14

14K 610 143
                                    

Sesampainya mereka di sebuah gedung yang telah tampak sangat megah dari luar. Mata Cassie di penuhi oleh berbagai lampu yang berkilauan dan bunga-bunga yang menghiasi berbagai sudut ruangan. Terlihat nama mempelai pria dan wanita yang tak begitu asing bagi Cassie.

Ia berpikir sejenak, mencoba untuk mengingat-ingat. Lalu, terlintas dalam pikirannya bahwa mempelai lelakinya adalah salah satu sahabat kakaknya dan mempelai perempuannya merupakan temannya sewaktu boarding school.

Leo menggenggam erat tangan Cassue saat melangkah masuk. Aroma bunga mawar memenuhi udara, sementara suara musik dari sebuah orkestra yang lembut mengiringi suasana.

Cassie menatap sekitar seolah-olah mencari seseorang. Menatap wajah demi wajah yang tak lagi asing baginya, meskipun telah lama ta kia jumpai. Dia menemukannya! Disana kakaknya bersama dengan orang tuanya duduk bersama menikmati pesta.

Ia harus memutar otaknya agar dapat menjumpai mereka dan menceritakan segalanya, berharap mereka dapat menolongnya. Cassie bertekad untuk mengesampingkan rasa gengsinya yang tinggi, seolah-olah hubungannya dengan kedua orang tuanya baik-baik saja selama ini dan tak ada masalah.

Leo tidak menyadari kegelisahannya ketika ia menarik Cassie menuju tempat di mana Miguelsedang berbincang dengan beberapa rekan bisnis. Leo menyapa mereka dan langsung terlibat dalam perbincangan itu. Meskipun hanya seorang tangan kanan bosnya, Leo cukup dikenal oleh rekan-rekan bisnis tersebut karena ia lebih sering hadir dalam pertemuan-pertemuan dibandingkan bosnya sendiri. Banyak dari mereka terpukau oleh kejeniusannya dan kecakapannya, sehingga beberapa bahkan berniat merekrutnya. Namun, tawaran-tawaran itu selalu ditolak oleh Leo, mengingat betapa setianya ia kepada bosnya.

Leo mengenalkan Cassie dihadapan mereka. Hati Cassie menghangat seketika, melihat bagaimana Leo memperkenalkannya di hadapan banyak orang. Namun, Cassie berusaha mengesampingkan semua itu. Ia tidak ingin terus terjebak dalam kehidupan tanpa kebebasan seperti ini.

Mereka melangkah bersama menuju ke tempat duduk yang telah diatur. Cassie akan duduk ditengah-tengah antara Leo dan Ana. Saat ditengah perjalanan, Cassie melihat seorang pelayan dengan nampan yang dipenuhi minuman ditangannya. Melayani para tamu dengan gelas-gelas champagne.

Saat berpas-pasan secara langsung, Cassie dengan sengaja menyenggol pelayan itu. Suara pecahan kaca memekik di ruangan itu, menarik perhatian semua orang yang berada disana. Sebagian tubuh Cassie basah terkena tumpahan champagne.

Sang pelayan bergetar ketakutan, ia segera memohon maaf kepada Cassie. "Tidak apa-apa." Ucap Cassie dengan lembut sembari menyentuh pundak sang pelayan, berusaha menenangkan pelayan itu.

Leo sudah akan mengamuk melihat kecerobohan sang pelayan yang direkayasa oleh Cassie. Namun, dengan segera Cassie menenangkannya. Ia mengusap lengan kekar Leo dan menatapnya dengan lembut, "Tak apa. Aku yang salah tidak berjalan dengan hati-hati." Seketika emosi dalam diri Leo mereda, Ana terbangun dari duduknya. Ia segera menghampiri Leo dan Cassie yang tengah menjadi pusat perhatian.

"Astaga! Apakah kau baik-baik saja?" ucapnya dengan khawatir.

"Aku sungguh baik-baik saja, Ana. Aku akan pergi ke kamar mandu sebentar untuk membersihkan ini." Cassie menenangkan sahabatnya itu yang terlihat sangat panik melihat keadaannya.

Setelah Cassie menenangkan Leo dan Ana, perhatian di ruangan mulai beralih kembali ke acara. Namun, Ana masih merasa khawatir dan enggan membiarkan Cassie pergi sendiri ke kamar mandi. "Aku akan menemanimu," katanya dengan tegas.

Leo, yang masih merasa bertanggung jawab atas keselamatan Cassie, segera berkata, "Aku yang akan menemaninya. Nona bisa tetap di sini."

Ana tidak setuju. "Leo, Cassie adalah sahabatku, biarkan aku yang menemaninya kali ini. Kau juga perlu kembali ke Miguel dan rekan-rekannya."

Leo tampak ragu, namun Ana tak memberinya kesempatan untuk menolak. "Tenang saja, aku akan menjaga Cassie dengan baik," kata Ana, sambil menatap Leo dengan meyakinkan.

Leo akhirnya menyerah, menyadari bahwa Ana benar. "Baiklah," katanya sambil menghela napas.

Ana mengangguk dan memegang tangan Cassie dengan lembut. "Ayo, kita ke kamar mandi," ajaknya.

Cassie merasa sedikit lega. Dia tahu bahwa dengan Ana yang menemaninya, dia punya sedikit waktu untuk merencanakan langkah berikutnya. Dengan perasaan campur aduk, dia berjalan bersama Ana menuju kamar mandi, berharap bisa menemukan cara untuk berbicara dengan keluarganya tanpa menarik perhatian Leo.

Di dalam kamar mandi, Cassie memanfaatkan momen kebersamaan dengan Ana untuk membuka percakapan yang telah lama ia pendam. Sambil membersihkan sisa-sisa champagne dari gaunnya, Cassie menatap Ana dengan penuh tekad. "Ana, aku ingin berbicara serius." katanya dengan suara rendah namun mendesak.

Ana, yang sedang memperbaiki riasannya di depan cermin, menoleh dengan cemas. "Apa yang terjadi, Cass?"

Cassie menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Aku ingin melarikan diri, dan aku butuh bantuanmu untuk melakukannya. Keluargaku ada di sini, mereka bisa membantu kita keluar dari semua ini."

Ana terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Cassie. "Kita?" tanyanya, matanya membulat. "Kau ingin aku ikut denganmu?"

Cassie mengangguk. "Ya, kita bisa melakukannya bersama. Kau tak perlu tinggal di sini lagi. Kita bisa pergi jauh dari semua ini, bersama keluargaku. Mereka akan membantumu juga."

Ana tampak terguncang oleh ajakan itu. Dia menatap Cassie dengan tatapan ragu, pikirannya berkecamuk. Ia memikirkan tentang Miguel, pria yang telah membuatnya jatuh cinta. Ana tak punya kerabat lagi di dunia ini, semua yang ia punya hanyalah hubungan barunya dengan Miguel dan sedikit harapan akan masa depan yang lebih baik bersama pria itu.

"Aku... aku mengerti apa yang kau rasakan, Cass." kata Ana pelan. "Tapi aku tidak bisa pergi. Aku mencintai Miguel. Aku sudah terlalu jauh terikat dengan kehidupan ini, dan aku tak bisa meninggalkannya. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain dia."

Cassie merasa hatinya tenggelam mendengar jawaban itu. Ia tahu bahwa Ana telah membuat keputusan, dan tidak ada yang bisa ia katakan untuk mengubahnya. "Ana, kau yakin?" tanya Cassie, masih berharap sahabatnya akan berubah pikiran.

Ana mengangguk perlahan, dengan air mata mulai membasahi matanya. "Aku yakin. Aku tidak bisa meninggalkan Miguel, dan aku tidak bisa meninggalkan hidup yang sudah aku bangun di sini. Aku harap kau bisa mengerti."

Cassie hanya bisa mengangguk dengan berat hati. Ia tahu bahwa Ana telah membuat keputusan yang tak bisa diubah. "Aku mengerti," jawab Cassie, suaranya bergetar. "Aku hanya ingin kau bahagia, Ana."

Keduanya saling berpelukan, menyadari bahwa mereka mungkin tidak akan pernah bisa kembali ke masa-masa seperti dulu. Keputusan telah dibuat, dan jalan mereka kini terpisah. Cassie harus mencari cara lain untuk melarikan diri, sendirian, tanpa bantuan sahabat yang ia harapkan bisa menemaninya.


Sorry ya, updatenya lama banget T__T akhir-akhir ini aku lg sibuk banget :)

PrigionieraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang