Hari-hari berlalu dengan lambat, dan tanpa terasa sudah seminggu penuh Cassandra menjalani rutinitasnya dalam kesendirian. Di rumah yang besar dan sepi itu, ia mulai membiasakan diri dengan kesunyian, mengisinya dengan hal-hal kecil yang bisa ia lakukan.
Namun, sepanjang waktu itu, tak satu pun kabar datang dari Leo. Tak ada pesan, tak ada telepon. Meski ia tahu bahwa handphone yang ditinggalkan Leo di nakas bisa ia gunakan untuk menghubunginya kapan saja, Cassandra tak punya niat sedikit pun untuk melakukannya. Ada sesuatu yang menahannya, entah karena rasa gengsi, atau sekadar karena ia tak ingin bergantung pada sosok itu.
Rutinitas Cassandra menjadi putaran kegiatan yang monoton dan hampa bangun pagi, berjalan ke danau, memanggang kue untuk mengisi waktu, membaca buku di perpustakaan, lalu tidur sendirian di kamar yang luas dan sunyi. Awalnya, ia berpikir kesendirian ini akan meredakan kekacauan dalam hatinya, tetapi lambat laun kebosanan menyusup, membuat setiap sudut rumah terasa dingin dan menyesakkan.
Pada hari yang ketiga, setelah tubuh Cassandra sedikit lebih pulih dari sebelumnya. Ia mencoba untuk pergi dari rumah itu. Tak ada yang terjadi ketika ia pergi. Cassandra terus menyusuri jalan setapak yang sekelilingnya dipenuhi oleh hutan. Tetapi, entah mengapa tubuh Cassandra sangat mudah lelah. Dia memutuskan untuk berhenti dan duduk di akar-akar pohon yang besar. Setelah dihitung, saat itu merupakan perhentian ke empatnya. Cassandra menyesap air mineral yang sisa setengah itu, ia membawanya dari rumah untuk persediaan. Saat sedang minum, sekelebat bayangan tentang malam itu muncul. Malam yang paling ia benci seumur hidupnya. Setelah merenung beberapa saat, akhirnya Cassandra memutuskan untuk kembali ke rumah itu.
Beberapa hari selanjutnya, Cassandra merasakan tubuhnya tak sekuat biasanya. Awalnya hanya lelah yang ia kira disebabkan oleh kebiasaan tidur malam yang terlalu larut, namun perlahan rasa tak nyaman itu berubah menjadi nyeri dan lemah di sekujur tubuhnya. Ia mencoba mengabaikannya, berpikir bahwa sedikit istirahat akan mengatasi semuanya. Tetapi pagi ini, saat membuka mata, ia langsung menyadari ada yang salah. Tubuhnya terasa panas, begitu panas hingga ia bahkan menggigil di balik selimut. Pandangannya sedikit kabur, membuat ruangan yang sudah familiar menjadi asing.
Cassandra duduk diam di tempat tidurnya, merenung tanpa tenaga untuk melakukan apa pun. Kepalanya berdenyut nyeri, seperti ada palu yang terus mengetuk di dalam. Pandangannya kabur, dan setiap gerakan kecil pun membuat tubuhnya semakin terasa berat. Kesendirian dalam kamar yang luas itu semakin menyesakkan, membenamkannya dalam keheningan yang tak memberi ruang untuk mencari ketenangan.
Di tengah kebisuannya, suara deru mobil di kejauhan memecah keheningan. Cassandra samar-samar mendengar pintu depan terbuka, lalu langkah-langkah mendekat. Tak lama, pintu kamar perlahan terbuka, dan Leo muncul dengan wajah yang tampak lelah dan kehabisan tenaga. Tanpa sepatah kata, ia mendekati Cassandra, menatapnya dengan intens, lalu mengecup keningnya lembut. Tetapi, begitu bibirnya menyentuh kulit Cassandra, raut khawatir segera tergambar di wajahnya. Panas tubuh Cassandra begitu tinggi hingga membuat Leo tersentak.
Ia segera meletakkan tangannya di dahi Cassandra, merasakan suhu yang tak biasa. Wajahnya berubah serius, penuh perhatian. "Apakah kau sudah makan?" tanyanya lembut, nada suaranya menekan, penuh kekhawatiran. Cassandra hanya menggeleng pelan, terlalu lemah untuk menjawab lebih dari itu.
Tanpa berpikir panjang, Leo mengambil ponselnya, jari-jarinya bergerak cepat di layar, menghubungi dokter terbaik yang ia kenal, memastikan agar dokter itu bisa datang secepat mungkin, meski sadar bahwa jarak dari rumah ini ke kota akan memakan waktu setidaknya dua jam. Setelah panggilan selesai, Leo segera beranjak ke dapur, menyiapkan bubur sederhana untuk Cassandra, lalu kembali ke kamar dengan kain basah untuk mengompres dahi Cassandra. Wajahnya penuh perhatian, dan dalam setiap gerakan, ada kehangatan yang jarang sekali ia perlihatkan.
Leo dengan hati-hati menepuk-nepuk kening Cassandra dengan kain basah, mencoba menurunkan suhu tubuhnya yang tinggi. Ketika bubur sudah cukup dingin, ia duduk di samping Cassandra, menyuapinya perlahan-lahan. Setiap sendok yang ia berikan penuh dengan kepedulian, seolah-olah ia mencoba menyampaikan betapa berartinya Cassandra baginya tanpa perlu berkata-kata.
Di tengah keheningan itu, Cassandra akhirnya membuka mulut, mengumpulkan seluruh tenaga yang tersisa untuk mengucapkan sesuatu yang selama ini ia pikirkan dengan matang. Sambil menerima suapan berikutnya, Cassandra dengan suara pelan dan lembut berkata, "Aku sudah membuat keputusan, Leo." Mata Leo sedikit membelalak, tak ingin menyela, namun ekspresi wajahnya menunjukkan ketegangan dan harapan yang begitu jelas. Cassandra mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Aku akan menikah denganmu."
Sekejap, Leo terdiam, seperti membeku dalam waktu, namun sorot matanya memancarkan perasaan yang sulit ia sembunyikan—antara lega dan tak percaya. Rasa bahagia yang tersirat dari setiap gerakan, dari cara ia menatap Cassandra, hingga ketenangan yang kini menyelimuti wajahnya, menjelaskan bahwa jawaban Cassandra adalah sesuatu yang ia tunggu dengan penuh harap. Perlahan, ia mengangguk, bibirnya mengulas senyum kecil yang samar namun dalam. Leo tampak tak ingin merusak momen ini dengan kata-kata yang berlebihan, hanya menunduk sejenak, seolah merasakan kebahagiaan yang teramat di dalam dadanya.
Tak lama kemudian, suara langkah berat di depan pintu rumah mengumumkan kedatangan dokter. Leo segera mempersilakan dokter itu masuk ke kamar, dan sang dokter memeriksa kondisi Cassandra dengan seksama. Ia mengecek suhu tubuh, detak jantung, dan menanyakan beberapa gejala yang Cassandra rasakan. Ketika pemeriksaan selesai, dokter menatap Leo dengan raut serius, lalu berkata, "Kemungkinan besar, demam ini mungkin terjadi karena kondisi khusus." Ia menatap Cassandra sejenak, lalu melanjutkan, "Ada kemungkinan Anda hamil, meskipun itu perlu diperiksa lebih lanjut di rumah sakit karena saya tidak memiliki peralatan untuk memastikan hal tersebut di sini."
Kata-kata dokter seolah menggema dalam kamar yang sunyi. Cassandra tercengang, begitu pula Leo. Meski terkejut, Leo berusaha menyembunyikan kegugupannya dan hanya menggenggam tangan Cassandra erat-erat. Sorot matanya lembut, mencerminkan campuran antara ketegangan dan keinginan besar untuk melindungi, seolah ingin meyakinkan Cassandra bahwa apa pun yang terjadi, ia tak akan melepaskannya. Leo dengan suara yang lembut tapi yakin, berjanji akan memastikan semuanya baik-baik saja dan mendukung Cassandra apa pun hasil pemeriksaan lanjutan itu.
—
27 November 2024
Spesial khusus ulang tahun author hari ini! Akan ada promo pembelian Prigioniera Full Chapter + Extra
Chapter😚
Harganya khusus hari ini akan menjadi Rp.22.000 saja!
Langsung di gercepin aja di karya karsa atau dm aku di instragam @claiirysvdb
Btw, apa sih keuntungan beli ini? Jadi kalian bakalan bisa baca cerita ini lebih dulu dibanding di wattpad secara lengkap, tulisannya lebih rapi, minim typo, dan penjelasan latar belakang kedua tokoh utama lebih jelas, full sudah di revisi🤍
Lalu extra chapter ini (spoiler dikit) akan nyambung ke cerita aku berikutnya setelah aku menyelesaikan cerita ini di wattpad. Ada bagian kisah cerita antara Ana dan Miguel🤫🤫KODE VOUCHER KARYA KARSA : 2711GG
KAMU SEDANG MEMBACA
Prigioniera
ChickLitKarena berani menolong sahabatnya yang kabur dari cengkeraman mafia, Cassandra Clark harus menanggung akibatnya. Gadis pemberani ini kini terjebak di bawah kekuasaan Leonardo Bianchi, tangan kanan mafia yang kejam.