Perpisahan

817 22 0
                                    

Selalu saja begini, saat terbangun dari tidurku, yang pertama kuingat adalah Alika, bukan makan, mandi atau kewajiban-kewajibanku yang lain.
Alika adalah mentari baru untukku,seolah cahayanya selalu menyelinap masuk lewat sela-sela di jendela kamarku untuk membangunkan aku, menjadik.annya alasan mengapa aku terbangun di setiap pagi.
Semakin hari, rasa sayang yang kumiliki untuk Alika semakin nyata, semakin ada, seperti tak mampu lagi ku bendung. Mendengar cerita dari Aska tentang apa yang Alika lakukan padaku saat aku mabuk dan tak sadarkan diri membuat aku bertanya-tanya., mengapa Alika melakukan itu? Mengapa Alika mau menjagaku? Mengapa Alika mau melepas jaketnya untuk menghangatkan badanku? Mengapa Alika mau menemaniku sampai aku terbangun? Aku tahu Alika tak pernah berani keluar rumah lebih dari jam sepuluh malam, apalagi tanpa sepengetahuan Ibunya. Tapi, sekalinya Alika berani melakukan itu, dia melakukannya untuk aku. Aku tak mau terlalu percaya diri, tapi aku merasa bahwa Alika juga menyayangiku. Jika tidak, untuk apa dia lakukan itu. Alika sudah banyak melakukan sesuatu yang aku mau tanpa aku memintanya terlebih dahulu, mungkin sekarang giliranku.
Siang harinya, aku berniat untuk menemui Alika di tempat kerjanya pada jam istirahat, aku sengaja tak memberi tahu Alika aku akan menemuinya, karena aku takut dia masih menyisakan rasa kesalnya padaku, dan aku takut Alika tak belum mau bertemu denganku jika aku mengabarinya terlebih dahulu. Selain itu, aku juga ingin memberinya sedikit kejutan untuk menebus rasa bersalahku kemarin.
Setibanya di kantor Alika, aku langsung mencarinya di Kantin Pak Yudi, karena ini jam istirahatnya. Aku meliihat Alika berada disana bersama teman-temannya, tapi aku tak langsung menghampirinya, aku masuk ke dapur Pak Yudi tanpa sepengetahuan Alika, Aku menghampiri Pak Yudi yang sedang sibuk melayani pesanan.
"Pak, Alika udah makan?" Kutanya Pak Yudi.
"Eh, De. Ini lagi dimasak pesanannya Alika." Kata Pak Yudi sambil menunjuk masakannya.
"Tukar sama ini aja pak, itu biar saya yang makan." Kataku sambil mengeluarkan nasi goreng yang tadi ku buat.
"Haha, masakanmu ini De?" Tanya Pak Yudi.
"Iya Pak, belajar."
"Tapi Alika tahu banget masakan bapak rasanya kaya gimana." Kata Pak Yudi.
"Nggak apa-apa Pak, saya tanggung jawab."
"Ya sudah, boleh saja, saya pindahkan ke piring." Kata Pak Yudi.
"Tapi selagi Alika makan, saya ikut ngumpet disini ya Pak."
"Silakan De."
Pak Yudi mengantarkan pesanan Alika yang sudah ditukar dengan masakanku. Tak lama, Pak Yudi kembali ke dapur sambil senyum-senyum sendiri menatapku. Aku tak sabar menanti bagaimana respon Alika setelah memakan masakanku.
Tak lama setelah itu, aku mendengar suara Alika memanggil Pak Yudi, lalu Pak Yudi menghampirinya. Aku tetap sembunyi di dapur. Saat Pak Yudi kembali ke dapur, Ia membawa makanan yang tak dihabiskan Alika.
"Kok nggak dihabiskan Pak" Kutanya Pak Yudi.
"Kenyang Katanya." Kata Pak Yudi.
Aku tahu sebenarnya Alika bukan merasa kenyang, tapi karena memang masakanku tak enak, tapi Alika tak mau bilang karena tak mau membuat Pak Yudi tersinggung.
Aku melihat Alika masih duduk disana bersama teman-temannya, aku menghampirinya.
"Hey." Kusapa Alika.
"Eh, kok ada disini?" Alika kaget.
"Biasa, kakiku ngajak nemuin kamu."
"Ciye, oh ini yang namanya Alvia? Cakep ya" Kata salah satu teman Alika.
"Kirain Ibu aku aja yang bisa bilang aku cakep." Kataku.
"Haha, kenalin aku Rani." Kata Rani lalu berjabat tangan denganku.
"Aku Tiara." Kata teman Alika yang satu lagi.
"Aku Alvia."
"Kan udah pada tahu." Kata Alika.
"Basa-basi aja." Kataku tertawa.
"Alika sekarang mainannya brondong ya?" Kata Rani tertawa.
"Dia bukan mainanku." Kata Alika.
"Oh jadi serius nih ceritanya." Rani tertawa. "Aku pindah deh ya, biar bisa ngobrol berdua." Kata Rani. Lalu Rani dan Tiara pun berpindah ke meja lain memberi aku tempat agar bisa ngobrol dengan Alika.
"Aku capek Al." Kataku.
"Capek kenapa?" Tanya Alika heran.
"Tadi aku kursus kilat."
"Kursus apa?"
"Kursus masak sama Ibu, minta diajarin masak nasi goreng. Udah susah payah masak eh nggak kamu habisin." Kataku mengeluh.
"Oh nasi goreng tadi bikinan kamu?" Alika tertawa.
.. "Nggak enak ya?"
"Bawangnya gosong, kecapnya kebanyakan, terus dari telurnya aja beda banget sama yang biasa digoreng Pak Yudi" Kata Alika masih tertawa.
"Iya deh, aku payah."
"Tapi aku suka kok perjuangan kamu, kamu nggak pernah payah buat bikin aku bahagia." Alika tersenyum.
Aku pun dibuat tersenyum dengan apa yang Alika katakan, aku menatap matanya dalam, menikmati senyuman manisnya.
"Aku mau bikin kamu lebih bahagia hari ini."
"Gimana?" Tanya Alika.
"Pulang kerja, ikut aku."
"Kemana?"
"Kejutan."
"Aku nggak suka kejutan." Kata Alika..
"Aku nggak suka penolakan." Balasku.
"Lihat nanti deh." Kata Alika. "Aku masuk dulu." Lanjutnya lalu beranjak dari hadapanku.
"Aku nggak akan pulang, aku nunggu disini sampai kamu pulang." Kataku setengah berteriak. Alika hanya berbalik dan memberiku senyuman kecil, manis sekali.
Lagi dan lagi, Alika membuatku jatuh makin dalam. Senyumannya itu seperti mengajakku untuk membuat dunia baru hanya untuk berdua saja. Aku semakin tak ingin kehilangan Alika, meski dia belum menjadi milikku, dan dia masih milik lelaki lain. Aku akan tunjukkan pada Alika siapa yang lebih hebat dalam menunjukkan perasaan untuknya. Aku atau pacarnya? Alika akan segera tahu.
Aku duduk sendiri mendengarkan musik di Kantin memakai headset untuk mempercepat waktu. Saat itu kantin sudah benar-benar sepi karena seluruh karyawan sudah kembali ke pekerjaannya masing-masing. Aku melihat Pak Yudi menghampiriku dengan wajahnya yang terlihat sangat kelelahan, lalu dia duduk bersamaku.
"Capek Pak?" Kutanya Pak Yudi yang baru saja duduk sambil membersihkan keringatnya.
"Lumayan De, demi istri muda." Kata Pak Yudi.
"Hah? Pak Yudi punya istri dua?" Tanyaku kaget.
"Yang muda baru calon." Jawab Pak Yud.
"Hebat banget."
"Mau tau siapa calon istri muda bapak?"
"Siapa emang?" Tanyaku.
"Yang tadi makan masakan kamu." Kata Pak Yudi tertawa.
"Wah berarti Bapak siap buat kehilangan kantin ini." Akupun tertawa.
"Hahaha, becandalah De." Kata Pak Yudi. "Kamu nggak pulang?"
"Nggak Pak, nunggu Alika pulang, mau jalan-jalan." Kataku.
"Hebat kamu."
"Hebat apanya Pak?"
"Dua tahun Alika kerja disini, banyak yang ngajak Alika buat jalan-jalan atau pulang bareng, tapi nggak pernah ada yang berhasil."
"Kalau nanti aku pulang bareng Alika, berarti aku yang pertama?" Tanyaku.
"Sepertinya begitu." Jawab Pak Yudi. "Bapak mau shalat dzuhur dulu, mau ikut?" Ajak Pak Yudi.
. "Nanti deh pak"
"Ayolah, sekalian doakan Alikamu itu."
"Hm, Iya deh Pak, aku ikut."
Akupun berjalan menuju Mushola bersama Pak Yudi. Aku mengambil wudhu, lalu shalat Ashar bersama Pak Yudi sebagai Imamnya. Setelah shalat, aku berdoa banyak hal. Dalam doaku, aku menyebut nama Ibu, Alika, Aska, dan semua orang yang kusayangi. Aku meminta kepada Allah untuk membiarkan mereka semua tetap hidup bersamaku, dan aku tak ingin satupun dari mereka pergi meninggalkan aku, aku juga meminta agar dijauhkan dari segala hal yang tak disukai Ibu ataupun Alika.
Setelah selesai shalat, aku kembali ke Kantin Pak Yudi. Aku membantu Pak Yudi membereskan sisa pekerjaannya di Kantin sambil berbicara banyak hal tentang Alika. Aku jadi tahu lebih banyak lagi tentang Alika, Alika memang dikenal baik di lingkungan kerjanya, banyak sekali lelaki yang mengaguminya dan mencoba untuk mendekatinya, tapi kata Pak Yudi hanya akulah yang bisa mendekati Alika sampai sejauh ini. Aku mencoba untuk tidak terlalu membanggakan diri.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul empat. Aku pamit pada Pak Yudi dan mengucapkan banyak terimakasih, begitu cepat Pak Yudi menjadi teman baikku.
Aku menunggu Alika di pintu gerbang. Dari kejauhan aku melihat Alika berjalan menghampiriku.
"Gila, kamu beneran nunggu aku sampai aku pulang?" Kata Alika.
"Emang tadi aku kelihatan becanda?"
"Nggak sih."
"Jadi nggak?" Tanyaku.
"Ya deh, anggep aja ini hadiah dari aku atas keseriusan kamu nunggu aku sampai pulang." Kata Alika tertawa kecil. "Kamu boleh aku ajak jalan, tapi nggak sampai malam."
"Asyik, yuk" Kataku meminta Alika segera menaiki motorku.
Akhirnya Alika naik ke motorku, aku masih tak percaya, ini pertama kalinya Alika duduk manis di atas motorku. Meski Alika tak memelukku, tak apa, sebagai yang pertama, bagiku ini sudah lebih dari cukup. Sejak itu aku malas sekali mencuci motor, aku tak mau menghilangkan bekas Alika dari motorku.
"Sebenernya kita mau kemana?" Tanya Alika.
"Nanti juga tahu." Kujawab singkat.
"Aku nggak dibuat penasaran." Kata Alika.
"Aku nggak suka dikasih banyak pertanyaan." Balasku.
"Ih, kamu ngelawan terus." Kata Alika kesal lalu memukul pundakku.
Alika, bahkan jika kamu memukulku sekeras mungkin, aku akan tetap bahagia selama kamu yang melakukannya. Aku tertawa lepas seakan tak bisa menutupi kebahagiaanku hari ini.
"Tadi aku lihat kamu jalan sama Pak Yudi, mau kemana?" Tanya Alika.
"Ke Mushola." Jawabku.
"Ngapain?"
"Shalatlah, masa main futsal." Kataku.
"Beneran kamu shalat?"
"Kok kaya yang aneh kalau aku shalat?"
"Nggak apa-apa, aku seneng dengernya." Kata Alika.
. "Aku tadi doain kamu."
"Doain apa?" Tanya Alika.
"Supaya kamu mau jadi pacarku." Jawabku.
"Aminin jangan?"
"Harus." Kataku.
"Dalam hati aja ya."
Aku akan mengingat hari ini sebagai salah satu hari yang paling membahagiakan dalam hidupku, hari dimana Alika semakin dekat denganku seolah Alika sudah menjadi milikku, aku berharap agar hari-hari selanjutnya tetap seindah ini, bahkan lebih.
Sebelum ke tempat yang aku tuju, aku sengaja mampir ke Sekolah dan memberhentikan motorku tepat di depan pintu gerbang.
"Ngapain kesini?" Tanya Alika heran.
"Mampir, sekalian bilang terimakasih."
"Ke siapa?"
"Ke Sekolah ini, karena sekolah ini aku sama kamu bisa seperti sekarang."
"Emang sekarang kita apa?" Tanya Alika memancing.
. "Dalam status menuju pacaran." Jawabku. "Terimakasih sekolahku" Aku berteriak sekencang-kencangnya membuat orang-orang kaget.
"Ih, kamu gila." Alika kesal karena merasa malu diperhatikan banyak orang.
Saat orang-orang memperhatikan aku dan Alika, aku segera meninggalkan Sekolah karena tak mau membuat Alika malu. Aku langsung pergi ke tempat tujuanku, Markas geng motorku.
Saat tiba di Markas geng motorku, Alika merasa heran melihat keadaan di sekelilingnya, ada beberapa motor terparkir disana, lalu Alika juga melihat ke arah dinding yang dipenuhi coretan, ada namaku juga disana.
"Ini markas geng motorku." Kataku.
"Ih, ngapain kesini?" Tanya Alika.
"Aku mau pamit, aku mau berhenti."
Alika diam, aku melihat raut wajahnya seperti ketakutan, karena aku tahu ini pertama kalinya Alika berada di lingkungan seperti ini.
"Aku takut." Kata Alika.
"Kan kamu datang sama aku, nggak akan ada yang berani nyentuh kamu apalagi ganggu kamu, lagian anak geng motor juga punya sopan santun kok." Kataku meyakinkan Alika. "Kamu percaya kan sama aku?" Kutanya Alika.
Alika hanya mengangguk kecil lalu turun dari motorku.
Aku masuk ke dalam bersama Alika disampingku. Keadaanya cukup sepi, karena ini hari rabu, hanya ada beberapa orang saja, salah satunya Bang Iwan, seniorku.
Aku menghampiri mereka dan menyapa semua yang ada disana. Mereka tetap menyambutku dengan sangat baik meski sudah cukup lama aku menghilang dari mereka. Aku juga memperkenalkan Alika pada teman-teman geng motorku.
"Kemana aja Al? Baru nongol lagi kamu." Tanya Bang Iwan.
"Sibuk banget Bang, lagi banyak kerjaan" Kujawab lalu menghampirinya untuk berjabat tangan.
"Oh, pantesan, kirain dimasukin lagi ke perut Ibumu." Canda Bang Iwan.
"Nggak akan muat lah bang." Aku tertawa. "Kenalin Bang, ini Alika." Kataku memperkenalkan Alika.
"Oh, pacarmu ini? Cantik banget, kok dia mau sama kamu Al? Bolehlah tukar dengan si Ami istriku itu." Kata Bang Iwan. Alika hanya tersenyum.
"Masih calon Bang, jangan ditukar-tukarlah Bang, yang ini mahal." Kataku tertawa.
"Haha, nggak salah pilih kamu Al, cantik beneran nona ini." Bang Iwan menunjuk Alika, Alika tersenyum tak bicara sepatah katapun.
"Hehe, terimakasih Bang. Sebenernya aku kesini mau pamit Bang."
"Mau kemana?" Tanya Bang Iwan.
"Aku mau berhenti dulu Bang."
. "Kenapa?"
"Aku kan udah lulus sekolah, aku pengen menata masa depanku Bang, apalagi aku anak satu-satunya, aku nggak mau bikin Ibu kecewa." Kataku.
"Ah, kamu ini Al!" Bang Iwan menyentak dan membuatku kaget. "Baguslah, kamu sudah punya pemikiran buat masa depanmu, Abang dukung." Kata Bang Iwan.
"Ih, bikin kaget aja, aku kira Bang Iwan marah beneran." Kataku masih berdebar-debar. Aku tak akan pernah berani pada Bang Iwan karena dia adalah orang yang paling disegani, dia jugalah yang mendidikku sejak pertama aku masuk geng motor.
"Nggaklah Al, masa Abang larang adik-adik Abang yang mau hidup bener." Kata Bang Iwan membuatku lega.
"Haha, kaget Bang sumpah." Kataku tertawa.
"Becanda dikit lah Al, biar asik, Iya kan non?" Kata Bang Iwan lalu melirik Alika. Seperti biasa Alika hanya tersenyum kecil, Aku tahu Alika tak merasa nyaman berada disini.
"Yang lain pada kemana Bang? Sepi hari ini." Tanyaku.
"Lagi pada nonton balap." Jawab Bang Iwan. "Si Kulat kemana? Masih suka bareng?"
"Udah kerja dia Bang, pengen cepet nikah katanya."
"Ah, kaya yang betul aja dia itu, pacaran aja belum pernah, ajarinlah dia Al."
"Haha, siap Bang."
Alika memberiku kode untuk segera pergi meninggalkan Markas geng motorku. Meski aku menjamin keamanannya, Alika tetap merasa risih dan tak nyaman berada di lingkungan seperti ini yang sangat baru baginya, itulah sebabnya mengapa Alika tak banyak bicara. Aku mengangguk sebagai tanda bahwa aku mengerti apa yang Alika maksud.
"Bang, kayanya aku nggak bisa lama, kasihan ini bidadari kecapean." Kataku.
"Oh, mau pulang? Iya silakan Al."
"Terimakasih Bang sebelumnya, udah didik aku, udah ngajarin aku gimana caranya ngejaga harga diri dan nama baik aku sendiri, ngejaga nama baik kita."
"Siap Al, santai aja. Sering-sering mampir sini Al, apalagi kalau abis gajian." Kata Bang Iwan tertawa.
"Haha siap Bang, Aku bakal tetep jaga nama baik kita Bang, tapi sekarang ditambah jagain ini juga Bang." Kataku memegang bahu Alika.
"Nah, betul. Jaga cewek ini, cantiknya bukan main, jangan sampai ada yang rebut, tapi kalau Abang yang rebut boleh ya?" Bang Iwan tertawa.
"Ah, janganlah Bang." Kataku tertawa. "Kalau gitu aku pamit ya Bang, salam buat yang lain." Lanjutku.
"Siap, nanti Abang sampaikan."
Aku pun pamit pada semua yang ada disana seolah ini adalah hari perpisahanku dengan mereka.
Pasti pernah terdengar banyak jika seorang anggota geng motor memutuskan untuk berhenti, maka jarinya akan dipotong oleh atasannya, kabar itu sangatlah bohong.
Setelah dari Markas geng motorku, tadinya aku mau mengajak Alika untuk berkeliling kota, tapi aku melihat raut wajahnya yang sangat kelelahan, akupun memutuskan untuk mengantar Alika pulang.
Di perjalanan, entah mengapa kali ini Alika memelukku erat, mungkin karena Alika masih merasa ketakutan, mungkin juga karena Alika merasa nyaman berada dalam lindunganku.
"Kamu beneran mau berhenti dari geng motor?" Tanya Alika.
"Iya, sekarang aku punya kesibukan yang lebih penting." Jawabku.
"Apa?"
"Menyayangi kamu." Kataku.
Alika tak menjawab apapun, tapi Alika malah memelukku semakin erat, membuat aku sedikit sesak, tapi aku tahan.
"Kamu tadi kenapa diem aja? Pengen buang air besar ya?" Kutanya Alika.
"Kan aku baru pertama kali kesitu, belum terbiasa aja." Jawab Alika.
"Mereka ramahkan?"
"Iya."
"Tapi kamu kaya yang takut, padahal tenang aja, ada aku jagain kamu." Kataku, Alika hanya diam. "Kamu tahu apa saja yang aku jaga sekarang?" Kutanya Alika memancing dia bicara.
"Apa?"
"Ibu, harga diriku, dan kamu."
Saat tiba di Rumah Alika, Aku langsung pamit untuk pulang, lalu aku mencium tangan Alika.
"Sekarang, aku yang cium tangan, karena aku lebih muda dari kamu. Tapi nanti, kamu yang cium tangan aku setiap aku pergi kerja dan saat aku pulang kerja."
"Aamiin." Kata Alika tersenyum.
"Aku pulang ya, kamu istirahat."
"Iya, hati-hati dijalan, salam sama Ibu. Kalau jatuh pura-pura push up aja." Kata Alika tertawa kecil.
"Aku belum pernah jatuh dari motor, dan nggak akan pernah. Tapi kalau jatuh hati sama kamu udah sering." Kata-kataku membuat Alika tersenyum tersipu malu.
Aku melajukan motorku menuju ke Rumah, ingin rasanya lebih lama lagi bersama Alika, tapi aku tak mau membuat dia kelelahan dan jatuh sakit gara-gara aku. Aku pikir esok hari akan jauh lebih indah dari hari ini, tak sabar menantinya.
"Selamat beristirahat Alika, maaf tadi aku merusak makan siangmu, maaf juga atas rasa tidak nyamannya tadi, tapi terimakasih untuk hari ini, aku semakin menyayangimu."

Melepas CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang