Putus

746 24 0
                                    

Dingin di pagi itu sangat menusuk, aku tetap memacu sepeda motorku dengan kencang menuju rumah Alika. Aku akan mengantar Alika ke tempat kerjanya seperti biasa.
Saat aku hampir sampai di rumah Alika, aku melihat Alika baru saja naik ke mobil angkot. Aneh, kurasa aku tidak terlambat untuk menjemput Alika, bahkan aku datang lebih cepat. Alika juga tidak bilang kalau dia akan berangkat kerja naik angkot.
Aku memutuskan untuk kembali ke rumah dengan sejuta rasa penasaran di benakku. Tapi aku mencoba untuk tetap berpikir positif.
Setibanya di rumah, aku masih merasa ada yang aneh dengan Alika. Aku memutuskan untuk tidur lagi karena masih merasa ngantuk gara-gara kurang tidur semalam. Aku berharap semua baik-baik saja dan aku sedang berusaha membuang pikiran negatifku.
Sekitar jam dua belas tepat aku terbangun dari tidurku, aku langsung mencari handphoneku, aku takut Alika marah jika aku terlambat membalas pesan darinya. Tapi ternyata, aku tak mendapat satupun pesan dari Alika, hanya ada beberapa pesan dari temanku yang tak begitu penting. Aku langsung mencoba menelpon Alika untuk bertanya apa yang terjadi dengannya. Tak ada kabar sedikitpun dari Alika hari ini, dia tak menungguku untuk menjemputnya tadi pagi. Ada yang aneh, aku yakin.
Beberapa kali aku mencoba menelpon Alika tak sekalipun Ia menjawab telponku. Aku semakin dibuat penasaran oleh sifat Alika padaku hari ini, Alika menjauh. Sebenarnya ada apa ini? Dia ingin membuat kejutan? Tapi ini bukan hari ulang tahunku. Jadi tak mungkin.
Aku langsung pergi menuju Kantor Alika, dengan penampilan yang masih berantakan karena baru bangun tidur.
Di perjalanan menuju Kantor Alika, aku dibuat pusing dengan sejuta tanda tanya di pikiranku, apa yang terjadi pada Alika hari ini? aku seperti kehilangan Alika yang sebenarnya.
Saat aku tiba di Kantor Alika, aku bertanya ke beberapa teman kantornya Alika, katanya Alika sedang makan siang di kantin Pak Yudi. Aku segera mencarinya.
"Hey." Kusapa Alika yang sedang makan siang bersama teman-temannya.
"Hey, kok bisa ada disini?"
"Aku mau ngomong sama kamu." Kataku. "Mba, boleh minta waktunya sebentar, mau ngobrol berdua sama Alika." Aku meminta teman-temannya Alika untuk berpindah tempat.
"Ada apa?" Tanya Alika.
"Kamu kenapa? Beda banget hari ini."
"Aku nggak apa-apa." Jawab Alika tanpa memandangku.
Alika terlihat sangat beda, bahkan Alika tak mau memandangku, entah apa yang salah dariku, Aku harus tahu.
"Kamu siapa? Kamu bukan Alika yang aku kenal?" Kutanya Alika sedikit kesal.
"Aku Alika, Alika Dwi Anjani." Alika menjawab setiap pertanyaanku dengan sangat jutek.
"Pacar siapa?"
"Nggak tahu." Jawab Alika. Aku sangat kaget dengan jawabannya, Alika seperti tak lagi menganggapku sebagai pacarnya.
Setelah selesai makan, Alika hendak pergi meninggalkan aku tanpa sepatah katapun. Aku mencoba menahannya.
"Kamu mau kemana?" Tanyaku sambil memegang tangannya.
"Aku mau kerja lagi." Alika mencoba melepaskan tangannya dariku. Aku mencoba sabar atas sifat Alika yang berubah secara drastis. Aku mencoba kuat menghadapi Alika yang tak lagi terlihat seperti Alika yang sesungguhnya.
