Hansel berdiri di depan sebuah kendaraan besar yang tampak seperti peninggalan era Perang Gastra. Kendaraan itu berkarat di beberapa bagian, tetapi masih terlihat kokoh. Tubuhnya besar, hampir seperti tank lapis baja, dengan roda rantai yang tampak kokoh untuk melintasi berbagai medan. Meski begitu, catnya sudah memudar, dan di beberapa tempat ada coretan yang dibuat asal-asalan—mungkin oleh tangan-tangan iseng puluhan tahun lalu.
Mia berdiri di sampingnya, tangan terlipat di dada. Dia menatap kendaraan itu dengan dahi berkerut. "Hansel, lo serius kita bakal pake... ini?"
Hansel memutar matanya, menepuk bagian samping kendaraan itu dengan bangga, yang langsung disusul suara KLONK keras, seperti logam yang hampir copot. "Ini bukan cuma kendaraan, Mia. Ini adalah legenda di zamannya! Dulu kendaraan ini yang gue pake waktu ngelawan Type R di medan perang Pasifik!"
Mia memutar matanya. "Legenda? Ini keliatan lebih kayak tumpukan besi tua yang bakal hancur kalau gue tiup."
Hansel tertawa kecil, lalu melompat ke atas kendaraan itu dengan gesit. "Ah, lo nggak ngerti seni dari teknologi kuno, Mia. Kendaraan ini dulu dikasih nama khusus sama unit gue. Kita panggil dia 'Raja Besi.'" Dia menepuk lagi atap kendaraan itu dengan bangga. "Dan dia masih hidup sampai sekarang, sama kayak gue."
Mia mendesah panjang, menaiki tangga kecil di samping kendaraan itu untuk naik ke atas. "Gue nggak tahu mana yang lebih tua, lo atau 'Raja Besi' ini. Tapi gue yakin salah satu dari kalian bakal rontok di tengah jalan."
Hansel terkekeh sambil memeriksa konsol utama di dalam kendaraan itu. "Lo nyindir umur gue, ya? Hati-hati, Mia. Gue mungkin kelihatan tua, tapi gue masih kuat. Nano machine gue bikin gue awet muda!"
Mia duduk di kursi samping, mengamati interior kendaraan itu. Segala sesuatunya tampak kuno, dengan tuas-tuas besar dan tombol-tombol yang kelihatan seperti tinggal menunggu waktu untuk meledak. "Awet muda apanya? Kalau lo beneran awet muda, kenapa gue masih lihat uban di rambut lo?"
Hansel refleks meraba rambutnya, lalu memutar kepalanya ke Mia dengan ekspresi bingung. "Uban? Mana?! Lo ngelihat uban gue di mana?"
Mia tertawa kecil. "Santai, Hansel. Gue cuma bercanda. Tapi serius, kendaraan ini bakal kuat buat perjalanan jauh? Kita bahkan nggak tahu di mana Mother berada. Gimana kalau ini mogok di tengah jalan?"
Hansel menyalakan mesin kendaraan itu, yang langsung mengeluarkan suara BROOOM keras seperti monster kuno yang baru saja dibangunkan dari tidur panjangnya. Getarannya membuat kendaraan itu berguncang pelan, dan Mia sedikit melompat dari tempat duduknya.
Hansel menyeringai lebar. "Dengar itu, Mia. Raja Besi ini nggak bakal mogok. Dia adalah mahakarya zaman perang! Perawatannya sederhana. Kalau mogok, tinggal gue pukul pakai palu gede, beres."
Mia menatapnya dengan alis terangkat. "Lo beneran mau bilang perawatan kendaraan ini cuma modal palu? Lo serius mau gue ikut naik ini?"
Hansel mengangguk dengan bangga. "Tenang aja, Mia. Kalau ada yang rusak, gue yang perbaiki. Gue kan jagonya ngoprek barang rongsokan. Liat aja, gue bakal bikin kendaraan ini jalan kayak baru lagi."
Mia mendesah sambil memutar matanya. "Gue nggak yakin mau nyerahin nyawa gue ke tangan lo dan palu lo itu."
Hansel hanya tertawa, lalu mulai menggerakkan kendaraan itu keluar dari hanggar. Kendaraan itu berjalan dengan suara berderak-derak di awal, tetapi perlahan mulai melaju lebih mulus. Mia hanya bisa menghela napas panjang, mencoba menerima bahwa perjalanannya dengan "Raja Besi" ini mungkin akan penuh drama.
Saat kendaraan itu melaju melewati jalanan bawah tanah yang gelap dan berliku, Mia menatap konsol di depannya dengan rasa penasaran. Ada banyak tombol di sana, tetapi kebanyakan sudah berkarat atau retak. Dia menunjuk salah satu tombol merah besar yang ada di tengah.
