuhan. Di dalam kabin, suasana cukup tenang—setidaknya, untuk beberapa menit pertama. Hansel fokus pada kemudi, sementara Mia duduk di kursi samping, namun matanya terus terpaku pada tombol merah besar di konsol utama yang terletak di tengah dashboard.

Tombol itu tampak begitu menggoda, bercahaya samar di bawah lampu redup kabin, seperti memanggil-manggilnya. Mia mengernyit, menatap tombol itu seperti seorang anak kecil yang dilarang menyentuh toples kue.

Mia akhirnya memecah keheningan. "Hansel, gue penasaran banget sama tombol merah itu. Lo yakin kita nggak perlu pencet buat tahu apa itu?"

Hansel melirik Mia sebentar tanpa mengangkat alis. "Mia, jangan coba-coba. Gue serius. Jangan. Sentuh. Tombol itu."

Mia memiringkan kepala, matanya menyipit ke arah Hansel. "Tapi kenapa? Kalau tombol itu penting, kita harus tahu apa fungsinya, kan? Gimana kalau itu tombol buat sesuatu yang berguna, kayak aktifin mode turbo atau semacamnya?"

Hansel mendengus sambil memutar setir kendaraan, menghindari reruntuhan kecil di jalan. "Mia, gue udah bilang, gue nggak inget fungsi semua tombol di kendaraan ini. Dan tombol merah itu... gue punya firasat buruk soal dia. Jadi tolong, jangan usil."

Mia mengangguk perlahan, tapi senyum tipis mulai muncul di wajahnya. "Hmm... Jadi, kalau gue iseng pencet tombol itu, lo bakal marah banget, ya?"

Hansel langsung menatapnya dengan ekspresi serius. "Mia, lo beneran nggak paham artinya 'jangan sentuh,' ya? Gue serius. Jangan pencet tombol itu. Kalau itu aktifin nuklir atau jebakan darurat, gue nggak mau kita meledak jadi abu cuma gara-gara lo penasaran."

Mia pura-pura merenung, lalu menatap tombol itu lagi dengan pandangan penuh niat. "Tapi Hansel, gimana kalau tombol itu justru ngebuka dispenser kopi? Atau ngeaktifin musik era Gastra? Gue nggak tahan hidup di kendaraan ini kalau nggak ada hiburan."

Hansel menutup wajahnya dengan satu tangan, menghela napas panjang. "Mia... Lo tau nggak, tombol-tombol itu nggak didesain buat hiburan. Ini kendaraan perang, bukan vending machine futuristik."

Namun, Mia sudah mendekatkan jarinya ke tombol merah itu, matanya berkilat penuh keinginan. "Tapi Hansel, penasaran itu alami buat manusia. Mungkin lo udah lupa karena lo terlalu lama hidup, tapi gue nggak bisa tinggal diam kalau ada tombol merah segede gitu di depan mata gue."

Hansel memukul setir kendaraan dengan frustrasi. "MIA! Kalau lo pencet itu dan kita meledak, gue bakal pastiin hantu gue ngejar lo di alam baka!"

Mia tertawa kecil, lalu duduk kembali di kursinya, tetapi jari-jarinya masih bermain-main di dekat tombol itu. "Santai aja, Hansel. Gue cuma bercanda. Tapi... serius, apa lo nggak penasaran juga? Lo kan suka ngoprek barang rongsokan. Gimana lo bisa tahan nggak nyoba tombol ini?"

Hansel mengusap pelipisnya, jelas-jelas mencoba menahan emosinya. "Mia, ini bedanya gue sama lo. Gue ngerti bahwa ada beberapa tombol yang lebih baik nggak disentuh. Itu namanya kebijaksanaan. Dan kebijaksanaan itu yang bikin gue masih hidup sampai sekarang."

Mia mendekatkan wajahnya ke tombol itu, matanya menyipit seolah memeriksa detailnya. "Hmm... Tombol ini kayaknya bersih banget, padahal kendaraan ini udah tua. Apa ini tombol baru? Apa ini tombol rahasia yang lo pasang sendiri?"

Hansel menggelengkan kepala sambil mencoba mengalihkan perhatiannya dengan konsol kemudi. "Mia, kalau lo pencet itu, gue bakal tendang lo keluar dari kendaraan ini. Dan percayalah, lo nggak mau jalan kaki di reruntuhan yang penuh Beast Droid."

Mia menyeringai, jelas menikmati melihat Hansel frustasi. "Lo nggak akan tega tendang gue keluar, Hansel. Lagian, lo butuh gue buat jagain punggung lo."

Hansel mendengus lagi, kali ini dengan nada lebih lelah. "Mia, jagain punggung gue bukan berarti ngebawa kita semua ke neraka dengan pencet tombol merah itu."

Mia akhirnya menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan tangan terlipat, tetapi pandangannya masih tidak lepas dari tombol merah itu. Dia mendesah dramatis. "Baiklah, gue nggak bakal pencet. Tapi lo harus janji, kalau suatu saat kita buntu atau kendaraan ini rusak, gue yang boleh pencet tombol ini pertama kali."

Hansel meliriknya dengan ekspresi penuh kecurigaan. "Kalau lo pencet tombol itu, gue bakal kasih lo kerjaan tambahan: bersihin bangkai kendaraan ini kalau kita meledak."

Mia tertawa keras, meskipun dia tahu Hansel benar-benar serius soal larangan itu. Namun, rasa penasaran tentang tombol merah itu tidak sepenuhnya hilang dari pikirannya.

Malam itu, mereka berhenti untuk beristirahat di tengah reruntuhan. Hansel keluar untuk memeriksa bagian luar kendaraan, sementara Mia duduk sendirian di kabin. Suasana tenang, hanya suara angin yang berhembus di luar. Mia menatap tombol merah itu lagi, jari-jarinya mulai bergerak pelan mendekatinya.

"Kalau gue pencet pelan, apa yang bakal terjadi?" gumamnya pada dirinya sendiri.

Namun, sebelum jarinya menyentuh tombol itu, Hansel tiba-tiba masuk kembali ke kabin, membawa sebuah palu besar yang biasa dia gunakan untuk memperbaiki kendaraan.

"MIA!" teriak Hansel, yang langsung membuat Mia melompat seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen.

"Apa?! Gue nggak pencet apa-apa!" seru Mia dengan nada defensif, tangannya cepat-cepat menjauh dari tombol merah itu.

Hansel menunjuknya dengan ujung palu. "Lo pikir gue nggak lihat dari kaca depan tadi? Lo udah liat tombol itu kayak lo naksir dia. Kalau lo pencet, jangan harap gue bakal perbaiki kendaraan ini kalau ada yang rusak."

Mia mendengus kesal. "Hansel, lo paranoid banget sih. Gue cuma lihat doang. Gimana kalau tombol ini nggak seberbahaya yang lo kira?"

Hansel mengarahkan pandangannya tajam ke Mia. "Mia, denger ya. Kalau tombol itu meledak, gue nggak mau ngedengar kalimat terakhir gue di dunia ini adalah, 'Gue penasaran banget.'"

Mia tertawa lagi, mencoba menyembunyikan rasa malunya. "Oke, oke, gue nggak akan pencet. Tapi lo janji, kalau lo tahu apa fungsi tombol ini, lo bakal kasih tahu gue."

Hansel menyandarkan palu besar itu di pojok kabin, lalu duduk kembali di kursi kemudi. "Lo akan tahu fungsi tombol itu kalau kita udah benar-benar kepepet. Tapi sampai saat itu, jangan sentuh. Lo ngerti, kan?"

Mia mengangguk, meskipun senyumnya masih penuh rasa penasaran. "Gue ngerti... tapi lo tau gue, Hansel. Kadang gue nggak tahan sama godaan kecil."

Hansel memutar matanya dan menggeleng sambil menyalakan kendaraan lagi. "Gue harus pasang pagar listrik di sekitar tombol itu."

Mia tertawa kecil, dan meskipun suasana mereka santai, Hansel tahu bahwa tombol merah itu akan terus jadi ancaman... bukan dari tombolnya sendiri, tapi dari rasa penasaran Mia yang tak pernah padam.

MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang