06. my dilemma

270 38 6
                                        

𝐂𝐔𝐑𝐄.
a/n : alcohol, swearing (probably once) penggunaan "lo/gue"
▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃

    malam itu, di sebuah bar yang dikelola oleh seorang pria muda bersurai merah bernama diluc ragnvindr-sepupu jauh sekaligus teman lama (m/n)-tampak lebih sepi dari biasanya. meskipun malam sudah larut, hanya menyisakan beberapa orang yang duduk di meja dekat jendela, tenggelam dalam percakapan mereka sendiri.

musik jazz klasik mengalun pelan di latar belakang, memberikan suasana yang hangat dan tenang. diluc berdiri di balik bar, menyusun beberapa gelas dengan cekatan sambil sesekali melirik ke arah (m/n) yang duduk di meja panjang di sudut ruangan.

(m/n) tampak berbeda malam ini. biasanya, ia datang ke bar dengan senyum nakal dan sikap santai, mengobrol dengan siapa saja, atau sekadar membuat keributan kecil dengan lelucon-leluconnya yang tidak pernah gagal mengundang tawa. namun kali ini, wajahnya suram, dan pikirannya tampak jauh.

diluc yang sudah sangat mengenal (m/n) sejak kecil, melihat perubahan itu dengan cermat. ia mengangkat alisnya, lalu dengan perlahan mendekat ke meja tempat (m/n) duduk. "lo kelihatan nggak seperti biasanya, (n/n)," kata diluc sambil menyodorkan segelas whiskey. "ada yang bikin lo pusing, ya?"

(m/n) menatap gelas itu sejenak sebelum mengangkatnya, memandangi cairan keemasan yang berkilau dibawah remangnya cahaya bar. ia menarik napas panjang sebelum akhirnya meletakkan gelasnya kembali tanpa meminumnya. "gue nggak yakin gue harus ngomong apa," jawabnya dengan suara pelan, jauh lebih serius dari biasanya.

diluc duduk di seberang (m/n) dan melonggarkan kerah kemejanya, seolah memberi tanda bahwa ia siap untuk mendengarkan apapun yang akan (m/n) katakan. "kalo lo nggak mau ngomong, gue gak bakal maksa. tapi lo tahu, gue udah cukup lama ngurusin lo buat tahu kalau ada yang nggak beres."

(m/n) terdiam beberapa saat, menatap meja seolah mencari kata-kata yang tepat. diluc yang sudah lama bekerja di bar ini, tahu betul bahwa ini bukan kali pertama (m/n) datang dengan masalah. tapi kali ini, entah mengapa, diluc merasakan bahwa ada sesuatu yang jauh lebih dalam, lebih rumit, dan mungkin tak akan mudah untuk dijelaskan.

akhirnya, dengan suara yang hampir berbisik, (m/n) mulai membuka sedikit demi sedikit apa yang sedang mengganggunya. "lo tahu kan, gue sering terlibat masalah... terlalu sering, bahkan." ia tertawa pahit, mencoba menyeimbangkan suasana, tapi matanya tampak kosong.

"gue selalu berpikir gue nggak punya tempat lain di dunia ini selain di sini, di tempat gue biasa ribut dan bikin masalah. tapi sekarang, gue nggak bisa berhenti mikirin satu orang. dan itu... itu bikin gue bingung banget."

diluc duduk tegak, menatap ke arah sepupunya dengan penuh perhatian. "gue denger lo ngomongin seseorang yang spesial, ya? lo kayaknya nggak pernah ngomong kayak gitu sebelumnya. so, siapa dia?"

(m/n) menghela napas berat dan menyandarkan punggungnya pada kursi, matanya menerawang ke langit-langit bar. "alhaitham," jawabnya, menyebut nama detektif jenius itu dengan pelan, seolah menyadari betapa berat nama itu keluar dari mulutnya.

"dia seorang detektif. selalu dingin, selalu terkontrol. gue nggak tahu kenapa, tapi setiap kali gue deket sama dia, rasanya ada yang berubah. rasanya, gue kayak bisa ngerti dia, meskipun dia... dia selalu buat tembok tebal di sekitarnya."

diluc mengangguk, mendengarkan dengan seksama. ia sudah mendengar nama alhaitham beberapa kali dari (m/n), tapi baru kali ini (m/n) terlihat begitu rapuh saat membicarakannya. "gue ngerti, (n/n). lo jatuh hati sama dia, kan?"

(m/n) terdiam, matanya tertunduk, tak sanggup mengangkat pandangannya. "i don't fucking know man, gue nggak pernah nyangka bakal ngerasain ini. gue... gue pikir, gue nggak bisa cinta sama orang kayak dia. dia itu terlalu... terlalu sempurna, terlalu jauh dari dunia gue. tapi setiap kali gue deketin dia, gue malah jadi bingung. gue cuma mau ngasih tahu dia, kalau dia nggak sendirian... tapi dia malah nggak mau terima itu."

diluc menghela napas, meletakkan gelasnya di meja. "lo selalu begini. lo selalu mikir segala hal dalam hidup ini bisa diselesaikan dengan cara lo sendiri. tapi kadang, lo harus tahu kapan harus mundur. lo harus ngerti kalau nggak semua orang butuh lo untuk masuk ke hidup mereka. mungkin alhaitham punya alasan sendiri kenapa dia menahan diri."

(m/n) menggeram pelan, seolah tak setuju dengan apa yang diluc katakan. "gue tahu itu, diluc. tapi rasanya... gue nggak bisa ninggalin dia. gue tahu ada sesuatu di balik sikap dinginnya, ada sesuatu yang bisa dia percayakan ke gue. tapi dia... dia nggak mau buka. dan itu bikin gue ngerasa, gue nggak cukup buat dia. like i don't deserve him."

diluc menatap (m/n) dengan penuh perhatian, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya mengganggu sepupunya. "gue ngerti lo pengen bantu dia, (n/n). tapi lo harus sadar, nggak semua orang bisa diselamatkan, apalagi kalau mereka nggak mau diselamatkan. kadang lo harus berhenti maksa orang lain untuk ikut lo dalam jalan hidup lo. lo bisa ada buat dia, tapi lo juga harus tahu batasnya."

(m/n) terdiam, mencerna kata-kata diluc. ia menunduk, menatap telapak tangannya yang menggenggam gelas kosong di depannya. ia merasa beban yang menekan dadanya semakin berat.

"gue nggak tahu apa yang harus gue lakuin. gue nggak bisa lepas dari dia, tapi gue juga takut kalau gue terus nyusahin dia."

diluc menyandarkan punggungnya pada kursi dan mengangkat bahunya. "gue nggak bisa kasih jawaban pasti buat lo, bro. tapi satu hal yang gue tahu, lo harus cari apa yang bisa bikin lo damai, bukan apa yang bikin lo terus merasa bingung. jangan bikin keputusan cuma karena rasa takut atau nggak ingin kehilangan dia. kadang, lo harus memberi ruang untuk diri lo sendiri. kalo dia mau, dia akan datang ke lo."

(m/n) menghela napas panjang, akhirnya menatap diluc dengan lebih tenang. "lo bener, luc. gue harus berhenti mikirin segala hal buat dia terus, kan?"

diluc tersenyum tipis, seperti biasa, dan mengangguk. "ya, lo bisa bantu dia, tapi jangan sampai lo kehilangan diri lo sendiri dalam prosesnya. dan lo tahu, gue selalu ada buat lo. kalau lo butuh lebih banyak curhat, gue di sini."

(m/n) tersenyum kecil, kali ini lebih tulus daripada sebelumnya. "thanks, luc. gue nggak tahu apa yang bakal terjadi sama gue dan alhaitham, tapi gue nggak bisa terus berlarut-larut kayak gini."

diluc menepuk bahu (m/n) dengan lembut. "itu baru sepupu gue. lo akan temuin jalan lo. pasti."

malam itu, (m/n) merasa sedikit lebih ringan. masalahnya belum selesai, tapi percakapan dengan diluc memberinya sedikit kejelasan. dia tahu, ia harus menemukan keseimbangan-antara dirinya, alhaitham, dan apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidupnya.

▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃

a/n : wdyt about this chapter?

𝐂𝐔𝐑𝐄. ── 𝐀𝐋𝐇𝐀𝐈𝐓𝐇𝐀𝐌 𝐗 𝐌!𝐑𝐄𝐀𝐃𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang