Malam semakin larut. Api unggun menerangi wajah Hansel, Mia, dan Cora yang duduk melingkar. Setelah perjalanan panjang, tawa, dan kekonyolan tentang tombol merah yang hampir membawa mereka ke tepi kehancuran (lagi), suasana mulai berubah lebih santai. Cora sedang membersihkan senjatanya, Mia memainkan ranting kecil sambil melamun, sementara Hansel sibuk memeriksa data di tablet kecilnya. Namun, seperti biasa, ketenangan itu hanya berlangsung sebentar.
Mia melemparkan rantingnya ke api unggun, menatap Hansel dengan alis terangkat. "Hansel, gue masih nggak habis pikir soal tombol merah di kendaraan ini. Kenapa kendaraan perang zaman lo suka banget naruh tombol merah mencurigakan? Serius, ini semacam tradisi zaman perang Gastra?"
Hansel mendesah panjang, lalu meletakkan tablet yang sedang dia periksa. "Mia, lo harus ngerti. Tombol merah itu nggak cuma sekadar tombol biasa. Itu adalah bagian dari desain strategis. Semua kendaraan militer era Gastra dirancang dengan tombol itu untuk alasan spesifik."
Mia menyipitkan mata, nadanya mulai terdengar seperti seorang pembawa acara debat politik. "Oh ya? Alasan spesifik apa, Hansel? Kenapa nggak pakai warna lain? Hijau, biru, kuning? Kenapa harus merah? Apa ini propaganda simbolisme perang?"
Hansel mengangkat satu jari, ekspresinya berubah serius seperti seorang profesor. "Merah itu warna yang langsung menarik perhatian. Itu melambangkan bahaya, peringatan, dan kekuatan. Dalam perang, tombol merah dirancang untuk menarik fokus operator, memastikan mereka tahu ini adalah keputusan besar. Pilihan warna itu bukan sembarangan, Mia."
Mia memiringkan kepalanya, tidak puas dengan jawaban itu. "Oke, jadi itu alasan psikologis. Tapi kenapa harus bikin tombol merah itu gampang dipencet? Kenapa nggak pasang pelindung atau sistem konfirmasi? Lo tahu berapa banyak insiden konyol yang bisa dicegah kalau ada tombol 'Are You Sure?' kayak di komputer?"
Cora, yang sejak tadi hanya mendengar sambil tersenyum, akhirnya ikut bicara. "Mia punya poin, Hansel. Kalau tombol itu gampang kepencet, berarti desainnya cacat. Kalau itu sistem militer, mereka pasti punya standar keselamatan, kan?"
Hansel melipat tangannya, seolah siap memberikan argumen panjang lebar. "Justru itu poinnya! Dalam perang, kecepatan adalah segalanya. Lo nggak bisa buang waktu buat pencet tombol konfirmasi. Lo nggak mau nunggu sistem bertanya 'Apakah Anda yakin ingin meluncurkan roket?' sementara musuh sudah ada di depan lo. Tombol itu harus bisa diakses dengan cepat, langsung, tanpa hambatan."
Mia menggelengkan kepala, menekan pelipisnya seolah mendengar jawaban yang paling absurd di dunia. "Tapi Hansel, apa lo nggak sadar? Itu justru bikin semuanya berpotensi kacau. Lo punya tentara yang capek, stres, mungkin nggak sengaja ketiduran, dan tiba-tiba kepencet tombol merah itu. Boom! Lo tahu apa yang gue sebut itu? Malpraktik teknologi."
Hansel menatap Mia dengan alis terangkat. "Malpraktik teknologi? Serius, Mia? Ini bukan rumah sakit, ini medan perang! Kalau lo takut tombol merah, mungkin lo nggak cocok ada di kendaraan militer!"
Cora tertawa kecil, menepuk pahanya sambil menunjuk Hansel. "Lo sadar nggak, Hansel? Lo kayak politisi defensif yang lagi mencoba bela undang-undang lama yang nggak relevan lagi."
Hansel menunjuk Cora sambil tersenyum sinis. "Dan lo kayak komentator TV yang cuma ngomong 'Ini salah' tanpa ngasih solusi."
Mia mendesah, mengangkat tangannya seolah sedang menyampaikan pidato besar di depan audiensi. "Oke, Hansel, Cora. Dengerin gue baik-baik. Gue percaya tombol merah itu adalah simbol dari kelalaian militer era Gastra. Ini adalah representasi dari kegagalan sistemik yang nggak memprioritaskan keamanan pengguna. Apa artinya teknologi canggih kalau justru membahayakan orang yang menggunakannya?"
Hansel terkekeh, lalu melipat tangannya sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke belakang. "Mia, lo baru sehari ngerti soal perang dan kendaraan militer, tapi lo udah kedengeran kayak akademisi sok tahu. Lo lupa satu hal penting—di medan perang, nggak ada yang aman. Semua teknologi militer dirancang untuk membunuh atau bertahan, bukan untuk bikin lo nyaman!"
Mia menunjuk Hansel dengan ekspresi seperti seorang politisi yang baru saja mendapat argumen lawan yang lemah. "Hansel, itu justru poin gue! Kalau teknologi lo nggak aman untuk digunakan oleh pengguna yang sebenarnya, artinya teknologi itu gagal. Pikirkan, berapa banyak orang di unit lo yang mati gara-gara tombol merah itu kepencet secara nggak sengaja?"
Hansel membuka mulut untuk membalas, tapi terhenti. Dia menutup mulutnya lagi, terlihat berpikir sejenak, lalu berkata dengan nada lebih rendah, "Oke... itu... pernah kejadian sekali. Tapi cuma sekali, dan itu karena operatornya mabuk!"
Mia langsung tertawa keras. "MABUK?! Jadi tombol merah itu lebih bahaya buat tentara lo sendiri daripada buat musuh?!"
Cora tertawa terbahak-bahak, hampir jatuh dari tempat duduknya. "Oke, gue nggak tahu kalau ini bakal jadi lucu banget. Ini debat tentang tombol merah atau kalian lagi bikin seminar soal desain buruk zaman perang?"
Hansel menunjuk Cora dengan wajah bingung. "Cora, lo nggak membantu di sini!"
Cora mengangkat tangannya seolah menyerah. "Oke, oke. Gue cuma mau bilang, kalian berdua cocok bikin acara debat sendiri. Gue bakal bayar tiket buat nonton."
Mia memutar matanya sambil tersenyum tipis, lalu menatap Hansel dengan lebih santai. "Oke, Hansel. Gue bakal kasih lo menang soal teori tombol merah ini. Tapi lo harus janji, kalau ada tombol merah lain di perjalanan ini, kita diskusi dulu sebelum lo larang gue pencet."
Hansel mendengus, lalu menjawab dengan nada penuh ironi. "Diskusi? Oh, lo mau debat dulu? Apa kita bikin forum? Gue kasih presentasi PowerPoint soal bahayanya tombol merah?"
Mia tertawa kecil. "Terserah lo, yang penting lo nggak panik kayak kemarin waktu gue deketin tombol itu."
Hansel hanya menggeleng sambil kembali ke tempat duduknya. "Gue nggak percaya lo beneran bikin ini jadi diskusi intelektual soal tombol merah. Gue rasa Mother bakal ketawa kalau tahu kita lebih sibuk debat soal tombol daripada nyiapin diri buat ngelawan dia."
Cora, yang masih tertawa, akhirnya mengangkat botol airnya. "Oke, toast buat tombol merah yang sukses bikin malam kita jadi acara debat presiden!"
Mereka bertiga tertawa bersama, suasana menjadi lebih ringan meski tetap ada sedikit rasa penasaran (dan kekesalan) soal tombol merah itu.
