Tandai kalau ada typo
Happy Reading
☾︎──────°❀•°✮°•❀°──────☽︎
Realyn kembali ke rumah Rhyns dengan membawa gerobak jerami itu, ia masuk ke rumah Rhyns dan menyuruh Bia untuk membantunya memapah ayah Rhyns dan membawanya ke gerobak.
Ia akan membawa ayah Rhyns ke istana dengan menggunakan gerobak itu. Dengan sekuat tenaga mereka membawa ayah Rhyns dan menidurkannya di gerobak, setelah itu Rhyns ikut naik ke atas gerobak.
"Putri, biar saya saja yang mendorongnya. Anda naik saja bersama Rhyns."
"Tidak Bia, kau tidak akan kuat. Aku akan mendorongnya juga, kau dorong dari belakang saja." Tanpa banyak berkata-kata lagi Bia langsung menuruti perkataan nonanya.
Realyn menatap sebentar pada ayah dan anak itu. Melihat Rhyns ia tiba-tiba teringat kakaknya. Menarik napasnya dalam-dalam, Realyn menggulung lengan gaunnya sampai siku.
Ia memegang pegangan gerobak dengan erat. Kemudian gerobak itu mulai bergerak perlahan melewati hutan menuju istana.
Di tengah perjalanan, langit tiba-tiba saja berubah menjadi gelap, terdengar suara gemuruh petir di atas langit seperti menandakan akan turunnya hujan.
"Sepertinya akan turun hujan, kita harus cepat, Bia. Kau masih kuat mendorong, kan?" tanya Realyn pada Bia yang terlihat kelelahan.
"Saya masih kuat, Nona. Anda tidak usah khawatir," jawab Bia berusaha meyakinkan.
Kemudian mereka kembali berjalan dengan mendorong gerobak itu di tengah hutan. Namun, entah kesialan macam apa yang mereka hadapi sekarang.
Tiba-tiba, dari balik pohon muncul tujuh orang pria berpenampilan urakan dan membawa senjata. Wajah mereka tertutup kain, hanya mata mereka yang terlihat. Salah satu dari mereka maju sambil membawa pedang yang cukup tajam di tangannya.
Melihat itu, Realyn menjadi waspada. Begitupun dengan Bia yang sudah keringat dingin di tempatnya.
"Berhenti di situ," katanya dengan nada mengancam.
"Jika kalian ingin lewat, serahkan barang berharga kalian pada kami. Jika tidak, nyawa kalian yang harus membayarnya!" ucapnya sambil menodongkan Padang itu pada Realyn.
Melihat itu, Bia maju untuk melindungi nonanya dari para bandit, meskipun ia takut tapi nyawa nonanya lebih penting dari rasa takutnya.
"Kami akan memberikannya, tapi tolong lepaskan kami setelahnya." ucap Bia dengan sedikit bergetar.
Pria itu tidak menjawabnya, ia memberikan isyarat pada kawanannya untuk mengambil semua barang-barang berharga yang di bawa Realyn dan Bia.
Tiga bandit itu mendekat ke arah gerobak untuk mencari barang seperti itu uang atau perhiasan lalu mengobrak-abrik isi gerobak mereka dan membuat semua bahan yang Realyn dan Bia beli di pasar berhamburan di tanah.
Setelah menemukan apa yang mereka cari, ketiga bandit itu mendekat pada pimpinan mereka. "Hanya ada sekantung uang saja, Tuan," bisiknya.
Mata pimpinan bandit itu menyipit, lalu pandangannya tak sengaja menatap benda menyilaukan yang berada di leher seorang gadis di belakang sana.
"Serahkan semua perhiasan yang kalian pakai, termasuk kalung yang kau pakai itu, Nona," ucap Pimpinan bandit itu sambil menunjuk ke arah Realyn.
Realyn terdiam sejenak, kemudian ia menatap kalungnya dan menggeleng tegas. Kenapa semua orang dari tadi menginginkan kalungnya? Memang apa istimewanya kalung yang ia pakai ini?
"Tidak akan! Kalung ini milikku, aku tidak akan menyerahkannya pada kalian!" tekan Realyn.
Meskipun nyawa taruhannya, ia takkan memberikan kalung ini pada para bandit itu. Ia sudah berjanji pada Duke Shavonne untuk menjaga kalung ini.
Bandit itu marah mendengar penolakan Realyn, melihat gerak-gerik pimpinan bandit itu yang akan menyerang ke arahnya dan Bia, dengan cepat Realyn mendorong Bia ke samping agar gadis itu tidak terluka.
Dan benar saja, bandit itu mengayunkan pedangnya tanpa ragu dan melukai lengan Realyn. Darah segar mengalir dari lengan kirinya, sebisa mungkin Realyn menahan rasa sakitnya agar tidak terlihat lemah.
"NONA!" Teriak Bia, gadis itu berdiri ingin menghampiri Realyn, tapi sebelum itu kedua tangannya ditarik oleh salah satu bandit membuat Bia tak bisa berkutik.
Dari tempatnya, Bia hanya bisa menyaksikan nonanya yang tengah meringis kesakitan dengan derai air mata.
"Ini hanya peringatan kecil untukmu, Nona. Serahkan atau nyawamu kuhabisi sekarang juga."
"Apakah kau tuli? Aku bilang aku tidak akan menyerahkannya padamu, dan aku tidak takut dengan ancaman sampahmu itu."
Realyn tak peduli jika bandit itu benar-benar akan membunuhnya sekarang, jika ia mati sekarang, ia berharap, jiwanya akan kembali ke tubuhnya saat itu juga.
Refleks ia menutup matanya saat melihat bandit itu kembali melayangkan pedang padanya.
"TIDAK! PUTRI!" Teriak Bia sembari mencoba melepaskan dirinya dari genggaman bandit yang menahannya.
Waktu seolah berhenti, Realyn menelan ludahnya susah payah saat tak merasakan pedang itu pada tubuhnya. Karena penasaran Realyn membuka matanya perlahan.
Keningnya mengernyit heran saat melihat sebuah pedang lain menahan pedang milik bandit yang akan melukainya. Realyn menoleh ke samping untuk melihat orang yang baru saja menyelamatkannya.
Manik hazelnya bertubrukan dengan manik hitam pria itu, tatapan teduh yang pria itu layangkan padanya seolah mengisyaratkan padanya bahwa semua akan baik-baik saja.
"Kau, siapa?"
☾︎──────°❀•°✮°•❀°──────☽︎
To Be Continued
Jangan lupa tinggalkan vote dan komennya supaya aku semangat untuk nulis❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Life
Fantasy[Transmigrasi Series] Realyn Tamara, seorang gadis berusia 22 tahun itu tidak menyangka akan masuk kedalam novel yang terakhir dibacanya, jiwanya masuk kedalam tubuh seorang tokoh utama yang sayangnya diakhir cerita dia akan mati di tangan orang yan...