BAB 21: Proses Kehidupan

286 59 202
                                    

200 komentar untuk lanjut chapter berikutnya ya!

Semangat spam komennya guys! Bebas mau ngespam apa aja. Mau emot, komentar lain tentang dialog, atau apapun itu.

Bagian yang tidak tertarik dengan cerita ini bisa langsung diskip ya. Tidak memberatkan siapapun

Jadilah pembaca yang bertanggung jawab. Jangan jadi silent readers ya sayangku. Vote dan commentnya jangan lupa

Happy Reading

***

SEORANG laki-laki berbalut setelan jas berwarna hitam, rambut acak-acakan, ditambah dengan wajahnya yang pucat melongo tepat di tengah-tengah pintu ruangan Radith. Pendengarannya masih sangat sehat untuk mengangkat pembicaraan di dalam ruangan bosnya itu.

Tak disangka-sangka, suara berat milik Malik keluar dengan teriakannya. Terdengar sangat dramatis. Apalagi ekspresinya yang mendukung seperti pemain film yang sedang tersakiti.

"Apa-apaan nih?!"

"Kalau masuk tuh ketuk pintu dulu kata pak bos, Lik!"

Malik mengabaikan perkataan perempuan yang beberapa waktu ini dekat dengannya lebih dari teman. Tepatnya, perempuan yang terlibat hubungan tanpa status dengannya. Ia mengangkat tangannya cepat untuk menjewer telinga Clara.

"Ngomong apaan lo sama bos tadi?" tanya Malilk penuh selidik. Sebenarnya tanpa pengulangan dari Clara pun ia tahu apa yang dikatakan perempuan itu kepada atasan mereka yang kaku tersebut. Pertanyaan itu ditujukan untuk mengetes kejujuran perempuan aneh yang sialnya ia sukai tersebut.

Clara terkekeh pelan  dan dengan santainya merangkul Malik. Tubuh tinggi Malik membuatnya harus berjinjit untuk benar-benar bisa merangkul bahu lebar milik laki-laki itu. "Gue cuman nanya ke bos. Pertanyaan simple yang jawabannya sebenarnya juga simple kalau gak dipikir," jawabnya santai.

"Nanya apaan lo? Ulang lagi pertanyaan lo di depan gue sini."

Malik bersidekap dada memandang tajam Clara. Memang perempuan aneh itu tampaknya tidak ada takut-takutnya. Bertanya sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan saja dirinya sudah berdebar-debar melihat wajah Radith. Bukan sebuah debaran jatuh cinta. Malik masih tetap pria normal yang menyukai lawan jenis.

Sekalipun paras atasannya itu seperti aktor-aktor barat, tetap saja dia masih tetap menyukai perempuan. Selagi ada perempuan di dunia ini, maka dirinya akan tetap menyukai perempuan.

"Nanya bos mau nikah sama gue gak."

"Istighfar bego!" Malik dengan cepat menjewer kembali telinga Clara yang sebelumnya sudah ia lepaskan secara perlahan. "Gak abis pikir gue sama lo. Udah tau jawabannya pasti enggak!"

"Namanya usaha, Lik."

"Usaha mata lo ijo!"

Pertengkaran keduanya itu seakan tak memerdulikan manusia lain yang masih duduk tenang sembari menyenderkan punggungnya di kursi. Radith hanya mampu menghela nafas pelan. Otaknya mulai membayangkan bagaimana jika suatu saat kedua orang di depannya itu benar-benar melangkah ke jenjang yang lebih serius. Terikat dalam suatu hubungan pernikahan dan menjadi suami-istri.

Sekelebat bayangan mengenai rumah yang porak-poranda muncul di kepalanya. Dalam status hubungan yang tidak jelas saja bawahannya itu setiap harinya terus-terusan bertengkak tengking. Pertengkaran Malik dan Clara itu hanya di mulai dari hal kecil yang kemudian menjadi besar.

Manusia penuh drama dan kehebohan seperti keduanya tak mungkin menghadapi masalah dengan sabar. Seakan-akan prinsip 'kalau bisa emosi, kenapa harus sabar' ditrerapkan dalam kehidupan keduanya.

Niskala Renjana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang