Seperti biasa, di pagi hari, yang pertama kulihat adalah foto Alika yang kupajang di kamar. Yang pertama ku dengar adalah suara dengkuran Aska yang masih tidur lelap. Dan yang pertama ku ucap adalah "Selamat pagi Dunia, Ibu, Alika."
Tapi rasa penasaran juga ikut menyambutku di pagi ini. sebenarnya siapa lelaki yang kemarin dijemput Alika? Aku merasa itu hanya akal-akalan Alika saja agar aku tak mendekatinya lagi. Pantas saja Alika bisa sesantai itu kemarin, Alika tak merasa terganggu atau takut sedikitpun, mungkin Alika merasa lelaki itu bisa menjaganya. Saat aku mencari tahu tentang Alika lewat facebook, Alika tidak mencantumkan status berpacarannya, dan aku belum pernah melihat akun facebook lelaki itu mengirim pesan dinding atau apapun ke akunnya Alika. Tapi jika lelaki itu benar-benar pacarnya Alika, aku harus lebih mempersiapkan diri.
Lelaki itu berbadan tegap, badannya berotot, rambutnya cepak, tapi lelaki itu tak lebih tinggi dari aku. Dari segi penampilan, aku tak merasa kalah, aku optimis lebih baik darinya. Tapi aku tak yakin bahwa Alika menilai lelaki tidak lewat penampilannya dulu.
Aku bingung harus mencari tahu tentang lelaki itu kepada siapa. Karena sangat tak mungkin jika aku harus bertanya pada Alika.
Seharusnya aku harus tetap fokus pada Alika, tapi aku hanya mengantisipasi rintangan seperti apa saja yang akan menghadangku nanti.
Sejak kemarin, aku merasa hidup di dalam sebuah pertempuran. Otak yang terus berpikir, hati yang terus berdebar, membuatku tak bisa sedikitpun diam. Aku tak mau membuang banyak waktu, tapi aku belum menemukan cara apa yang akan aku lakukan sekarang.
Tadinya aku mau mencari tahu tentang lelaki itu lewat teman-teman sekolahnya Alika, tapi kupikir sepertinya tak akan membantu. Teman-teman sekolah Alika tak menyukaiku karena aku nakal di sekolah dulu, dan lagipula mungkin sudah jarang berbagi kabar dengan Alika.
Saat Aska terbangun dari tidurnya, aku minta Aska untuk segera mandi karena ada beberapa tempat yang harus ku tuju hari ini.
"Kamu nyuruh aku mandi, tapi kamu sendiri belum mandi." Kata Aska yang masih saja menguap.
"Duluan, aku sambil mikir dulu."
"Mikir apaan?" Tanya Aska.
"Tentang cowok kemarin." Kujawab.
"Oh, ya udah aku mandi dulu." Aska berjalan sempoyongan ke kamar mandi.
Aku berpikir untuk mencari tahu ke rumah Alika, aku belum tahu kepada siapa akan bertanya. Tapi aku yakin akan mendapat sesuatu dari sana. Aku pun segera mandi di kamar mandi bawah. Karena kamar mandi di kamarku dipakai Aska, Aska kalau mandi memang suka lama sekali. Entah apa yang dia lakukan.
Setelah selesai mandi, aku dan Aska sarapan terlebih dahulu, sebelum menjalani hari yang akan melelahkan.
Setelah segalanya siap, aku dan Aska segera meluncur ke rumah Alika, tapi bukan untuk bertemu Alika.
Setibanya disana, aku melihat keadaan di rumah Alika. Rumahnya terlihat sepi, bahkan pintu gerbangnya di kunci dengan gembok. Sudah pasti tak ada orang di dalam.
Aku kembali berpikir. Beberapa meter dari rumah Alika ada sebuah warung kopi. Aku mengajak Aska untuk mampir kesana, karena aku masih tak mau menyerah, aku tak mau pulang sebelum mendapat info yang aku perlu.
Aku dan Aska masuk ke warung kopi itu untuk membeli kopi.
"Kang, pesen kopinya dua ya." Kataku.
"Siap Kang." Kata si pemilik warkop itu. Pemilik warkop itu laki-laki, dari penampilannya dia terlihat masih muda, tak jauh dariku.
"Kang, kenal Alika?" Tanyaku.
"Yang rumahnya disitu?" Dia bertanya balik.
"Iya." Kujawab singkat.
"Oh, kenal Kang. Primadona disini itu. Akang kenal?"
"Iya, temen sekolah saya dulu. Mau ngasih tahu ada acara." Aku berbohong karena tak mau membuat pemilik warung itu curiga.
"Oh, tapi kalau jam segini suka sepi. Alikanya kerja, Ibunya nganter adiknya sekolah." Kata pemilik warung itu.
"Emang di rumah itu cuma bertiga?"
"Iya Kang, ayahnya Alika kan kerja di luar kota." Jawabnya.
"Bukannya Alika itu udah nikah ya Kang?" Aku mencoba mengarahkan pembicaraanku.
"Belum ah, kata siapa?"
"Kemarin saya ketemu Alika di Bandara, dia sama laki-laki, nggak tahu jemput, nggak tahu nganter."
"Yang tentara?" Tanya si pemilik warung.
"Iya Kang." Kataku.
"Oh, itu masih pacarnya Alika, belum jadi suaminya. Kemarin itu, pacarnya Alika mau kembali ke luar kota buat tugas lagi."
"Udah lama mereka pacaran?" Tanyaku.
"Setahu saya sih belum sampai setahun. Kalau pacarnya Alika kesini, dia suka beli kopi disini. Makanya saya agak kenal." Katanya.
"Oh, gitu Kang. Pas kemarin ketemu, saya kira suaminya. Ternyata bukan. Jadi sekarang nggak disini pacarnya si Alika?"
"Iya, kan kemarin berangkat tugas."
"Lama?" Tanyaku.
"Biasanya sih dua bulan sekali juga pulang."
Sekarang aku tahu, lelaki yang kemarin itu memang pacarnya Alika. Dan dia adalah seorang tentara.
"Jangan takut Al, siapapun punya hak buat memperjuangkan rasa cinta. Siapapun yang mencoba menghadang, jangan pedulikan. Sebelum ada cincin melingkar di tangan Alika, dia masih wajar untuk dikejar." Aku seperti berbicara pada diri sendiri.
Setelah kurasa cukup dengan informasi yang kudapat dari penjual kopi itu, aku mengajak Aska untuk pulang dulu.
"Jadi berapa Kang?" Tanyaku.
"Lima ribu aja Kang." Jawabnya.
"Terimakasih ya Kang. Saya permisi." Kataku lalu menyerahkan uang lima ribu rupiah.
Aku dan Aska kembali menuju ke rumah membawa sedikit informasi tentang pacarnya Alika. Aku harus memikirkan apa yang akan aku lakukan selanjutnya.
Aku memacu motorku dengan kecepatan rendah.
"Gimana sekarang Al?" Tanya Aska.
"Gimana apanya?" Kutanya balik.
"Mau lanjut ngejar Alika?"
"Lanjutlah, masa nyerah." Kujawab.
"Saingan sama tentara?"
"Emang kenapa tentara?"
"Nggak takut ditembak?" Tanya Aska.
"Nggak, kalau di tembak tinggal tolak aja, bilang aja aku nganggep dia cuma temen." Kataku.
"Nyesel nanya, nggak pernah serius." Aska kesal. "Kalau sampai ada apa-apa sama tentara itu aku nggak ikutan ah, bukan buat dilawan." Kata Aska.
"Emang aku mau ngapain dia?"
"Nggak tahu, kamu suka nekad Al."
"Nggak lah, sekarang main otak. Lagian aku cuma pengen tahu tentang dia aja. Nggak akan di apa-apain." Kataku.
Aska tak menjawab apapun. Aska tak ingin aku berurusan dengan tentara itu karena takut akan menjadi urusan yang panjang. Aska selalu berada di belakangku setiap aku memiliki masalah yang harus berujung dengan kekerasan. Tapi kali ini Aska sudah memperingati aku bahwa dia tak akan membantu andai terjadi keributan dengan tentara itu.
Aku sempat menilai cara berpikir Aska terlalu berlebihan. Aku hanya ingin tahu seberapa berat lelaki itu untuk ku singkirkan dari kehidupan Alika. Lagipula aku tak akan berurusan dengan tentara itu. Kecuali dia menyakiti Alika. Aku akan tetap fokus pada Alika. Aku sayang Alika, bukan sekedar suka atau kagum, entah sejak kapan aku merasakan itu.
Setibanya di rumah, aku merasa sudah cukup untuk hari ini. Untuk selanjutnya, biarlah mengalir sendiri. Akan selalu ada ide-ide cantik di pikiranku.
Aku beristirahat, hari ini cukup melelahkan. aku akan tidur siang. Sebelum aku tidur, aku mengirim pesan pada Alika.
"Alika, aku dapat bocoran dari Tuhan. Jodoh kamu itu bukan lelaki yang kemarin kamu tunjukkan padaku. Jangan kecewa, katanya Tuhan akan segera menggantinya dengan yang lebih baik. Tunggu aku. Aku sayang kamu."
Alika, wanita cantik itu milik seorang tentara, dan aku hanyalah seorang anak kecil yang hanya bermodalkan nekad untuk masuk ke kehidupan mereka. Aku cinta Alika, aku sayang Alika. Wajar jika aku tak mau menyerah meski aku tahu Alika milik orang lain, milik seorang prajurit. Tapi lihat saja nanti, kita akan segera tahu siapa juaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melepas Cinta
RomanceAku cinta dia, dan aku tahu dia punya rasa yang sama. Dia lebih dari sekedar berarti bagiku, dia bagian penting di hidupku. Disaat Tuhan izinkan aku dan dia bersama. Ada sesuatu yang tak bisa dia lawan, hingga akhirnya membuat dia pergi dari hidupku...