Sepertinya, gitarku akan menjadi pemanis malam mingguku kali ini. Disaat aku belum bisa menyentuh tangan lembut Alika, setidaknya gitarku bisa ku sentuh dengan leluasa.
Dulu, setiap malam minggu aku tak pernah absen unutk berkumpul dengan geng motorku. Tapi, semenjak Alika melarangku, entah kenapa dengan senang hati aku menurutinya. Karena aku berpikir bahwa yang Alika minta bisa membawaku menjadi orang yang lebih baik. Saat aku memutuskan untuk menjauh dari geng motor, Aska mengikuti apa yang aku lakukan. Aska selalu di belakangku, saat aku melakukan kebaikan ataupun sebaliknya.
Malam ini, aku dan Aska tak akan pergi kemana-mana, Aska dan aku akan menghabiskan malam ditemani dua gitar, beberapa cemilan, minuman hangat dan masih banyak lagi, meski akan sebenarnya masih ada yang kurang.
"Alika lagi ngapain ya?" Tanpa kusadari aku bertanya hal itu sambil menatap foto Alika di dinding kamarku. Aku rindu Alika, dia tak mengirim satupun pesan sejak tadi sore. Terakhir, Alika bilang dia tidak akan pergi kemana-mana karena ada banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan.
"Dia lagi mancing belut di sawah belakang rumahnya." Canda Aska.
"Ah, gila kamu. Kalo iya dia lagi mancing belut pasti aku larang, nanti tangan lembutnya rusak." Kataku.
"Emang pernah pegang?"
"Belum sih, segera." Kataku dengan mata yang masih memandang foto Alika. "Kamu bosen nggak?" Kutanya Aska.
"Nggak terlalu, kenapa emang?"
"Ke rumah Alika yuk." Ajakku.
"Ngapain?" Tanya Aska.
"Pengen aja, sambil jalan-jalan. Nggak lama kok." Kataku.
"Oke deh." Kata Aska menerima ajakanku.
Aku dan Aska segera menuju ke rumah Alika memakai motor berisikku. Di perjalanan aku melihat banyak muda-mudi yang sedang melampiaskan rindu pada pasangannya masing-masing yang seketika membuat aku membayangkan bahwa pasangan-pasangan itu adalah aku dan Alika. Aku sangat ingin merasakan dipeluk Alika di motor sambil menikmati indahnya kota bandung di malam hari. Di perjalanan, tak lupa aku membeli beberapa cemilan untuk ku santap bersama Aska dan Alika disana.
Setelah aku tiba di gerbang komplek rumah Alika, seperti biasa aku meminta Aska untuk memberhentikan motor beberapa meter dari rumah Alika, aku harus memeriksa keadaan di rumah Alika.
Aku berjalan menuju rumah Alika, Aska menunggu di motor. Aku mengintip ke arah rumah Alika lewat sela-sela pagar rumahnya. Tak lupa akupun memeriksa keadaan sekitar agar tak disangka sebagai maling.
Aku melihat ada satu mobil dan satu motor terparkir di halaman rumahnya, aku tahu mobil itu adalah milik teman kerjanya Alika, tapi aku tak mengetahui siapa pemilik motor itu. Lalu aku mengalihkan pengamatanku ke arah teras rumah, aku bisa melihat Alika yang sedang berbincang dengan seseorang berseragam tentara. Aku ingat wajah tentara itu, aku pernah melihat fotonya di handphone Alika, tentara itu adalah pacarnya Alika. Aku terus memperhatikan apa yang mereka lakukan, mencoba menyimak apa yang sedang mereka bicarakan meski aku tak bisa mendengarnya sedikitpun.
Tiba-tiba Aska menghampiriku.
"Lagi ngapain?" Tanya Aska.
"Ssttt, ada cowoknya." Kataku sambil terus memperhatikan Alika dan pacarnya.
Saat itu, dengan sangat jelas aku melihat lelaki itu menggenggam tangan Alika. Aku kesal, dengan refleks aku memukul pagar yang membuat Alika dan lelaki itu berdiri lalu melihat ke arah pagar yang baru saja aku pukul. Seketika aku dan Aska berlari menuju motor dan secepat kilat meninggalkan rumah Alika.
Diperjalanan aku merasakan kesal yang sangat hebat. Tentu saja aku kesal, baru saja aku membayangkan bagaimana rasanya jika aku bisa menggenggam tangan lembut Alika, tapi malah lelaki lain yang melakukan itu. Aku tahu, lelaki itu adalah pacar Alika, dan dia berhak melakukan itu, dan aku juga tahu aku tak punya hak sedikitpun untuk melarang Alika untuk tidak berpegangan tangan dengan lelaki itu. Aku ingin melepaskan amaraku tapi entah pada siapa. Malam ini aku sangat tak bisa mengendalikan diriku.
Aku tak tahu lagi bagaimana caranya membuat hati dan pikiranku tenang, aku merasa sudah sangat buntu. Bagiku, aku hanya punya satu cara, meskipun itu sangat tak baik.
Aku meminta Aska menepi di sebuah kios yang menjual minuman keras, letaknya tak jauh dari rumah Alika. Meski Aska sempat melarangku, tapi aku juga tahu Aska sangat mengerti perasaanku, Aska hanya sekali mencoba melarangku. Aku ingin menghilangkan rasa risau yang aku rasakan malam ini, meskipun aku tahu hanya sementara.
Aku membeli dua botol minuman keras, lalu aku meminta Aska untuk membawaku ke tempat yang nyaman. Aku dan Aska memutuskan untuk berhenti di depan sebuah ruko yang saat itu sudah tutup, suasananya sangat sepi dan cukup kondusif.
"Temenin ya, aku galau." Pintaku pada Aska. Aska hanya fokus pada handphonenya, aku anggap saja Aska menerima permintaanku.
Aku mulai membuka botol minuman itu. Aku sempat teringat janjiku pada diri sendiri untuk berhenti dari semua kenakalanku, tapi aku meminta pengertiannya atas apa yang aku rasakan saat ini. Siapapun yang tahu tentang ini, aku harap kalian bisa mengerti bagaimana yang aku rasakan saat itu. Jangan di contoh, ini salah satu kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan selama hidupku.
Aku menenggak minuman itu bergantian dengan Aska, aku menenggelamkan diriku kembali menuju keburukanku. Aku mulai merasakan pusing yang hebat, tak terasa aku dan Aska sudah menghabiskan dua botol minuman keras, tapi saat itu aku masih belum merasa puas, aku meminta Aska untuk membeli satu botol lagi. Lagi-lagi Aska melarang, tapi Aska tetap saja tak mampu menahanku. Aska mengizinkanku untuk membeli satu botol lagi, tapi Aska tidak akan menemaniku minum lagi, jadi aku akan membeli satu botol lagi hanya untuk diriku sendiri.
Setelah aku membeli satu botol lagi, aku melihat Aska seperti kesal padaku, tapi entah mengapa Aska tak pernah berani marah padaku.
Aku benar-benar menghabiskan botol terakhir itu sendiri. Aku mulai merasa mual, pusing, dan mulai kehilangan kesadaranku. Aku sudah tak bisa mengingat apa yang terjadi selanjutnya, aku bisa tahu bagaimana kelajutannya karena esoknya Aska menceritakan semuanya secara detail.
Jadi, saat aku mulai tak sadarkan diri karena terlalu banyak menenggak minuman keras itu, Aska kebingungan harus berbuat apa. Karena jika Aska membawaku pulang ke rumah, tentu saja Ibu akan marah besar, bukan hanya kepadaku, tapi Aska juga pasti kena.
Aska mencoba meminta bantuan kepada beberapa temanku untuk membawaku ke tempat yang aman. Tapi dari sekian banyak temanku tak ada satupun yang bisa menolongku, karena pada saat itu malam sudah terlalu larut. Tak ada satupun temanku yang bisa keluar di jam seperti itu. Tadinya, Aska berniat meminta bantuan teman-teman di geng motorku yang biasanya masih berkeliaran di jalan meskipun malam sudah larut, tapi Aska urungkan niatnya, karena aku dan Aska sudah sebulan lebih menjauh dari mereka. Jadi Aska tak mau mereka memandangku hanya datang disaat sedang butuh pertolongan saja.
Entah bagaimana cara berpikir Aska saat itu, setelah dia merasa tak bisa meminta tolong kepada siapapun lagi, dia menghubungi Alika melalui handphoneku. Beberapa kali Aska gagal untuk menghubungi Alika, karena mungkin Alika sudah tertidur. Tapi, Aska terus mencoba menghubungi Alika sampai akhirnya Alika menjawab telpon dari Aska.
"Halo, kak?" Aska memang memanggil kakak pada Alika.
"Iya, ada apa telpon semalem ini?"
"Ini Aska, boleh minta tolong nggak?" Tanya Aska pada Alika.
"Oh, Aska. Mau minta tolong apa? Nggak bisa besok lagi?"
"Ini Alvia mabuk parah, nggak bisa bangun, aku bingung harus minta tolong sama siapa lagi." Kata Aska.
"Hah? Serius kamu? Jangan becanda!" Kata Alika.
"Beneran, ngapain juga becanda, lagi panik gini."
"Kamu dimana? Sama siapa?" Tanya Alika.
"Nggak tahu ini jalan apa namanya, aku di depan ruko, pokoknya arah mau ke rumah Alvi, nggak jauh dari rumah kakak. Disini cuma ada aku sama Alvi, makanya aku minta tolong kakak."
"Tunggu, aku kesitu sekarang." Kata Alika.
Tak lama kemudian, Alika datang bersama temannya yang malam itu menginap di rumah Alika, Alika datang menggunakan mobil temannya. Lalu Alika menghampiriku yang tak sadarkan diri di teras ruko itu, tapi temannya tetap duduk di mobil, karena katanya temanya Alika itu sangat takut mendekati orang yang sedang mabuk. Lalu Alika mencoba membangunkanku dengan menampar pipiku pelan, tapi usahanya sangatlah nihil. Lalu Alika menghampiri Aska yang berdiri beberapa meter dariku.
"Dia minum sama siapa?" Tanya Alika.
"Sama...." belum selesai bicara, Alika tiba-tiba menampar Aska karena Alika mencium bau minuman beralkohol dari mulut Aska, membuat Alika tahu bahwa tadi Aska tadi minum denganku.
"Apa-apaan sih kalian? Biar apa kaya gini?" Tanya Alika dengan nada menyentak.
"Dia yang ngajak kak." Kata Aska menunjuk aku yang tertidur.
"Kenapa kamu nggak larang? Malah ikut-ikutan, kalau gitu kamu sama aja." Kata Alika semakin marah. "Sekarang kalau udah kaya gini kamu bisa apa?" Tanya Alika.
"Maaf kak, aku udah coba larang tadi."
"Ah, kamu ini!" Alika tetap saja kesal pada Aska.
Katanya, saat itu Alika melepas jaketnya dan menjadikan alas untukku yang tertidur di teras ruko itu, Alika juga meminta Aska melepas jaketnya untuk menyelimuti badanku agar tak kedinginan. Aku sempat tak percaya Alika melakukan hal seperti itu. Alika mencoba menbangunkanku lagi dengan menyiram air, tapi saat itu aku mabuk parah, aku tak bisa merasakan apapun.
Alika kembali menghampiri Aska setelah kesal dengan usahanya.
"Gimana supaya dia sadar?" Tanya Alika.
"Biasanya sih pake air kelapa, atau minuman asem." Jawab Aska.
"Jam segini nyari dimana?" Tanya Alika sambil melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah dua. "Kamu coba cari deh, kamu nggak terlalu pusing kan?" Pinta Alika.
"Iya siap." Kata Aska. Aska pun mencari apa yang Alika minta dengan menggunakan motorku.
Pada saat itu, Alika menghampiriku lagi, duduk di sampingku, lalu mengangkat kepalaku dan menyandarkan kepalaku di pahanya, dia mengusap kepalaku, membersihkan wajahku, Alika benar-benar menjagaku dalam keadaan seperti itu. Andai aku tersadar saat itu.
Setelah hampir satu jam pergi, Aska kembali tanpa mendapatkan apa yang Alika minta.
"Udah pada tutup, nggak ada yang buka satupun." Kata Aska.
"Terus Alvi gimana?" Tanya Alika.
"Mau nggak mau tunggu sampai dia sadar." Kata Aska.
"Ah, tuh kan." Alika mengeluh. "Kenapa dia mabuk-mabukan lagi sih? Katanya mau berhenti." Tanya Alika kesal.
"Dia galau kak."
"Galau kenapa?"
"Gara-gara kakak."
"Aku? Emang aku ngapain dia?" Tanya Alika heran.
"Biar dia yang cerita deh kalau dia udah bangun, aku takut salah ngomong." Kata Aska.
Waktu terus berlanjut, dengan setianya Alika menjagaku di malam itu, Alika seakan tak peduli jika harus dimarahi Ibunya. Karena setahuku, Alika tak boleh keluar rumah lebih dari jam sepuluh malam. Alika tak menghiraukan temannya yang terus-terusan mengajak Alika untuk pulang.
Aku tahu, Alika sangat tidak suka jika aku mabuk-mabuk seperti dulu lagi, aku kira Alika tak akan peduli apapun yang terjadi.
Ibu menelponku beberapa kali, Aska yang dari tadi memegang handphoneku tak berani menjawab telpon dari Ibuku. Saat Ibu menelponku lagi, Aska menyerahkan handphoneku pada Alika, dan meminta Alika untuk menjawab telponnya.
"Halo, Assalamualaikum." Sapa Alika.
"Alaikumsalam. Ini siapa?" Tanya Ibu.
"Ini Alika , Bu." Jawab Alika.
"Oh, Ibu kira siapa, Alvi mana? Kok dari tadi nggak jawab telpon Ibu?"
"Alvi ada di rumah aku Bu. Motornya mogok, daritadi dia sibuk benerin motornya." Mungkin Alika terpaksa membohongi Ibu.
"Oh, syukur deh kalau ada di rumah kamu, Ibu takut dia ngumpul-ngumpul lagi sama geng motornya." Kata Ibu.
"Nggak kok Bu, dari tadi ada di rumahku."
"Maaf ya kalau anak Ibu ngerepotin."
"Iya nggak apa-apa Bu."
"Ya sudah kalau gitu, terimakasih ya, titip Alvi. Ibu percaya sama kamu. Assalamualaikum."
"Iya Bu sama-sama, Alaikumsalam." Lalu Alika menutup telponnya.
Tak lama setelah adzan shubuh terdengar, aku terbangun dari tidurku meski belum sepenuhnya sadar. Saat aku terbangun, Aku melihat Alika di sampingku, tentu saja aku merasa sangat kaget. Aku langsung mencoba untuk berdiri dan menjauh dari Alika meskipun saat itu badanku sangat lemas sekali.
"Kamu ngapain disini?" Kutanya Alika.
"Kamu yang ngapain disini?" Alika tiba-tiba menamparku. "Udah minum-minumnya? Enak?" Lanjut Alika.
"Udah pacarannya? Enak?" Kutanya Alika. Meskipun dalam keadaan mabuk aku masih bisa ingat apa yang membuatku kesal pada Alika, meskipun aku tak seharusnya begitu.
"Maksud kamu apa?" Aku melihat mata Alika berkaca-kaca dan hampir menangis.
"Ah!" Aku menghindar dari Alika lalu menghampiri Aska. "Ayo pulang Lat." Kataku pada Aska.
Alika mengejarku dan memegang tanganku.
"Kamu jangan pulang naik motor, bahaya. Aku anter kamu pulang." Kata Alika.
"Nggak mau." Kataku, aku terus menghindar dari Alika, bahkan pada saat itu aku tak mau menatapnya. "Ayo maju Lat."
Aku dan Aska pergi dari tempat itu, aku kesal mengapa saat terbangun ada Alika di sampingku.
Saat aku tiba di rumah, aku membuka gerbang dengan sangat perlahan. Aku nggak mau Ibu tahu jika aku pulang dengan keadaan mabuk.
Aku dibuat kaget karena ternyata Alika mengikutiku sampai ke depan rumah.
"Kamu mau apa sih ngikutin aku?" Kutanya Alika dengan suara yang ku pelankan.
"Aku bukan mau ke kamu, aku mau ke Ibu kamu." Kata Alika sambil menekan bel di samp.ing gerbang rumahku.
"Hey, apa-apaan sih!" Kataku kesal.
Lalu Ibu keluar dari rumah karena mendengar suara bel. Lalu Ibu menghampiri aku dan Alika.
"Eh, Alika." Sapa Ibu. Aku langsung masuk ke dalam rumah karena aku tak mau Ibu memarahiku di depan Alika.
Aku mencoba mendengar apa yang dibicarakan Ibu dan Alika. Alika menceritakan apa yang terjadi, dan Alika meminta maaf kepada Ibu karena telah berbohong, tapi Alika juga bilang bahwa Ia terpaksa berbohong karena takut Ibu panik. Tak lama setelah itu Alika pulang. Aku dan Aska sudah bersiap untuk menerima amarah Ibu di kamar.
Aku dan Aska menunggu di kamar, tapi Ibu tak kunjung datang ke kamarku. Ibu memang sudah lelah memarahiku akibat kesalahan yang sama. Sampai jam dua siang Ibu tak menghampiriku dan tak bicara apapun padaku. Ibu tak menyuruhku untuk makan atau apapun.
"Kamu harus minta maaf Al, aku juga mau minta maaf." Aska mengajakku untuk minta maaf pada Ibu.
"Takut Lat." Kataku.
"Berani nakal harus berani tanggung jawab juga dong." Kata Aska.
"Kalau nggak di maafin aku mau pergi, aku numpang dulu di rumah kamu ya."
"Bukannya nggak mau nampung kamu Al, itu malah bikin masalah makin panjang." Kata Aska. Terkadang, Aska bisa terlihat dewasa. "Nggak mungkin Ibu nggak maafin kamu." Lanjut Aska.
Akupun berpikir sejenak, merangkai kata yang bagus untuk membujuk Ibu agar mau menerima maaf dariku.
"Yuk." Kataku.
Akhirnya aku dan Aska memberanikan diri menghampiri Ibu yang tak keluar dari kamarnya sejak tadi pagi. Aku ingin meminta maaf.
Saat aku masuk ke kamar, Ibu sedang menangis sambil membaca Al-Quran. Aku pun duduk di hadapan Ibu, Aska mengikuti di belakangku.
"Bu, aku mau minta maaf." Kataku tertunduk di hadapan Ibu..
Ibu tak menjawab, Ibu terus membaca Al-Quran, Ibu tak memandangku sama sekali. Aku tahu Ibu sangat kecewa kepadaku, dan akupun sadar sebesar apa kesalahan yang kuperbuat, aku sangat menyesali semua yang ku lakukan.
Aku terus membujuk Ibu untuk memaafkanku dan aku berjanji tak akan mengulanginya lagi, aku menangis di hadapan Ibu yang masih tak mau bicara dan memandangku. Aku meminta Aska untuk menunggu di luar saja, karena aku merasa malu jika harus menangis di depan Aska.
Saat aku menangis, akhirnya Ibu mau bicara.
"Ibu capek." Kata Ibu sambil menyimpan Al-Qurannya. "Apa harus Ibu maafin kamu gara-gara kamu kaya gini terus? Mau sampai kapan Al? Ibu nggak tahu lagi harus gimana sama kamu." Aku tak bisa menjawab apapun. Pokoknya, aku menyesal.
Aku terbata tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku bisa membayangkan kesedihan Ibu jika anaknya sendiri melakukan kesalahan yang sangat memalukan dan sangat sering kulakukan.
"Ibu nggak pernah ngajarin nakal sama kamu. Ibu malu, bukan sama orang lain, Ibu malu sama diri Ibu sendiri. Punya anak satu-satunya tapi kenapa gini?" Ibu tak berbicara dengan nada menyentak, au tahu Ibu sudah lelah untuk menegurku.
"Aku minta maaf Bu, aku nggak tahu kenapa aku bisa kaya gitu semalem." Kataku. Aku terus tertunduk dan tak berani memandang mata Ibu.
"Kalau punya masalah harusnya kamu itu shalat, cerita sama Allah, minta jalan keluar, bukan malah mabuk-mabukan gitu." Kata Ibu.
"Iya Bu." Aku tak tahu harus bicara apa lagi.
"Sudah, Ibu bisa aja maafin kamu, sekarang kamu shalat taubat sana, minta maaf sama Allah, jangan diulangi lagi, untuk yang berikutnya, Ibu bener-bener nggak akan maafin kamu."
Ah, sedikit lega rasanya mendengar Ibu mau memaafkanku. Aku memeluk Ibu lalu mencium kedua pipinya. Lalu akupun melaksanakan perintah Ibu untuk melaksanakan shalat taubat, meminta maaf kepada Tuhanku, Allah.
"Maafkan anakmu Bu, tak akan kuulangi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Melepas Cinta
RomanceAku cinta dia, dan aku tahu dia punya rasa yang sama. Dia lebih dari sekedar berarti bagiku, dia bagian penting di hidupku. Disaat Tuhan izinkan aku dan dia bersama. Ada sesuatu yang tak bisa dia lawan, hingga akhirnya membuat dia pergi dari hidupku...