Tukang Cukur Amatir

1.1K 17 0
                                    

Sinar mentari yang menyelinap masuk ke kamarku membuatku terbangun di pagi itu. Orang pertama yang ku ingat saat bangun tidur adalah Alika, karena setiap aku terbangun aku bisa langsung melihat fotonya yang kupajang di kamarku. Aku memandang foto-foto Alika cukup lama, membuatku tersenyum-senyum sendiri. Aku tak pernah terbangun tidur dalam keadaan sebahagia ini.
Saat aku mau ke kamar mandi, aku melihat ada selembar kertas terlipat di atas mejaku. aku langsung membukanya, karena aku tak merasa menyimpan kertas itu semalam. Ternyata itu tulisan Alika, isi suratnya adalah:
"Selamat pagi sayang, maaf sebelumnya, aku pengen kamu bisa tampil lebih rapi, kemarin kamu nggak nurut, malah nantang. Aku udah izin sama Ibu. Maaf kalau caraku memotong rambut sangat buruk, karena ini pertama kalinya buat aku, aku masih amatir. Kalau mau benerin rambut ke tempatnya, nanti aku antar. Aku sayang kamu."
Saat itu juga aku langsung memegang rambutku. Astaga, aku baru sadar bahwa rambut poniku sudah hilang. Lalu aku berlari ke arah cerrmin. Aku melihat diriku sangat berantakan, entah model rambut macam apa ini. Aku langsung kesal pada Alika, sangat kesal. Mengapa Alika bisa setega ini padaku? Bagiku, rambut itu adalah mahkotanya para lelaki, dan Alika merusaknya pagi ini.
Aku lansgung mencari Ibu di bawah, saat itu Ibu sedang menyirami tanaman di halaman rumah.
"Ibuuuu, rambutku." Kataku kesal.
"Hahaha, bagusan kaya gitu." Ibu tertawa.
"Siapa yang ngelakuin ini sih?"
"Pacar kamu tuh." Kata Ibu.
"Kenapa Ibu izinin dia sih?" Tanyaku masih kesal."
"Kan Ibu udah nyuruh kamu potong rambut juga dari kemarin. Nggak nurut sama Ibu, sama Alika juga nggak nurut." Kata Ibu.
"Tapi jangan gini juga kan." Kataku. Aku kembali ke kamarku.
Aku menatap diriku lagi didepan cermin. Aku merasa kesal, tapi aku tak pernah berani marah pada Alika. Sepertinya aku tidur terlalu nyenyak, sampai aku tak bisa merasakan bahwa Alika memotong rambutku saat aku sedang tertidur.
Saat itu, Aska baru saja datang ke rumahku, dan langsung masuk ke kamarku. Dia merasa ada yang aneh denganku. Saat Aska menyadari rambutku yang berantakan, Aska tertawa dengan sangat puas.
"Hahaha, rambut kamu bagus." Kata Aska terus tertawa.
"Jangan ketawa lah." Kataku kesal.
"Kamu potong rambut dimana?" Tanya Aska.
"Tuh baca." Kataku meminta Aska membaca tulisan Alika.
Lalu Aska membaca tulisan Alika, dia tertawa sangat puas sambil membaca tulisan itu.
"Oh, udah jadian?" Tanya Aska.
"Udah."
"Kapan?"
"Kemarin."
"Oh, haha. Selamat ya buat pacar barunya, selamat juga buat rambut barunya." Aska meledekku.
"Ah!" Aku kesal lalu melempar Aska dengan sisir, Aska berlari keluar dari kamarku lalu menutup pintunya. Aska masih menertawakanku diluar.
Pada saat itu aku meminta Aska mengantarku ke tempat potong rambut yang tak jauh dari rumah. Tak lupa aku memakai topi saat menuju kesana.
Setibanya di tempat potong rambut. Kang Deni, tukang cukur yang memang sudah kenal denganku menertawakan aku.
"Al, cukur dimana kamu? " Tanya Kang Deni tertawa.
"Dijahilin Kang, langsung ah benerin." Aku langsung meminta Kang Deni untuk segera merapikan rambutku.
Saat aku melihat setiap helaian rambutku yang jatuh ke lantai, ingin sekali aku meneriaki Alika. Alika sudah berbuat jahat padaku hari ini.
Setelah kurasa cukup rapi, aku langsung menemui Alika di tempat kerjanya. Aku memacu motorku dengan cepat karena sudah hampir tiba jam istirahatnya Alika.
Aku mencari Alika ke Kantin Pak Yudi. Alika disana bersama Rani. Lalu aku dan Aska menghampirinya.
