Hari Jadi

647 17 0
                                    

Setelah lebih dari satu minggu Alika berstatus lajang. Dan aku sudah tak lagi mendengar kesedihan Alika. Aku pikir sudah saatnya aku menembaknya. Meski ada rasa takut, aku takut jika Alika tak mau menerimaku menjadi pacarnya, meski Alika sudah beberapa kali mengatakan bahwa dia menyayangiku. Aku takut Alika hanya menyayangiku sebagai teman ataupun adik, aku ingin lebih dari itu.
Aku sedang kebingungan mencari cara untuk menembak Alika, aku ingin memakai cara yang tak biasa, aku ingin membuatnya lebih berkesan.
Aku kesulitan mencari cara yang unik untuk menembak Alika, aku memutuskan untuk berkata langsung saja, karena hatiku sudah memaksa untuk segera mengungkap semua rasa yang ada. Tak mau menunggu lebih lama lagi.
Aku mencari keberadaan Alika, aku mencoba untuk menelponnya.
"Halo." Kusapa Alika.
"Iya Al, kenapa?" Tanya Alika.
"Lagi dimana?"
"Di rumah Rani." Jawab Alika.
"Boleh ketemu?"
"Kesini aja."
"Aku berangkat sekarang." Kataku.
Aku langsung bergegas menuju rumah Rani. Di sepanjang perjalanan, aku merasa hatiku sangat berdebar kencang, aku takut terlihat gugup meski aku sudah mempersiapkan apa yang akan aku bicarakan.
Saat aku tiba di rumah Rani, Alika dan Rani sedang ngobrol di teras rumah. Aku langsung menghampiri mereka.
"Berangkat dari rumah?" Tanya Alika.
"Iya."
"Cepet banget." Kata Alika.
"Jalanan lagi kosong, bisa ngebut." Kataku.
Aku duduk di samping Alika. Aku terdiam karena kebingungan, aku tak tahu harus memulainya dari mana.
"Kesini cuma mau diem aja?" Tanya Alika.
"Nggak kok." Kataku. "Ran, aku minta waktu buat ngobrol sama Alika ya." Kataku kepada Rani.
"Oh, iya silakan. Aku di dalem dulu aja ya." Kata Rani lalu masuk ke dalam rumah.
"Ada apa? Kayanya serius." Tanya Alika.
"Aku bingung."
"Bingung kenapa?"
"Aku mau ngomong panjang lebar, aku mau kamu dengerin aku, ini serius."
"Iya, mau ngomong apa?" Tanya Alika.
"Kamu tahu kan Al? Aku sayang banget sama kamu. sejak kita ketemu di sekolah, kamu langsung jadi orang yang penuh arti buat aku, kamu langsung jadi alasan sedih atau bahagianya aku. Aku nggak bisa terus kaya gini Al, aku mau kita punya status yang lebih dari sekarang. Aku tahu kamu baru aja kehilangan orang yang kamu sayang, dan aku juga tahu kamu masih aja mikirin dia, tapi harusnya kamu tahu kalau aku bisa lebih baik dari lelaki manapun. Aku nggak tahu harus ngomong gimana, tapi aku harap kamu ngerti apa yang aku maksud, aku pengen status kita lebih dari sekedar temen." Kataku pada Alika.
"Haha, tumben kamu ngomong gitu aja bisa sampai gemeteran." Kata Alika meledekku.
"Malah jawab gitu." Keluhku.
"Terus aku harus jawab gimana?"
"Aku pengen kamu ungkapin semua perasaan kamu ke aku." Kataku.
"Gimana ya? Aku bingung." Kata Alika.
"Kamu masih ngerasa kehilangan mantan kamu itu?" Kutanya Alika.
"Nggak, ada seseorang yang bikin aku sadar kalau aku cuma nangisin orang yang salah, dia juga bilang kalau dia bisa lebih baik dari mantanku itu." Kata Alika.
"Kamu percaya?" Tanyaku.
"Aku percaya sama dia." Jawab Alika.
"Kalau dia khianatin kamu?"
"Nggak akan, aku tahu dia nggak akan lakuin hal sebodoh itu." Kata Alika.
"Perasaan aku ke dia kaya gimana?"
"Aku sayang sama dia, dia berarti banget buat aku, aku nggak akan pernah mau kehilangan dia."
"Dia itu siapa?" Kutanya Alika.
"Cari tahu sendiri aja."
Sebenarnya aku memang sudah tahu bahwa orang yang Alika maksud adalah aku. Aku hanya memancingnya untuk terus mengungkapkan perasaannya.
"Kalau dia nembak kamu, kamu mau terima?"
"Iyalah, nggak mungkin aku nolak orang yang sayang banget sama aku." Kata Alika.
"Berarti kita jadian?" Tanyaku.
"Kita? Maksudnya? Aku kan lagi nggak ngomongin kamu." Kata Alika.
"Udah deh, jangan becanda, aku lagi serius." Kataku.
"Aku nggak becanda, emang dari tadi aku kelihatan becanda?"
"Terus orang yang kamu maksud siapa?" Aku mulai kesal.
"Ih, kok kamu jadi nyolot gitu?"
"Aku ngomong ini itu, tapi kamu jawabnya becanda. Kalau mau becanda nanti aja, ada waktunya kan."
"Kalau orang yang aku maksud itu orang lain gimana?" Tanya Alika membuatku semakin kesal.
"Aku nggak akan mundur buat dapetin kamu, kalau misalkan orang yang kamu maksud itu bukan aku, aku mau terus cari cara supaya aku bisa jadi yang kamu mau."
"Ya sudah, semoga berhasil ya usahanya." Kata Alika.
"Al? Kamu serius atau nggak sih?" Tanyaku.
"Kamu lucu kalau lagi ngambek." Kata Alika.
"Aku pulang aja deh." Kataku.
"Iya, hati-hati dijalan." Kata Alika.
Aku merasa dipermainkan oleh Alika, dia membuat aku mengira bahwa orang yang dia maksud itu memang orang lain. Tapi siapa? Setahu aku Alika tak dekat dengan lelaki lain. Alika sedang mengajak aku untuk bermain, aku ikuti saja.
Aku langsung memutar balik motorku, lalu aku mulai melajukan motorku meninggalkan Alika, tadinya aku sempat mengira bahwa Alika akan memanggilku dan melarang aku pulang. Tapi ternyata tidak, Alika tak memanggilku lagi. Aku sangat kebingungan, aku tak percaya jika ada lelaki lain juga yang mendekati Alika, aku sangat yakin bahwa lelaki yang disayangi Alika itu adalah aku. Mungkin Alika sedang menguji sesuatu dari aku.
Aku tidak langsung pulang ke rumah, aku hanya mampir ke sebuah warung yang tak jauh dari rumah Rani.
Aku menerima pesan di handphoneku, itu dari Alika.
"Alvia, aku mau jadi pacar kamu, aku malu kalau harus ngomong langsung sama kamu. Aku sayang sama kamu."
Aaaahhhhhhhhh, tuh kan, orang yang Alika maksud itu memang aku. Aku ingin sekali berteriak, membuat semua orang tahu bahwa hari ini aku adalah orang paling bahagia di Dunia ini. Usahaku selama ini membuahkan hasil yang sangat baik. Aku dan Alika memang sudah cukup lama saling sayang, dan akhirnya Tuhan izinkan aku dan Alika berstatus pacaran.
Saat itu aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan menyayangi Alika semampuku, aku akan menjaga Alika sekuatku, aku akan menjadi penyebab kebahagiaannya, dan aku akan jadi penghapus dari segala kesedihannya.
Aku kembali ke rumah Rani untuk menemui pacarku, Alika. Aku menghampiri Alika dan Rani sambil senyum-senyum sendiri. Sebenarnya aku malu, tapi saat ini aku tak bisa menutupi bahagiaku.
"Ciye yang baru jadian, makan-makan nih." Kata Rani.
"Alvi, maaf barusan handphoneku dibajak Rani, yang barusan SMS bukan aku." Kata Alika.
Alika membuatku merasa sangat jengkel, dia terus mempermainkan aku. Meski aku tahu itu becanda, tetap saja aku merasa kesal. Aku berniat kembali ke motorku untuk pergi lagi, tapi kali ini Alika menahanku dan memelukku dari belakang.
"Jangan marah-marah terus dong." Kata Alika.
"Kamu ngeselin." Kataku.
"Kan aku bilang kalau kamu lagi ngambek lucu banget."
"Ya tapi jangan gitu juga dong."
"Iya, maaf sayang."
Alika mulai memanggilku sayang. Entah harus dengan cara apa aku bersyukur kepada Tuhan, karena sudah mengizinkanku untuk memiliki Alika, aku berjanji tak akan sia-siakan Alika, aku akan menjaga mahakarya Tuhanku,
"Rayain dong, traktir kek." Kata Rani.
"Pak Yudi hari minggu buka nggak?" Tanyaku.
"Tiap hari juga buka." Jawab Alika.
"Kesana yuk, rayain disana aja, sekalian mau bilang terimakasih, dia udah banyak bantu aku." Kataku.
"Naik apa? Kan motornya cuma satu, aku naik apa?" Tanya Rani.
"Kita naik angkot aja, sambil jalan-jalan." Kataku.
"Ya udah tunggu, aku siap-siap dulu." Kata Rani.
Aku dan Alika saling menatap, aku sangat merasakan kebahagiaan yang hebat, dan aku tahu Alika merasakan hal yang sama. Bahkan aku juga merasa bahwa Rani ikut berbahagia di hari ini.
Saat Rani sudah siap, kita langsung pergi menuju Kantor Alika untuk merayakan hari jadiku di kantin Pak Yudi.
Saat tiba di kantin Pak Yudi, suasananya tak begitu ramai, hanya ada beberapa orang saja, karena ini hari libur.
Pak Yudi langsung menghampiri aku, Alika dan Rani.
"Tumben pada kesini, bukannya libur?" Tanya Pak Yudi.
"Mau rayain yang baru jadian Pak." Kata Rani.
"Oh, udah jadian ternyata, kapan?" Tanya Pak Yudi.
"Barusan Pak, hehe." Kujawab.
"Wah, saya jadi ikut seneng, pada mau makan apa? Nggak usah bayar, anggap saja ini hadiah dari saya." Kata Pak Yudi.
"Serius Pak? Asyik." Kata Alika.
"Iya saya serius."
Pada saat itu aku tak memesan makanan, karena memang aku tak merasa lapar. Aku sangat berterimakasih pada Pak Yudi, dia adalah orang yang sangat baik, orang sebaik Pak Yudi itu sudah jarang sekali ketemukan.
Aku tak bisa menuliskan rasa bahagiaku saat itu, karena mungkin akan menghabiskan ribuan lembar kertas untuk menceritakan apa yang aku rasakan. Intinya, aku bahagia memiliki Alika.
Aku menceritakan awal mula aku menyukai Alika lalu jatuh cinta padanya, mulai dari pertama ketemu di Sekolah, lalu mencari tahu tentang Alika lewat Pak Yudi, dan melewati banyak sekali kejadian yang tak akan pernah aku lupakan.
"Kamu hebat De." Kata Pak Yudi.
"Yang hebat itu Alika, bisa bikin aku segila ini." Kataku.
Mungkin sekarang aku bisa membanggakan diriku di hadapan orang-orang yang selama ini mencoba untuk mendekati Alika. Diantara banyak orang, akulah juaranya, dan aku bangga pada Alika karena tak salah memilih, akulah orang yang paling kuat untuk mencintai Alika.
Setelah merayakan hari jadi di Kantin Pak Yudi, aku, Alika dan Rani langsung kembali ke rumah Rani untuk mengambil motorku lalu mengantarkan Alika pulang.
Saat aku pamit pada Rani, dia berkata sesuatu.
"Yang langgeng ya, jangan ada nangis-nangis lagi, bosen dengernya. Kalian cocok." Kata Rani.
"Aamiin Ran, doain ya." Kataku.
"Makasih banget ya Ran." Kata Alika.
Lalu akupun mengantarkan Alika pulang. Saat perjalanan pulang mengantarkan Alika, Alika memelukku di motor, membuatku sangat merasa nyaman. Aku sengaja memacu motorku dengan kecepatan yang rendah, agar aku bisa bersama Alika lebih lama lagi. Mulai sekarang, aku akan merasakan rasa rindu yang lebih gila dari sebelumnya, satu menitpun sangat berharga untuk bisa bersama Alika.
"Kamu besok potong rambut ya? Biar rapi, udah panjang gini." Kata Alika sambil menarik-narik rambutku yang sudah panjang.
"Nggak mau, biar kelihatan anak musik." Kataku.
"Kalau kamu nggak nurut, kamu bakal tahu akibatnya." Ancam Alika.
"Nggak takut."
"Oh, nantang? Jangan nyesel ya."
Aku pikir Alika hanya mengancamku saja, lagipula dia bisa apa? Aku tak takut, yang aku takuti hanyalah jika Alika pergi dari hidupku.
Saat aku tiba di rumah Alika, kali ini Alika yang mencium tanganku.
"Kamu calon Imamku sekarang." Kata Alika tersenyum.
Aku seperti tak mau beranjak dari situ, aku ingin terus bersama Alika di hari yang indah ini.
"Aku nggak mau pulang, takut disiksa rindu. pengen bareng kamu terus." Kataku.
"Rindu itu apa?"
"Rindu itu masa-masa sunyi tanpa kamu."
"Kan besok ketemu lagi." Kata Alika.
"Iya sayang."
"Manggil apa barusan?" Alika pura-pura tak mendengar.
"Sayang." Kataku.
"Sekali lagi dong."
"Sayang." Alika tersenyum bahagia. Lucu sekali Alika saat itu.
Aku pamit pulang pada Alika, tak sabar untuk menceritakan hari jadiku pada Ibu. Aku yakin Ibu akan sangat senang mendengarnya.
Sebelum aku pulang, seperti biasa, Alika selalu mengatakan kalimat yang sama, tapi ada kalimat yang Alika tambahkan.
"Hati-hati, kalau jatuh pura-pura push up." Kata Alika.
"Iya." Kataku lalu memacu motorku.
"Potong rambutmu, awas kalau besok belum potong rambut." Ancam Alika.
Aku terus memacu motorku, berpura-pura tak mendengar apa yang Alika ucapkan. Aku memang tak mau memotong rambutku, aku memang sengaja memanjangkan rambutku.
"Terimakasih untuk hari ini Alika, pacarku. Maaf jika caraku tak terlalu membuatmu terkesan."

Melepas CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang