Ruangan tempat Gretel berada dipenuhi oleh keheningan yang hanya diiringi oleh suara dengungan lembut mesin dari kapsul. Hansel berdiri di depan panel kontrol kecil di samping kapsul, matanya menatap layar dengan data-data yang hanya bisa dipahami oleh seorang veteran seperti dia. Mia, di sisi lain, berdiri dengan tubuh sedikit gemetar, menatap tubuh Gretel yang tak bergerak di dalam kapsul. Di satu sisi, ia merasa kagum, tapi di sisi lain, ketakutan dan kebingungan bercampur menjadi satu.
Hansel memecah keheningan dengan suaranya yang datar namun serius. "Mia, kalau lo mau terus ikut gue... lo harus tahu risikonya."
Mia menoleh, menatap Hansel dengan raut bingung. "Risiko apa lagi? Bukannya kita udah hampir mati barusan? Gue pikir itu udah cukup berbahaya."
Hansel menghela napas, lalu menatap Mia dengan tajam. "Dengar. Lo manusia biasa. Lo hebat, Mia, gue akui itu. Tapi melawan sesuatu kayak Mother atau Droid sekelas Type A... lo nggak akan bertahan lama. Lo butuh sesuatu yang lebih."
Mia menyipitkan matanya, merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Hansel. "Maksud lo?"
Hansel melirik kapsul Gretel, lalu kembali menatap Mia. "Nano machine. Teknologi yang sama kayak yang ada di tubuh gue. Teknologi yang bikin gue tetap hidup dan bertarung bahkan setelah hampir seratus tahun."
Mia terkejut, tapi ia mencoba menyembunyikan rasa gugupnya dengan tertawa kecil. "Jadi lo bilang gue harus jadi kayak lo? Awet muda dan keras kepala? Terdengar menarik."
Hansel tersenyum tipis, tapi matanya tetap serius. "Ini bukan cuma soal awet muda, Mia. Nano machine bakal ngerubah lo dari dalam—fisik lo, otak lo, semua. Lo bakal punya kemampuan yang bahkan lo sendiri nggak pernah bayangkan. Tapi itu juga berarti tubuh lo harus menerima teknologi itu. Kalau tubuh lo nggak bisa menerimanya..."
Ia berhenti, membiarkan kalimatnya menggantung.
Mia menelan ludah, tahu persis apa yang Hansel maksud. "Kalau tubuh gue nolak... gue bakal mati, kan?"
Hansel mengangguk pelan. "Ya. Prosesnya brutal, Mia. Gue nggak akan bohong ke lo. Banyak orang dulu yang mencoba teknologi ini, dan nggak semua dari mereka berhasil bertahan."
Keheningan kembali memenuhi ruangan. Mia menatap Hansel, lalu menunduk, mencoba mencerna semua yang baru saja ia dengar. Ia tahu ini bukan keputusan kecil, dan taruhannya adalah nyawanya sendiri. Tapi di saat yang sama, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus menjadi beban. Dia ingin bertarung. Dia ingin berada di sisi Hansel.
Hansel akhirnya memecah keheningan. "Gue nggak akan maksa lo, Mia. Kalau lo nggak mau, kita bisa cari jalan lain. Tapi gue harus jujur, jalan itu nggak banyak. Mother bukan ancaman kecil, dan kalau dia bangun, kita semua bakal tamat."
Mia mendongak, menatap Hansel dengan senyum kecil yang penuh keberanian, meskipun tangannya sedikit gemetar. "Kalau itu artinya gue bisa bantu lo, gue bakal ambil risiko ini."
Hansel menatapnya lama, mencoba mencari tanda keraguan di wajahnya. Tapi seperti sebelumnya, Mia tidak menunjukkan apa pun selain tekad.
"Tapi," tambah Mia dengan nada bercanda untuk meringankan suasana, "kalau gue berubah jadi monster, lo janji nggak bakal kabur, ya? Lo tahu kan, gue lumayan menyeramkan kalau marah."
Hansel tertawa kecil, sesuatu yang jarang terlihat dari pria itu. "Gue janji, Mia. Lo nggak bakal jadi monster. Tapi lo bisa jadi sesuatu yang lebih."
Mia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Oke, Hansel. Lo mimpin jalannya. Gue siap."
Hansel berjalan ke salah satu sudut ruangan, di mana sebuah mesin kecil berbentuk lingkaran dengan tabung-tabung kecil penuh cairan biru berada. Ia mengambil salah satu tabung dan memasangnya di mesin injeksi.
"Ini adalah Nano Machine V-2," kata Hansel sambil mempersiapkan alat itu. "Versi yang lebih stabil dari yang dulu gue pakai. Tapi tetap aja, prosesnya bakal terasa seperti neraka. Lo harus tahan."
Mia menelan ludah, tetapi ia mengangguk. "Gue bisa. Gue udah ngalamin cukup banyak neraka di luar sana. Satu lagi nggak masalah."
Hansel menghampiri Mia dengan mesin injeksi di tangannya. Ia menatapnya untuk terakhir kalinya, memberi kesempatan terakhir untuk mundur. Namun, Mia menatapnya dengan mata yang penuh keberanian, meskipun tangannya sedikit gemetar.
"Lo pasti beneran keras kepala, ya," ujar Hansel dengan senyum tipis.
"Lo nggak akan bisa ngilangin gue dari sisi lo," jawab Mia sambil tertawa kecil, meskipun nadanya terdengar gugup.
Hansel mengangguk, lalu perlahan memasukkan jarum dari mesin itu ke lengan Mia. "Oke, Mia. Kalau lo siap, kita mulai sekarang."
Mia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. "Lakukan, Hansel."
Hansel menekan tombol pada mesin itu. Cairan biru dari tabung perlahan mengalir masuk ke tubuh Mia melalui jarum suntik. Awalnya, Mia hanya merasa dingin di seluruh tubuhnya, tetapi tidak lama kemudian, rasa dingin itu berubah menjadi panas yang membakar.
"Aaagh!" Mia berteriak, tubuhnya melengkung kesakitan. Hansel memegang bahunya dengan erat, mencoba menahannya agar tidak bergerak terlalu banyak.
"Mia, tahan! Ini cuma awalnya! Lo harus bertahan!" seru Hansel, suaranya penuh kekhawatiran.
Mia menggertakkan giginya, tubuhnya gemetar hebat. Rasa sakit itu seperti ribuan jarum yang menusuk setiap sel tubuhnya. Keringat deras mengalir di wajahnya, dan ia merasa seolah-olah tubuhnya akan meledak. Tapi di tengah semua rasa sakit itu, ia memikirkan sesuatu—Hansel.
"Aku... aku nggak bakal kalah..." gumam Mia di antara napasnya yang tersengal-sengal. "Kalau Hansel bisa, aku juga bisa..."
Hansel melihat Mia berjuang keras, dan meskipun ia tahu rasa sakit itu luar biasa, ia merasa kagum dengan keberanian Mia.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, tubuh Mia perlahan mulai tenang. Warna biru samar mulai muncul di pembuluh darah di bawah kulitnya, menyala sebentar sebelum akhirnya meredup. Napas Mia terengah-engah, tetapi ia masih hidup.
"Mia..." Hansel memanggilnya pelan.
Mia membuka matanya perlahan. Meskipun ia terlihat kelelahan, ia tersenyum kecil. "Gue... masih hidup, kan?"
Hansel mengangguk, senyum kecil di wajahnya. "Ya. Lo berhasil."
Mia tertawa kecil meskipun tubuhnya terasa berat. "Gue pikir gue bakal mati. Tapi... lo tahu? Rasanya sekarang gue... berbeda."
Hansel membantu Mia berdiri, memegangnya dengan hati-hati. "Nano machine lo udah aktif. Tubuh lo bakal terus beradaptasi selama beberapa hari ke depan. Lo bakal lihat sendiri nanti apa yang bisa lo lakukan."
Mia menatap Hansel, dan di balik kelelahan serta rasa sakit, ia merasa ada kebahagiaan. Ia mungkin tidak pernah mengatakan perasaannya pada Hansel, tetapi sekarang ia tahu satu hal—ia akan terus berada di sisinya, apa pun yang terjadi.
"Terima kasih, Hansel," bisik Mia pelan.
Hansel hanya tersenyum tipis, menatapnya dengan rasa bangga dan, mungkin, sedikit lega. "Ayo, kita punya banyak pekerjaan."
Mereka berdua pun melangkah keluar dari ruangan itu, bersiap menghadapi ancaman yang lebih besar di luar sana.