"Pulangnya aku jemput." Kataku.
"Nggak usah, aku bareng temen." Kata Alika yang berlalu meninggalkan aku dengan perasaan yang sangat tak karuan.
Aku kesal, marah, sakit hati, dengan apa yang terjadi hari ini. Aku baru ingat, aku mulai menyangka ini ada hubungannya dengan sifat Ibunya Alika kepadaku kemarin.
Aku memutuskan untuk menunggu Alika hingga pekerjaannya selesai.
"Alika, aku rindu dirimu yang kemarin." Ucapku dalam hati.
Beberapa jam kemudian, aku melihat Alika keluar dari kantornya, aku menghampirinya dari belakang.
"Pulang? Ayo naik." Kataku.
"Nggak usah, aku naik angkot aja."
"Kamu kenapa sih? Aku bikin salah apa ke kamu"
"Aku nggak apa-apa Alvia." Jawab Alika tanpa menoleh kearahku.
Aku terus membujuk Alika untuk kuantar pulang. Tapi Alika tetap menolak ajakanku, Aku terus mengkutinya sampai ia naik angkot.
Alika benar-benar tak mau ku antar pulang, dia memberhentikan angkot lalu naik ke angkot tanpa berbicara apapun lagi padaku.
Tadinya, aku berniat untuk pulang saja, tapi tiba-tiba hatiku meminta untuk mengikuti Alika, setidaknya agar aku tahu dia selamat sampai ke rumah.
Akupun mengejar angkot yang ditumpangi Alika, Aku menyeimbangkan kecepatan motorku dengan angkot itu agar bisa berbicara dengan Alika lewat jendela mobil angkot.
"Alika, turun disini aja aku mau ngomong." Kataku setengah berteriak.
Tapi Alika tidak menjawab apapun, bahkan dia tidak memandangku sedikitpun. Aku pusing, entah harus bagaimana menghadapi Alika yang seperti kerasukan jiwa lain.
"Kalau kamu nggak mau turun, aku mau nekad, buat sekarang aku maksa kamu buat nurut!" Kataku.
Alika tetap tak ingin mendengarku. Lalu aku meminta angkot itu untuk menepi. Aku memberhentikan motorku tepat di depan angkot itu, lalu aku turun dari motorku.
"Alika, turun sekarang juga!" Kataku dengan nada menyentak.
"Apaan sih kamu bikin malu aja, pak maju aja pak." Alika meminta supir angkot itu untuk melanjutkan perjalanan.
"Pak, kalau bapak maju akan kurusak angkot ini." Kataku kepada supir angkot itu. "Alika! Cepat turun, jangan tunggu aku emosi." Aku menarik tangan Alika untuk turun dari angkot. Sebagian penumpang lain terlihat marah padaku karena mengganggu perjalanan dan bersifat agak kasar pada Alika. Maaf, aku telanjur kesal.
Dengan cara memaksa akhirnya Alika mau turun dari angkot, lalu angkot itu pergi setelah kubayar ongkos Alika. Aku melihat kekesalan di wajah Alika. Seharusnya aku yang kesal, bukan Alika.
"Kamu kenapa sih?" Tanya Alika kesal.
"Aku yang harusnya nanya gitu ke kamu, kamu kenapa? Kamu ngejauh dari aku tanpa sebab. Semalam kita baik-baik saja, tapi sejak tadi pagi kamu udah bukan Alika lagi."
"Kalau di mata kamu aku bukan Alika yang kamu kenal, berarti aku bukan siapa-siapa kamu!" Kata Alika.
Aku hampir saja kehilangan jiwaku sebagai lelaki, aku sangat kesal dengan apa yang dikatakan Alika, aku ingin sekali menamparnya, ingin membuatnya sadar atas apa yang ia ucapkan. tapi untungnya aku masih bisa mengendalikan diri. Aku akan melaknat diriku sendiri jika sampai melakukan hal itu.
"Maksud kamu apa? Kamu udah nggak nganggep aku siapa-siapa lagi?"
"Maaf Al." Jawab Alika.
"Bicaralah, ada apa? Aku buat salah apa ke kamu?"
"Kamu nggak salah apa-apa Al." Kata Alika yang akhirnya mau menatap mataku.
"Lalu kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba berubah gini? Kasih tahu aku sebabnya! Jangan gantung aku kaya gini."
"Aku bingung Al." Kata Alika.
"Bingung kenapa? Harusnya kamu sadar, kamu yang bikin aku bingung, kamu nggak bales pesanku, kamu nggak jawab telponku, kamu jutekin aku, kamu ngejauh dari aku, ada apa sih?" Kutanya Alika dengan nada bicara yang penuh kekesalan. "Aku salah apa? Aku rasa semalam kita masih baik-baik saja." Kutanya Alika yang mulai terbata."Kenapa diem? Jawab pertanyaan aku Alika!"
Mata Alika sudah berkaca-kaca hingga akhirnya menangis. Aku yang tadinya marah tiba-tiba merasa sangat bersalah. Alika menangis tepat di depanku. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi, aku benci jika melihat orang yang sangat kusayangi meneteskan air matanya di depanku.
"Kamu kenapa?" Kutanya Alika lalu kuhapus air matanya.
"Kita nggak bisa lanjut Al." Kata Alika.
"Maksud kamu?" Tanyaku kaget.
"Kita nggak bisa lanjutin hubungan kita, maafin aku Al." Alika semakin tak bisa menahan tangisnya.
"Kenapa?"
"Ibuku nggak merestui hubungan kita Al, maafin aku."
"Kenapa? Aku salah apa sama Ibu kamu?" Tanyaku.
"Kamu nggak salah apa-apa Al, Ibu minta aku untuk segera menikah, bukan untuk berpacaran lagi."
"Kalau memang harus, aku siap buat nikahin kamu sekarang juga Alika, Aku sayang kamu." Ucapku lalu memegang bahu Alika.
"Nggak semudah itu Al, masa depan kamu masih panjang."
"Oke, aku belum punya apa-apa, tapi aku nggak akan bikin kamu sengara, aku bisa jamin kebahagiaan kamu. Aku bisa jadi imam yang baik buat kamu." Akupun hampir meneteskan air mata mendengar Alika ingin mengakhiri hubungan ini.
"Aku tahu Al, aku tahu kamu bisa..."
"Lalu kenapa kamu nggak coba yakinin Ibu kamu?" Kataku memotong pembicaraanku.
"Sudah Al! Aku sudah lakukan itu tanpa kamu minta!"
"Ayo, naik ke motorku. Kita bicarakan ini pada Ibumu."
"Jangan Al, aku mohon." Alika memegang tanganku.
"Aku yakin ada alasan lain kenapa kamu mau hubungan ini berakhir." Kataku lalu melepas tangan Alika.
"Nggak! Nggak ada alasan lain! Aku sayang sama kamu, aku cinta kamu, aku nggak mau kehilangan kamu, tapi aku harus lebih menghargai kemauan Ibuku. Aku mohon kamu mengerti."
Sangat diluar dugaan jika harus berakhir seperti ini. Apa salahku Tuhan? Mengapa Kau mengujiku dengan cara seperti ini? Mengapa harus Alika yang Kau ambil dariku?
Aku teringat pada apa yang dibicarakan Tante Selly dulu. Mungkin ini yang Dia maksud bahwa kemungkinanku bisa bersama dengan Alika sangat jauh, sejauh langit dan bumi. Kini aku mulai percaya.
"Aku harus gimana?" Kutanya Alika yang sibuk menghapus air matanya.
"Mau nggak mau, kamu harus lepasin aku." Kata Alika.
"Nggak! Aku nggak akan pernah mau!"
"Akupun begitu, aku nggak pernah mau ngelepas kamu, aku nggak mau jika harus pisah sama kamu disaat aku benar-benar mencintai kamu! Tapi ada sesuatu yang nggak bisa aku lawan Al! Ibuku! Aku harus mengikuti kemauannya! Dia yang lahirin aku, tanpa dia aku nggak akan ada disini, nggak akan kenal lalu jatuh cinta sama kamu! Jika menyalahkan takdir Tuhan nggak dosa, aku lakukan sekarang juga Al! Aku nggak pernah berharap harus berpisah dengan cara seperti ini Al."
Aku terdiam, sulit mengucap satu katapun. Aku tak kuasa menahan tangisku, Aku benar-benar kehilangan duniaku saat itu. Seakan aku ingin menenggelamkan diri di lautan, setidaknya tak ada yang akan mendengar isak tangisku.
"Aku mau pulang." Kata Alika sambil berjalan meninggalkan aku.
Aku segera menyalakan motorku dan meminta Alika untuk ikut pulang bersamaku. Alika sempat menolak, tapi aku terus membujuknya hingga akhirnya Alika mau.
Di perjalanan, Aku dan Alika tak berbicara sepatah kalimatpun. Yang aku rasakan hanyalah air mata Alika yang membasahi punggungku. Alika masih mau memelukku, tapi dalam pikiranku aku menyangka bahwa ini pelukan terakhirnya untukku. Aku benar-benar tak menyangka akan seperti ini, belum genap satu minggu aku resmi menjadi pacar Alika, dan baru saja kemarin malam aku diperkenalkan pada orang tua Alika, Dua belas jam yang lalu aku masih bisa merasakan kebahagiaan yang nyata. Sebelumnya aku merasa diterbangkan ke awan, tapi sekarang kenyataan menjatuhkanku ke dasar jurang. Aku tidak mau Alika pergi, Aku mau Alika tetap bersamaku.
Saat aku hampir sampai di rumah Alika, Alika meminta untuk tidak mengantarnya sampai ke depan rumah. Aku tak bisa menolak permintaannya.
Setelah turun dari motorku, Alika langsung pergi tanpa berbicara apa-apa lagi. Aku hancur, sangat hancur. Aku menangis, aku tak bisa menahannya, aku sakit hati, aku benci kenyataan ini. Beberapa langkah setelah Alika berjalan meninggalkan aku, dia berbalik lalu menghampiriku dan langsung memelukku sangat erat.
"Maafin aku Al." Kata Alika yang sedari tadi tak mampu menghentikan tangisnya. "Aku mohon, kamu jangan nangis, jangan lupain aku, jangan nakal lagi kalau nggak ada aku."
"Aku pernah menangis di Samudera Pasifik." Aku menatap mata Alika semakin dalam. "Kalau kamu bisa temukan tetesan air mataku itu, aku akan lupain kamu." Kataku.
"Nggak akan mungkin bisa."
"Berarti aku nggak mungkin lupain kamu." Kataku mengusap air matanya. "Apa ngga ada cara lagi agar kita nggak pisah?" Kutanya Alika.
"Aku takut semua percuma, aku takut kita akan jauh lebih sakit dari ini."
Aku tak bisa berpikir jernih, segala rasa ada pada diriku saat itu.
"Aku mau ngomong sama ibu kamu." Kataku sambil turun dari motorku.
"Jangan Al, aku mohon jangan." Alika menahan tanganku agar tidak masuk ke rumah dan menemui Ibunya.
"Kenapa? Aku nggak mau pisah sama kamu, aku harus ngomong sama ibu kamu, aku harus bisa yakinin Dia." Aku melepas tangan Alika dan berjalan dengan cepat menuju rumah Alika.
"Kalau kamu masuk ke rumah, aku benar-benar nggak mau kenal kamu lagi!" Alika berteriak dan membuatku menghentikan langkahku.
Aku tak tahu lagi harus bagaimana agar bisa mempertahankan hubunganku dengan Alika. Aku tak punya satupun cara, aku tak bisa menyalahkan siapapun, aku tak bisa melampiaskan kesedihanku pada siapapun. Alika benar-benar membuatku hancur seketika.
Aku langsung kembali ke motorku lalu pergi meninggalkan Alika tanpa berbicara apapun lagi. Aku melihat dari kaca spion motorku, Alika masih menangis dan terus memandangku. Akupun tak kuasa menahan tangisku, aku merasa seolah ini adalah pertemuan terakhirku dengan Alika.
Aku menuju ke rumah dengan kecepatan tinggi. Saat tiba di rumah, aku langsung menghampiri Ibu yang sedang bersiap-siap pergi ke pengajian.
"Bu, ikut aku sekarang." Kataku.
"Kemana?" Tanya Ibu merasa aneh.
"Aku mau lamar Alika." Kataku langsung ke inti pembicaraan.
"Ah, kamu ini becanda terus, Ibu mau ngajar. Nanti lagi becandanya."
"Aku nggak becanda Bu, Aku serius! Aku nggak mau kehilangan Alika. Aku harus lamar dia sekarang juga!"
"Hey, kamu kenapa sih?" Ibu semakin heran.
Aku menangis lalu berlutut di hadapan Ibu yang duduk di kursi ruang tamu.
"Ibunya Alika, Dia minta agar Alika segera menikah, bukan untuk pacaran lagi! Aku nggak mau lepasin Alika, Aku mau nikahin Alika." Aku memohon pada Ibuku.
"Kamu pikir nikah itu gampang Al? kamu lagi nggak mikir jernih." Kata Ibu. "Lalu gimana hubunganmu sama Alika?" Tanya Ibu.
"Kita putus Bu, gara-gara permintaan Ibunya."
Aku tertunduk lesu di hadapan Ibuku, menangis tersedu layaknya bukan seorang lelaki. Aku tak tahu lagi harus kepada siapa meminta bantuan agar aku tidak kehilangan Alika. Aku tak bisa memaksa Ibu untuk menuruti kemauanku.
"Kamu tahu kenapa Alika nurut sama Ibunya?" Tanya Ibu sambil mengusap rambutku. "Itu karena Alika sangat menyayangi Ibunya. Ibu nggak setuju kalau kamu mau nikah sekarang, kamu harus nurut sama Ibu, kecuali kamu nggak sayang sama Ibu." Kata Ibu.
Bagiku, saat itu hidupku benar-benar buntu. Tak ada cara lagi untuk mempertahankan apa yang aku mau, aku dibuat putus asa, merasa bahwa takdir mencuri kebahagiaanku. Aku memang tak senang jika Ibu tidak mendukung keinginanku, tapi aku mencoba mengerti. Apapun keputusan Ibu, Ibu bukanlah orang yang bisa kulawan.
Ibu mencoba membuatku tenang, memintaku untuk tidak ceroboh, Ibu tak terlalu banyak berbicara, Dia sangat mengerti apa yang kurasakan.
Mulai keesokan harinya, hidupku sangat berubah. Tak ada lagi yang menyambut pagiku, tak ada lagi seseorang yang bisa membuatku tersenyum saat aku mengingatnya. Aku mencoba menjalani hari-hari yang sangat berat, sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya.
Selama beberapa hari aku tak keluar rumah, hanya bisa mengurung diri di kamar. Tapi Aska mengetahui apa yang sedang terjadi padaku, dengan mudah dia membaca perasaanku, dia berkata "Hidup harus terus jalan, dengan ataupun tanpa Alika." Bagiku, Aska lebih setia dari wanita manapun, sayangnya dia sejenis denganku, jika tidak, sudah pasti kupilih dia.
"Alika, aku rindu, aku rindu kita yang dulu. Aku tahu ini bukan keinginanmu, tapi maaf, aku kecewa pada Ibumu."
Aku terus memantau Alika lewat beberapa media sosial, mencari cara agar tetap bisa bersamanya, berharap masih ada harapan yang bisa kupetik.
"Jangan pergi Alika, tetaplah bersamaku, kamu harus yakin, siapapun yang menghalangi kita, kita bisa melewatinya."

Melepas CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang