Jarang sekali dalam hidupku aku terbangun sepagi ini. Aku memang sudah merencanakan sesuatu bersama Aska tadi malam. Aku akan menemui Alika, aku merasa tertantang dengan apa yang dikatakan Alika lewat SMS.
Saat itu, waktu menunjukkan jam setengah lima pagi. Aku dan Aska bersiap-siap untuk menuju Rumah Alika tanpa sepengetahuan Ibu yang sedang shalat shubuh di kamarnya. Aku pergi sepagi itu karena aku tahu Alika akan mencoba untuk menghindar dariku.
Jalanan masih sangat sepi, hanya ada beberapa kendaraan saja membawa barang-barang yang mungkin untuk dijual di Pasar. Dingin di pagi itu sangat menusuk meski aku sudah memakai pakaian berlapis. Tapi hal sekecil itu tak akan pernah membuatku mengurungkan niatku untuk bertemu Alika. Aska terlihat masih sangat mengantuk, tapi hanya Aska yang selalu ada saat aku membutuhkan bantuan seperti sekarang. Aska tak pernah menolak saat aku meminta pertolongan apapun.
Setibanya di dekat rumah Alika, aku mencari tempat untukku bersembunyi, agar Alika tak tahu bahwa aku akan mengikutinya kemanapun Alika pergi.
Keadaan di sekitar rumah Alika masih sangat sepi, meskipun mentari mulai menampakkan dirinya. Aku sempat mengira bahwa tak ada orang satupun di rumah Alika. Tak lama setelah itu, aku melihat lampu di teras rumah Alika dimatikan. Berarti sudah pasti ada orang di rumah itu.
Aku dan Aska sudah hampir dua jam menunggu Alika keluar dari rumahnya.
"Nggak ada kali, kalau dia kerja pasti jam segini udah berangkat." Kata Aska.
"Kalau sampai jam sembilan belum keluar, kita pulang." Kataku meminta Aska menunggu.
Aku mencoba untuk lebih sabar menunggu Alika keluar dari rumahnya, mungkin ia akan pergi ke tempat kerjanya lebih siang. Atau mungkin juga dia meliburkan diri.
Tak lama kemudian, aku melihat seseorang mengeluarkan sebuah motor dari garasi rumah Alika. Aku mencoba menajamkan pandanganku, dan ternyata itu Alika.
Senang sekali bisa bertemu Alika, tapi aku tak berniat menghampirinya disini, aku akan mencari tahu kemana ia akan pergi, karena hari ini Alika tidak memakai seragam kerjanya.
Alika sudah keluar dari rumahnya dengan mengendarai motor matic. Aku meminta Aska untuk segera bersiap-siap membuntuti Alika, jangan sampai kehilangan jejak.
Kali ini aku tidak memakai motorku, aku tak mau kembali gagal seperti kemarin, aku tak mau Alika tahu aku membuntutinya lagi. Aku dan Aska memakai masker agar tak ada yang mengenali kita.
Aku terus menjaga jarak dengan motor Alika. Cara Alika mengendarai motor sangat santai sekali, pelan dan tak sekalipun menyalip kendaraan lain. Membuat aku semakin penasaran kemana sebenarnya Alika akan pergi hari ini.
"Lelet banget Al." Kata Aska.
"Iyalah, cewek." Kataku.
Aku sudah tak sabar untuk mengetahui kemana sebenarnya tujuan Alika. Karena dari jalur yang Alika lewati sudah dipastikan bukan menuju tempat kerjanya.
Saat itu, Alika masuk ke kawasan Bandara Hussein Sastranegara. Membuatku semakin bertanya-tanya. Alika memarkirkan motornya, sedangkan aku meminta Aska mencari tempat parkir yang agak jauh dari Alika. Aska pergi dengan motornya mencari tempat parkir. Aku tetap mengawasi Alika agar tidak hilang dari pandanganku di tengah keramaian. Alika mulai berjalan, aku terus mengikutinya, tanpa menunggu Aska.
Alika sangat sibuk dengan handphonenya. Sekarang aku mulai tahu bahwa Alika kesini untuk menjemput seseorang. Tapi yang jadi pertanyaanku sekarang, siapa yang Alika jemput?
Lalu Alika masuk ke sebuah cafe kecil tak jauh dari pintu masuk Bandara. Aku merasakan handphoneku bergetar, aku tak membukanya, aku tak mau kehilangan Alika.
Saat Alika duduk di cafe itu, aku membuka handphoneku yang dari tadi bergetar, ternyata telpon dari Aska.
"Dimana Al?" Tanya Aska.
"Cafe deket pintu masuk. Cepet kesini."
"Siap." Kata Aska lalu menutup telponnya.
Tadinya aku berniat untuk menghampiri Alika, tapi sepertinya aku harus menunggu Aska terlebih dahulu.
Tak lama, Aska pun datang.
"Mana Alika?" Tanya Aska.
"Tuh." Kataku mengarahkan mataku pada Alika.
"Lagi ngapain?" Tanya Aska lagi.
"Lagi nunggu seseorang kayanya."
"Siapa?"
"Nggak tahu."
Aku melihat Alika sedang berbicara dengan seseorang lewat telpon. Mungkin Alika sedang menelpon orang yang akan dijemput Alika.
"Samperin jangan ya?" Kutanya Aska.
"Samperin aja, mumpung dia masih nunggu." Kata Aska.
"Iya deh, kamu tunggu disini."
Aku tak berpikir panjang lagi, aku segera menghampiri Alika, aku tak peduli apapun yang akan terjadi nanti, yang penting aku sudah membuktikan bahwa aku bisa berjumpa dengannya hari ini.
"Hey." Kusapa Alika yang baru saja menutup telpon.
"Eh, hey." Alika terlihat kaget melihatku berada disitu.
"Boleh duduk?" Kutanya.
"Silakan." Kata Alika ramah.
Detak jantungku berdebar kencang, ini adalah pertama kalinya aku berbicara empat mata dengan Alika. Tapi aku merasa aneh mengapa Alika bisa seramah itu? Mengapa Alika tidak merasa risih dengan kehadiranku? Bukankah Alika belum kenal aku lebih banyak? Pastinya aku masih sangat asing di mata Alika, tapi Alika terlihat sangat santai.
"Mau makan?" Tanya Alika. "Kalau mau aku pesenin."
"Oh, nggak. Makasih." Kujawab.
Alika terus sibuk dengan handphonenya.
"Kamu nggak ngerasa keganggu ada aku disini?" Kutanya Alika.
"Nggak, biasa aja." Jawab Alika singkat.
"Aku kan masih bisa disebut orang asing, kamu belum kenal aku, kalau aku berbuat jahat sama kamu, ngga takut emang?"
"Aku tahu kamu kok, aku nggak takut. Lagian Tuhan bareng aku terus." Kata Alika.
"Tahu aku gimana emang?"
"Kamu satu sekolah sama aku, dua tahun dibawah aku, kamu tukang bikin masalah di sekolah, kamu di cap nakal, kamu anak geng motor, dan banyak deh." Kata Alika.
Aku kaget, mengapa Alika tiba-tiba tahu lebih banyak tentang aku? Aku merasa tak mungkin jika Alika mencari tahu tentang aku? Jika Alika tak mencari tahu tentang aku, lalu mengapa Alika tahu? Siapa yang memberi tahu tentang aku pada Alika? Tak mungkin Aska.
"Kata siapa?" Kutanya Alika.
"Kamu itu terkenal." Kata Alika. "Tapi kamu terkenal karena kenakalan kamu, jadi jangan ngerasa bangga."
"Aku nggak ngerasa bangga."
"Bagus deh." Alika mulai terlihat jutek.
"Kamu ngerasa nggak nyaman deket aku? Kan katanya aku anak nakal, anak geng motor."
"Biasa aja."
"Kalau aku suka sama kamu boleh?" Kutanya Alika.
"Hak kamu, silakan. Asal kamu kuat aja." Kata Alika.
"Siap." Aku merasa tertantang.
Saat itu handphone Alika berdering, Alika berjalan menjauh dariku untuk menjawab telpon itu.
Lalu Alika kembali menghampiriku.
"Ada yang mau kamu omongin lagi nggak?" Tanya Alika.
"Nggak." Aku berdiri. "Kemarin kamu bilang ke aku buat nggak kecewa hari ini. Aku buktiin ke kamu aku bisa ketemu kamu hari ini, aku nggak kecewa sama hari ini." Kataku. Alika tersenyum.
"Yakin nggak kecewa?" Tanya Alika.
"Aku yakin."
"Lagian kecewa yang aku maksud itu bukan tentang kamu bisa ketemu aku."
"Terus apa?" Tanyaku.
"Tuh." Alika menunjuk seseorang dengan pandangan matanya, Alika menunjuk lelaki berbadan tegap, berotot, tapi tak lebih tinggi dari aku. "Dia pacar aku."
"Aku nggak takut." Kataku.
"Kamu silakan pulang ya, aku nggak mau dia tahu ada kamu disini." Kata Alika.
Aku menatap Alika tanpa menjawab apapun. Lalu aku pun pergi tanpa pamit pada Alika. Iya, aku memang kecewa pada hari ini. Aku memang baru tahu bahwa Alika sudah memiliki pacar. Bagiku, ini akan menjadi awal perjuanganku yang sesungguhnya. Siapapun pacarnya Alika, bersiaplah, aku bergabung.
Lalu aku mengajak Aska untuk segera keluar. Aku tak langsung pulang, aku mencari warung kecil untuk membeli minuman sambil menceritakan pada Aska tentang apa yang terjadi barusan.
"Gimana barusan?" Tanya Aska.
"Pacarnya Lat. Serem." Kujawab.
"Serem gimana?"
"Badannya gede."
"Masa anak geng motor takut." Kata Aska.
"Takut sih nggak, ngelawan orang kaya gitu harus pake cara lah Lat." Kataku.
"Gimana?"
"Lihat aja nanti."
"Iya deh, jadi Alika kesini tuh jemput cowoknya?" Tanya Aska.
"Iya." Kujawab singkat.
"Emang dari mana sih cowoknya? Sampai dijemput segala."
"Aku nggak tahu. Dari penampilannya sih kaya tentara. Kayanya pulang tugas."
"Wah berat tuh." Kata Aska.
"Justru itu, aku malah ngerasa ditantang Lat. Lihat aja nanti siapa juaranya." Kataku optimis.
Setelah cukup menghapus lelah, aku dan Aska segera pulang ke rumah. Aku tak mau Ibu tahu bahwa aku pergi tanpa izin.
Sesampainya di rumah, aku masih terus teringat tentang apa yang terjadi tadi. Alika seperti sengaja memperlihatkan pacarnya kepadaku agar aku berhenti mendekatinya. Tapi cara Alika sangatlah salah, itu malah membuat aku semakin bersemangat. Apapun yang Alika lakukan tak akan membuat aku menyerah untuk mendapatkannya, walaupun Alika memaksaku untuk berhenti mendekatinya, itu tak akan pernah aku lakukan. Lihat saja nanti, Alika akan segera tahu kepada siapa Alika jatuh cinta.
Aku membuka handphoneku untuk mengirim pesan pada Alika.
"Dia pacarmu? Oke juga. Dia serius sama kamu? Bilang sama dia, usahanya akan berat karena ada aku, bahkan mungkin perjuangannya akan sia-sia."
Hari ini, suasana hatiku sedang berapi-api, aku anggap permainan sudah dimulai. Aku suka Alika, aku mulai sayang pada Alika, aku akan segera mendapatkannya, jangan pernah ada yang ganggu dia.
"Alika, terimakasih sudah menunjukkan padaku orang yang kamu sebut pacar itu. Aku jadi memiliki gambaran seperti apa sainganku untuk memiliki kamu. Silakan tembakan satu peluru ke langit, sebagai tanda permainan dimulai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Melepas Cinta
RomanceAku cinta dia, dan aku tahu dia punya rasa yang sama. Dia lebih dari sekedar berarti bagiku, dia bagian penting di hidupku. Disaat Tuhan izinkan aku dan dia bersama. Ada sesuatu yang tak bisa dia lawan, hingga akhirnya membuat dia pergi dari hidupku...