MUDA DAN MENGGODA (2)

35 0 1
                                    

THIS WORK BELONGS TO BELLADONNATOSSICI (BelladonnaTossici9)

Vote dan komen yang banyak

🔥🔥🔥

ORION'S POV

Aku duduk di kursi besi yang terasa dingin menusuk kulitku. Tubuhku lemas setelah mendapat bogem mentah dari puluhan warga. Hidungku sempat mengeluarkan darah. Aku sudah menabrak penjual nasi goreng yang baru pulang berdagang bernama Pak Rusdianto. Dia meninggal dunia. Aku tahu itu salahku. Tapi itu juga salah pemerintah karena lalai memasang lampu penerang jalan. Hei, ke mana uang pajakku dibawa kabur pejabat yang terhormat itu. Sekarang mereka dengan tidak tahu malunya malah mau menaikkan PPN jadi 12%. Padahal dengan setoran pajak yang sekarang saja, aku tidak merasa mendapatkan apa-apa sebagai timbal balik. Ah, sial. Aku terancam masuk penjara.

Pintu ruangan itu terbuka dengan suara berderit pelan. Seseorang berlari kecil menuju ruang tempatku diinterogasi-Indira. Aku mengenal wajahnya begitu baik. Indira, istri kakakku Zuben, yang juga menjadi orang yang selalu ada untukku, bahkan ketika aku merasa seluruh dunia menolak keberadaanku.
Indira, dengan langkah cepat dan wajah serius, masuk ke dalam ruangan. Di sampingnya, ada beberapa orang yang mengerumuni meja, termasuk Susanti, istri almarhum Pak Rusdianto yang tak henti meneteskan air mata. Wajahnya penuh kemarahan, jelas terlihat bahwa rasa sakit itu belum bisa hilang. Beberapa warga yang ikut menggebuki aku juga ada di sana. Mereka masih tampak marah dan kecewa.

Indira menghentikan langkahnya tepat di depan meja polisi, menatap Bripka Eko yang duduk di sana dengan serius. Aku hanya bisa menunduk, merasa malu pada diriku sendiri.

"Bripka Eko, selamat malam. Saya Indira Pramila, kakak ipar Orion Dreze." Indira memperkenalkan diri.

Bripka Eko menatap Indira dengan sikap yang sedikit kaku. "Kita sedang memproses kasus ini, Bu Indira. Ini bukan perkara kecil. Bapak Rusdianto ditbrak oleh Orion sampai meninggal, dan kita harus memprosesnya sesuai dengan prosedur hukum."

"Saya nggak sengaja, Pak. Lagipula jalanannya gelap," kataku membela diri.

"Diam kamu!" bentak seorang bapak berkumis yang tadi menggebuki aku.

Indira mengangguk pelan, tapi matanya menatap tajam ke arah Susanti yang kini semakin terisak. "Saya mengerti, Pak Eko. Tapi saya berharap ada jalan lain yang bisa kita tempuh. Saya ingin menyelesaikan ini dengan cara yang lebih baik, dengan cara kekeluargaan yang bisa memberi keadilan bagi almarhum dan keluarganya."

Susanti, yang sejak tadi menangis, menyela dengan suara serak. "Keputusan itu harus adil, Bu. Suami saya sudah meninggal, meninggalkan saya dengan anak-anak yang harus saya hidupi sendirian! Saya nggak bekerja, anak ada lima. Gimana nasib kami?"

Indira menatap Susanti dengan empati. "Bu, saya mengerti rasa sakit yang Ibu rasakan. Tidak ada yang bisa menggantikan nyawa almarhum Pak Rusdianto. Tapi izinkan saya untuk menawarkan solusi yang mungkin bisa mengurangi beban Ibu dan keluarga."

Aku menatap Indira dengan penuh kebingungan. Apa yang sedang dia rencanakan?

Bripka Eko mengangkat alisnya. "Apa maksud Ibu? Kami di sini menjalankan hukum, bukan memberi jalan pintas."

Indira tidak mundur. "Begini, Pak Eko. Saya ingin menawarkan kompensasi kepada keluarga almarhum. Sejumlah uang yang dapat membantu meringankan beban mereka sebagai bentuk tanggung jawab saya sebagai kakak ipar pelaku."

Susanti menatap Indira dengan mata penuh kebingungan. "Ibu pikir suami saya itu kucing yang nyawanya bisa dihargai dengan uang?"

"Mohon maaf, tapi tadi Ibu bilang punya lima anak. Pasti butuh biaya kan? Bagaimana kalau saya berikan santunan sebesar 50 juta rupiah?" Indira menawarkan.

THE WWG HOLIDAY PROJECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang