Langkah Hansel terdengar berat saat ia keluar dari toko Pak Arman. Malam di kota bawah tanah terasa lebih suram daripada biasanya. Jalanan dipenuhi bau lembab, dan lorong-lorong gelap yang biasa terlihat aman sekarang seakan menyimpan rahasia yang menunggu untuk terungkap. Mia, yang sejak tadi merasa ada yang tidak beres, mengikuti Hansel tanpa suara, matanya penuh rasa ingin tahu.
Namun, langkah Hansel tiba-tiba berhenti di salah satu gang sempit. Ia berbalik cepat, menangkap pergelangan tangan Mia dan menariknya ke sudut gelap yang lebih tersembunyi. Suasana langsung berubah menegangkan.
"Hansel! Apa-apaan sih lo—" Mia berusaha melepaskan diri, tetapi tatapan Hansel yang tajam menghentikannya.
"Lo mau ikut campur lebih jauh lagi?" suara Hansel datar, tapi penuh intensitas. "Kalau iya, gue harus tanya lo sekarang, Mia. Apa lo siap kehilangan nyawa lo?"
Mia menatapnya dengan tatapan bingung, namun tidak ada keraguan dalam suaranya ketika ia menjawab, "Gue udah ngeliat cukup banyak buat tahu kalau ini besar, Hansel. Gue nggak peduli soal nyawa gue. Kalau lo mau gue bantu, gue bakal bantu."
Hansel diam sejenak, menatap Mia dalam-dalam seolah mencari sedikit keraguan di matanya. Namun yang ia temukan hanyalah tekad. Ia menghela napas panjang, lalu mengangguk.
"Baiklah," katanya dengan nada pelan. "Tapi jangan pernah bilang gue nggak ngasih lo pilihan."
Mia hanya mengangguk kecil, meskipun di dalam hatinya ia tidak tahu apa yang sebenarnya ia setujui. Hansel mulai melangkah lagi, kali ini menuju bagian kota yang bahkan Mia belum pernah jelajahi.
Lorong-lorong yang mereka lewati menjadi semakin gelap dan sepi. Aroma lembab semakin pekat, dan suara gemericik air dari pipa bocor menjadi satu-satunya suara yang menemani mereka. Hansel berhenti di depan sebuah pintu besar yang tersembunyi di balik reruntuhan. Pintu itu terbuat dari logam berat yang sudah berkarat, tetapi di tengahnya terdapat lambang yang membuat Mia terkejut—lambang Tentara Pembebasan Era Gastra.
"Lo... beneran salah satu dari mereka?" Mia akhirnya bertanya, suaranya penuh rasa kagum bercampur bingung.
Hansel tidak menjawab. Ia mengangkat tangannya, menyentuh lambang itu dengan telapak tangannya yang berbalut sarung tangan. Lambang itu mulai bersinar, memancarkan cahaya biru samar. Suara mekanis terdengar, dan pintu perlahan terbuka dengan derit yang berat. Udara dingin dari dalam ruangan menyergap mereka, seolah pintu itu telah lama tidak dibuka.
"Welcome, Commander Hansel," suara elektronik terdengar, monotone tapi penuh penghormatan. "System Reinitializing. Power Restored."
Mia menatap Hansel dengan tatapan penuh tanda tanya, tetapi Hansel hanya melangkah masuk tanpa berkata apa-apa. Mia mengikuti dari belakang, meskipun hatinya berdebar keras. Lampu-lampu perlahan menyala satu per satu, menerangi ruangan besar yang tampaknya sudah lama tidak dihuni.
Di hadapan mereka, perlengkapan tempur zaman Gastra berjajar rapi: senjata plasma, armor berat, bahkan beberapa drone tempur yang terlihat masih utuh. Rak-rak besar dipenuhi peluru bercahaya dan tabung-tabung energi. Mia ternganga melihat semua itu.
"Ini... ini semua perlengkapan perang asli dari Perang Gastra," bisik Mia, matanya mengamati segala sesuatu di ruangan itu. "Gue pikir semuanya udah dihancurin setelah perang selesai."
"Enggak semua," jawab Hansel, suaranya datar. Ia berjalan melewati senjata-senjata itu tanpa banyak bicara, seolah-olah ia sudah terlalu sering melihatnya.
Di ujung ruangan, ada sebuah pintu logam dengan papan nama kecil di atasnya. Papan itu berdebu, tetapi Mia bisa membaca tulisan yang terukir di sana: "GRETEL."
Hansel berhenti di depan pintu itu, matanya menatap nama itu dengan tatapan yang sulit dijelaskan—campuran antara nostalgia, kesedihan, dan rasa bersalah. Mia yang berdiri di belakangnya mencoba membaca ekspresi Hansel, tetapi pria itu terlalu sulit ditebak.
"Gretel?" Mia akhirnya bertanya pelan, memecah keheningan. "Siapa itu?"
Hansel menghela napas panjang, tangannya perlahan menyentuh papan nama itu. "Dia... partner gue. Selama Perang Gastra."
"Partner?" Mia menatapnya bingung. "Partner kayak... partner tempur?"
Hansel tersenyum kecil, tapi senyumnya pahit. "Lebih dari itu. Dia adalah..." Ia berhenti sejenak, seolah mencari kata yang tepat. "Dia adalah satu-satunya alasan gue masih hidup setelah perang itu."
Mia menunggu, berharap Hansel akan menjelaskan lebih lanjut, tetapi pria itu hanya berdiri di sana, menatap pintu itu dengan tatapan kosong. Setelah beberapa detik, Hansel menekan panel kecil di samping pintu. Sebuah suara elektronik terdengar.
"Access Granted. Welcome Back, Commander Hansel."
Pintu terbuka perlahan, dan Mia mengikuti Hansel masuk ke dalam ruangan kecil di baliknya. Ruangan itu jauh lebih sederhana dibandingkan dengan gudang senjata di luar. Di tengah ruangan, ada sebuah kapsul besar yang tertutup oleh lapisan kaca tebal. Di dalamnya, tubuh seorang wanita terbaring dalam keadaan tidak aktif, matanya terpejam. Rambutnya panjang dan putih, wajahnya tampak damai, tetapi terlalu sempurna untuk seorang manusia.
Mia terdiam, mulutnya terbuka lebar. "Itu... itu Droid?"
Hansel mengangguk pelan. "Iya. Itu Gretel."
Mia menatap tubuh di dalam kapsul itu dengan bingung. "Dia Droid, tapi dia partner lo? Gue nggak ngerti, Hansel. Kenapa ada Droid di sisi lo waktu perang? Bukannya semua Droid ada di pihak Mother?"
Hansel menyandarkan punggungnya ke dinding, menatap kapsul itu dengan tatapan yang penuh beban. "Gretel... dia beda. Dia salah satu dari kita. Dia bukan cuma Droid tempur. Dia adalah senjata terakhir manusia untuk melawan Mother. Tapi ada sesuatu yang salah. Dia... dia nggak pernah bangun lagi setelah perang selesai."
Mia masih menatap tubuh Gretel dengan rasa bingung dan penasaran. "Lo simpan dia di sini selama ini?"
Hansel mengangguk lagi. "Gretel adalah bagian dari rahasia terbesar Perang Gastra. Kalau orang lain tahu dia masih ada, itu bakal jadi masalah besar. Makanya, gue nggak pernah cerita ke siapa pun. Sampai sekarang."
Mia menatap Hansel, mencoba mencari sesuatu di wajahnya. "Kenapa lo cerita ke gue sekarang? Kenapa lo ajak gue ke sini?"
Hansel menatap Mia dengan serius. "Karena gue butuh lo, Mia. Perang ini belum selesai. Mother masih ada, dan Gretel mungkin jadi satu-satunya harapan kita buat menghentikan dia lagi."
Mia terdiam, mencoba mencerna semuanya. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa hidupnya baru saja berubah selamanya.