"Hansel, tombol ini buat apa?" tanyanya, nada suaranya penuh kecurigaan.
Hansel melirik sekilas ke tombol itu, lalu kembali fokus ke jalan. "Oh, itu? Gue lupa. Mungkin itu buat sesuatu yang penting. Atau mungkin itu cuma hiasan."
Mia melongo. "Lo lupa? Itu tombol merah gede banget, Hansel! Jangan bilang itu buat nuklir atau semacamnya."
Hansel mengangkat bahu santai. "Eh, gue udah bilang, kendaraan ini dari zaman perang. Bisa aja itu tombol buat aktifin plasma cannon, atau mungkin cuma lampu darurat. Tapi jangan pencet, deh. Nanti gue harus perbaikin lagi kalau ada apa-apa."
Mia mendesah sambil menatap tombol itu. "Kalo gue pencet, lo nggak akan tau kan bakal ngeluarin apa? Gimana kalo tiba-tiba kendaraan ini meledak?"
Hansel menyeringai. "Kalau meledak, kita mati bareng, Mia. Bukankah itu romantis?"
Mia menatap Hansel dengan ekspresi datar. "Romantis apanya? Kalau kita mati bareng, gue bakal pastiin buat hantui lo di alam baka."
Hansel tertawa keras, lalu menunjuk sebuah rak kecil di samping konsol. "Eh, di situ ada bungkus makanan dari zaman perang. Lo lapar? Bisa coba lihat apa masih layak makan."
Mia menoleh ke rak itu dengan wajah kaget. "Serius, Hansel? Makanan dari zaman perang? Itu pasti udah jadi fosil sekarang!"
Hansel mengangkat bahu lagi. "Eh, gue makan itu beberapa bulan lalu, kok. Rasanya nggak terlalu buruk. Mirip keripik, cuma lebih keras."
Mia mengerang frustrasi sambil memegang kepalanya. "Gue nggak tahu kenapa gue setuju ikut lo dalam perjalanan ini."
Hansel meliriknya dengan senyum penuh kemenangan. "Karena lo suka sama gue, mungkin?"
Mia langsung membeku, wajahnya memerah. "Ap... apa? Gue nggak pernah bilang itu!"
Hansel tertawa lagi, lebih keras kali ini. "Ah, lihat tuh wajah lo! Merah kayak tomat! Gue cuma bercanda, Mia. Tapi kalau itu bener, lo bisa bilang aja, kok. Gue nggak bakal keberatan."
Mia memalingkan wajahnya ke luar jendela, mencoba menyembunyikan wajahnya yang masih merah. "Fokus nyetir aja, Hansel. Jangan bikin gue nyesel udah ikut lo."
Hansel hanya tertawa kecil, lalu kembali fokus ke jalan. Meski suasana di antara mereka penuh dengan candaan dan kekonyolan, ada rasa kepercayaan yang perlahan tumbuh di antara mereka.
Saat malam tiba, kendaraan mereka berhenti di sebuah lapangan terbuka di dekat reruntuhan kota tua. Hansel turun untuk memeriksa mesin, sementara Mia duduk di atas kendaraan, menatap bintang-bintang yang bersinar samar di langit gelap.
"Hansel," panggil Mia, nadanya lebih lembut kali ini.
Hansel yang sedang memegang obeng besar menoleh. "Ya? Ada apa?"
"Lo serius tentang ini semua? Maksud gue, tentang Mother, tentang Gretel, tentang perang yang bakal datang lagi. Lo nggak takut?" tanyanya pelan, tatapannya tetap terpaku ke langit.
Hansel terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Takut? Tentu aja. Gue manusia, Mia. Tapi kalau lo hidup cukup lama kayak gue, lo bakal belajar satu hal—kadang, lo harus terus maju meskipun lo takut. Karena kalau lo berhenti, lo kalah."
Mia menatap Hansel, dan untuk pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari pria itu. Di balik semua candaan dan kekonyolan, Hansel adalah seseorang yang memikul beban besar, seseorang yang berani melawan ketakutannya sendiri demi melindungi orang lain.
Dia tersenyum kecil. "Kalau gitu, gue bakal terus maju juga. Gue di sini bukan cuma buat bantu lo, Hansel. Gue di sini karena gue percaya sama lo."
Hansel menatap Mia, lalu tersenyum lebar. "Itu artinya kita partner sejati sekarang. Tapi ingat, kalau lo pencet tombol merah itu, gue bakal marah."
Mia tertawa kecil, suasana kembali ringan. Namun, di dalam hati mereka berdua, mereka tahu perjalanan ini baru saja dimulai.