"Hey, cakep banget hari ini." Kata Alika, dari nada bicaranya sangat polos, tak merasa berbuat salah sedikitpun.
Aku hanya diam, cemberut, tak menjawab apapun. Sedangkan kulihat Aska sedang tertawa membelakangiku.
"Kenapa diem aja sayang?" Tanya Alika.
"Kamu tega." Kataku.
"Tega kenapa?"
"Kenapa sih? Baru jadian kok udah berantem lagi?" Tanya Rani.
"Lihat rambut barunya, cakep kan pacarku?" Kata Alika memegang rambutku.
"Oh, haha iya. Aku baru sadar." Kata Rani tertawa. "Terus kenapa ngambek?" Tanya Rani.
"Siapa yang nggak marah, bangun tidur terus ngaca rambut udah kaya sapu, berantakan." Kataku kesal.
"Hahaha, maaf deh, kan kemarin aku bilang, jangan sampai nyesel. Kamu malah nantang." Kata Alika.
Aku tetap diam, cemberut, tak mau menatap Alika, aku masih kesal dengan apa yang Alika lakukan.
"Kalau kamu masih marah, berarti kamu lebih rela kehilangan aku daripada rambut kamu." Kata Alika tersenyum.
Aku langsung menatap Alika, tentu saja aku tak mau kehilangan Alika, lebih baik aku kehilangan apapun yang ada pada diriku, asal jangan kehilangan Alika.
"Nggak mau." Kataku.
"Terus kenapa kamu masih marah?"
"Bete aja."
Alika menatapku, seakan menggodaku untuk tersenyum, aku menahan diri untuk tidak tersenyum. Aku mencoba mengalihkan pandanganku, tapi Alika mengarahkan wajahku agar aku menatapnya.
"Iya, udah nggak marah." Kataku meski aku masih kesal.
"Senyum dong."
Akupun mencoba untuk tersenyum, meski sangat terpaksa.
"Jadi iri deh lihat kalian." Kata Rani.
"Lat, itu kode." Kataku pada Aska.
"Ih, kenapa jadi ke dia?" Kata Rani.
. "Sama-sama sendiri, kenapa nggak coba?" Kataku.
"Hehe, iya, kenapa nggak kita coba aja." Kata Aska. Aku dan Alika tertawa. Dan aku melihat wajah Rani yang langsung memerah dan gugup.
"Ciye, Aska sama Rani." Kata Alika lalu manyandarkan kepalanya di bahuku.
"Udah ah, bahas yang lain." Kata Rani malu.
"Kenapa malu-malu gitu?" Aska semakin berani merayu Rani. Sepertinya Aska sudah bosan terus menyendiri.
Rasa kesalku perlahan hilang, Alika selalu bisa membuatku tersenyum tanpa mengucapkan kata-kata apapun. Alika bisa sekejap merubah keadaan.
Aku akan merelakan apapun selama itu membuat Alika tersenyum, bahagia. Tak apa aku kehilangan rambutku hari ini, esok Alika akan melakukan apa? Aku relakan. Aku menyayangi Alika.
Aku pamit pulang pada Alika dan Rani, karena pada saat jam istirahatnya hampir habis.
"Pulangnya mau dijemput nggak?" Kutanya Alika.
"Aku bareng Rani aja." Jawab Alika.
"Iya deh, aku pulang ya." Kataku pamit.
"Maafin ya soal rambutnya, aku lebih suka penampilan kamu yang sekarang, jadi kelihatan lebih dewasa."
"Iya, aku relain aja. Tapi kalau relain kamu, aku nggak akan pernah mau." Kataku.
"Haha, Iya. Sini cium tangan dulu." Lalu Alika menggapai tangan kananku lalu menciumnya. Aku merasa sudah menjadi suami istri. "Kalau jatuh, pura-pura...."
"Push up." Kataku memotong.
"Nah, pinter."
"Assalamualaikum."
"Alaikumsalam."
Aku pun pulang. Di perjalanan pulang, Aska meminta nomor handphone Rani kepadaku. Aku kira tadi dia becanda, ternyata Aska memang suka pada Rani. Syukurlah, akhirnya kulihat dia punya rasa tertarik pada wanita.
Datang dengan keadaan kesal, pulang dengan keadaan senang. Begitulah Alika, paling pintar untuk membuatku senang. Padahal, Alika tak berbuat banyak, tapi hanya dengan bertemu dengannya saja bisa langsung membuat aku bahagia, Alika adalah alasan dibalik kebahagiaanku.
"Alika, kalau mau potong rambut orang, belajarlah dulu, dasar amatir. Tapi aku sayang kamu, selalu."

Melepas CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang