Beberapa hari setelah hubunganku berakhir dengan Alika, aku masih saja tak bisa untuk berhenti memikirkannya, tak bisa untuk berhenti menyebut namanya, tak bisa begitu saja kubuang semua harapanku darinya, bagaimana mungkin bisa secepat itu aku melupakan Alika saat aku mencintainya lebih keras dari apapun, bahkan tak ada sedikitpun niat dariku untuk melupakan dan berhenti mengharapkan Alika. Aku merasa kehilangan semangatku untuk melakukan apapun, seakan aku kehilangan separuh fungsi dari ragaku, seperti burung kehilangan sayapnya, seperti gajah kehilangan belalainya.
Aku kembali membujuk Alika untuk tidak pergi meninggalkan aku. Sebagai lelaki, harga diriku sudah tak tersisa sedikitpun. Aku tak peduli, karena aku cinta Alika, aku ingin dia kembali, aku tak ingin dia pergi.
Aku mencoba menghubungi Alika dengan berbagai cara. Meski Alika tak pernah membalas pesanku, menjawab telponku, aku yakin dalam hatinya Alika tidak sedikitpun berniat melakukan itu padaku. Aku yakin ada sesuatu yang menghalanginya yang tak bisa Alika lawan. Aku yakin orang tua Alika yang melarangnya untuk berhubungan lagi dengaku, aku ingin sekali berkata, "Pak, Bu, jika Kalian ingin segera menikahkan putri sulung Kalian, aku siap kapan saja. Jangan karena aku baru lulus sekolah, masa depanku masih panjang, dan tentunya belum punya apa-apa, Kalian bisa dengan mudahnya melarang Alika berhubungan denganku, sebesar apa kesalahanku di mata Kalian? Aku bisa menjamin aku tak akan membawa putri sulung Kalian pada kesengsaraan, aku tahu Kalian sangat menyayangi putri sulung Kalian, Kalian harus tahu bahwa aku pun begitu. Aku akan menjadi pelindungnya, aku tak akan membiarkan setetes air mata keluar membasahi pipinya, aku takkan membiarkan siapapun mengganggu kenyamanannya, kecuali orang itu rela kehilangan salah satu anggota tubuhnya. Aku takkan membiarkan siapapun menggores hatinya, bahkan jika aku sendiri yang melakukannya, pada saat itu juga aku akan membenci diriku sendiri. Aku bisa jadi pemimpin yang baik meski umurku tiga tahun lebih muda dari Alika. Pak, Bu, Aku mencintai putri sulung Kalian lebih dari yang Kalian tahu, bahkan mungkin jauh melebihi dari yang kalian rasakan."
Esok harinya, aku menemui Aska untuk mengajaknya ke suatu tempat yang mungkin bisa membuatku sedikit melupakan Alika. Aku dan Aska pergi ke sebuah bukit yang cukup terkenal di Kota Bandung, cocok untuk berteriak sekencang-kencangnya meneriaki apa yang baru saja terjadi padaku. Pada saat itu, Aska memang tak banyak berbicara padaku, mungkin karena dia bisa mengerti apa yang sedaang kurasakan.
Dari atas Bukit, aku menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang, indah sekali rasanya jika seseorang yang berada di sampingku adalah Alika, salah satu harapanku dulu bisa menyaksikan kekuasaan Tuhan bersama-sama dengan Alika.
Aku ingin menemui Alika, ingin berbicara dengannya, kalaupun untuk yang terakhir, tak apa. Aku tak mampu lagi menaha rasa rinduku meski sekarang Alika bukan lagi pacarku.
"Lat, aku mau ke rumah Alika." Ajakku pada Aska.
"Ngapain Al?"
"Pengen ketemu."
"Jangan Al, sudahlah, jangan menyiksa diri kamu kaya gitu." Aska menolak ajakanku karena Aska tak mau melihatku lebih terpuruk meratapi kenyataan seperti ini. Dia memang sahabat yang lebih dari sekedar baik untukku.
"Janji deh, ini terakhir." Ku bujuk Aska. Dalam hatiku, tak mungkin aku menjanjikan hal seperti ini.
"Bener?" Tanya Aska.
"Iya."
Aku dan Aska pergi menuju ke Rumah Alika. Perasaanku sangat itu campur aduk. Ada rindu, takut, malu, kesal, dan masih ada beberapa lagi yang tak bisa ku ungkapkan.
Setibanya di sana, aku tidak memberhentikan motorku di depan rumah Alika, aku menyimpannya agak jauh dari rumah Alika. Aku ingin mengamati keadaan sebelum aku masuk ke rumahnya. Dari jauh aku melihat ada sebuah sepeda motor yang terparkir di halaman rumah Alika, sepeda motor itu berwarna khas seperti kendaraan milik tentara pada umumnya.
Aku yakin ada seorang tentara di rumah Alika, aku meminta Aska untuk tetap di dekat motor, untuk antisipasi bila terjadi sesuatu. Aku memperhatikan lebih dekat, melihat ke ruang tamu , dan disana ada Alika, Ibunya Alika, dan seorang tentara yang merupakan mantan kekasih Alika dulu. Tentu saja aku tak bisa menahan diri untuk segera masuk ke dalam. Tapi Aska mencoba menahanku.
"Jangan Al, mau ngapain? Udah pulang aja deh yuk." Kata Aska merasa khawatir akan terjadi keributan.
"Mau masuk, ngobrol doang." Kataku.
"Nggak usah deh, nanti lagi aja Al, nggak akan bener, pikiran kamu lagi nggak bagus." Kata Aska menarik tanganku.
"Nggak Lat, nggak akan sampe ada keributan kok, aku janji."
"Ah, aku nggak percaya, aku tau kamu Al, kalo kamu sayang Alika, sudahlah, jangan ngelakuin hal bodoh."
"Aku nggak akan ngelakuin hal bodoh Lat, Aku sayang sama Alika, aku cinta dia, makanya dia harus tahu malam ini juga, apalagi Ibunya." Kataku melepaskan tangan Aska dari tanganku dan aku langsung masuk lewat halaman rumahnya. Pada saat itu Aska sudah tak sanggup lagi menahanku.
Aku masuk perlahan melihat keadaan di dalam ruang tamu dari teras rumah. Dari yang kulihat, Aku melihat Ibunya Alika dan tentara itu sedang membicarakan sesuatu, mereka terlihat sangat ceria, kecuali Alika. Aku langsung masuk ke ruang tamu tanpa mengetuk pintu yang memang sudah terbuka. Aku tak mempedulikan etika ataupun kesopanan pada saat itu.
Pada saat aku berdiri di dekat pintu, semua merasa kaget dengan keberadaanku yang secara tiba-tiba.
"Kamu ngapain kesini?" Kata Alika yang langsung berdiri dan menarik tanganku untuk membawaku keluar rumah.
"Diam, aku mau ngomong sama Ibu kamu." Kataku.
"Hey, jangan kasar! Dia calon istriku!" Kata tentara itu berdiri menghampiriku.
Aku kaget, benarkah Alika akan dinikahi oleh tentara itu? Aku berdiri berhadapan dengan tentara itu, Aku merasakan Alika menarik tanganku sekuat tenaganya. tapi dalam situasi seperti itu, Aku yakin Alika tak akan mampu menarikku selangkahpun. Aku berdiri berhadapan dengan tentara itu, saling menatap tajam, aku tak sedikitpun merasa takut, bahkan dari postur tubuhpun aku masih lebih tinggi darinya. Tanganku sudah mengepal, tapi aku tetap menjaga kedewasaanku di depan Alika. Aku melihat Ibu Alika yang mulai sibuk dengan telpon genggamnya seperti sedang menelpon seseorang, mungkin Ia sedang menghubungi keamanan setempat.
"Minggir mas, saya mau bicara sama Ibu" Kataku meminta agar Ia menyingkir dari hadapanku. Tapi tentara itu tak mau beranjak dari hadapanku, dan menatapku seolah siap untuk bertempur. Tapi pada saat itu aku tak sedikitpun berniat untuk membuat keributan, bukan karena takut. Aku tak takut.
"Alviaaaaa! Sudah! Ayo keluar" Teriak Alika sambil terus berusaha menarikku keluar.
"Mas, sekali lagi tolong minggir." Kataku dengan nada yang lebih tegas.
Tentara itu tetap tak mau menyingkir dari hadapanku. Aku mendengar Ibunya Alika menelpon seseorang, dan benar saja perkiraanku, Ibunya Alika menghubungi pihak keamanan kompleks.
Aku mulai kesal, aku menarik tubuh si tentara itu untuk menyingkir dari hadapanku hingga tentara itu hampir terjatuh. Tentara itu hampir memukulku tapi Alika menahannya. Sekarang aku sudah berhadapan dengan Ibunya Alika, aku melihat dengan jelas tubuhnya bergetar hebat seakan benar-benar takut padaku yang datang seperti pemberontak.
"Bu, apa Ibu yakin memilih dia sebagai pelindung putri Ibu? Ibu yakin dia bisa melindungi putri Ibu?" Kataku pada Ibu sambil menunjuk si Tentara. "Kalau Ibu yakin orang ini bisa melindungi putri Ibu, lantas untuk apa Ibu masih meminta bantuan keamanan setempat saat saya datang kesini?" Nada bicaraku semakin keras tak terkendali sambil tetap menunjuk sang tentara.
"Hey! Apa maksud kau bicara macam itu?!" Kata tentara itu seperti ingin menerkamku tapi tetap Alika masih bisa menahannya.
"Ibu tahu? Sebesar apa rasa cinta saya pada putri Ibu? Ibu harus tahu! Ibu harus tahu apa yang membuat saya berani berbicara seperti ini di hadapan Ibu dan lelaki yang katanya calon suaminya Alika ini. Itu semua karena aku cinta putri Ibu. Ibu harus tahu seberapa penting Alika di kehidupan saya." Aku berbicara seperti bukan di hadapan orang tua, aku benar-benar kehilangan etika dan kesopananku saat itu.
Ibunya Alika tak bisa menjawab apapun, Ia hanya memandangku dengan penuh rasa takut. Aku juga sesekali memandang Alika yang saat itu terlihat mulai menangis. Aku yakin ini pertama kalinya Alika melihatku berontak seperti ini.
"Ibu ingin agar Alika segera menikah? Bukan terus-terusan berpacaran lalu putus? Saya siap kapan saja Bu. Saya tidak akan meninggalkan Alika bagaimanapun keadaannya. Silakan tanya Alika, siapa yang dia cintai, saya ataukah orang ini? Ibu rela membiarkan Alika berpura-pura bahagia?" Tak terasa ternyata aku meneteskan air mata, aku tak bisa menahan emosi dan kesedihanku.
Aku merasa dirasuki sesuatu hingga bisa berbicara seperti itu, meski sebenarnya apa yang aku lakukan tidak akan merubah apapun, tapi setidaknya aku bisa meluapkan semua yang aku pendam. Mungkin aku sudah kehabisan cara. Mengapa jadi begini? Mengapa harus berakhir seperti ini? Mengapa ada orang yang seberani itu merebut Alika dariku? Mengapa aku bisa melakukan hal bodoh yang pasti membuat penilaian Ibunya Alika semakin buruk? Aku semakin tak bisa menahan air mataku.
"Hey!" Kataku mengalihkan pandanganku pada si tentara. "Aku akan melepas Alika, tapi ingat! Sekali kudengar dia menangis karena kau, jangan harap kau masih bernafas esok hari!" Kataku.
Aku mengalihkan pandanganku pada Alika sebelum aku pergi keluar dari rumah Alika. Aku melihat Alika sangat terpukul dengan kejadian ini. Maafkan aku Alika, tak seharusnya aku seperti ini, ini diluar kendaliku, sama seperti aku mencintaimu, diluar kendaliku. Aku menyayangimu.
Saat aku berjalan di halaman rumah Alika, ada dua orang satpam yang baru saja tiba, aku masih kesal, sedih, sangat tak karuan. Aku berteriak sambil menunjuk dua satpam itu.
"Ngga usah repot-repot, saya bisa keluar sendiri!"
Akupun melangkahkan kakiku keluar dari rumah Alika dengan sangat berat sambil menyesali apa yang sudah terjadi, menyesali pertemuan pertama di acara reuni itu.
Saat aku berjalan menghampiri Aska yang menunggu di motorku aku melihat Alika yang berlari mengejarku dan berteriak memanggilku.
"Alviiiii...." Teriak Alika. Saat Alika sudah sangat dekat denganku aku membalikkan badanku dan Alika memelukku sangat erat. "Jangan pergi." Kata Alika sambil tetap menangis.
Alika menangis di pelukanku, mungkin ini akan menjadi pelukan terakhirnya untukku. Aku membiarkannya memelukku, tapi aku tak membalas pelukannya.
Setelah beberapa saat Alika memelukku, Aku melepaskan pelukannya dari tubuhku, memegang bahunya, lalu menghapus air matanya. Aku melihat kesedihan yang sangat mendalam dari mata Alika. Sumpah, aku juga merasakan itu Alika, kau harus tahu.
"Pulang Alika."
"Nggak, aku mau kamu."
"Hey, jangan nangis di depan aku" Kataku menghapus air matanya lagi.
Alika memelukku lagi, tapi kali ini aku juga memeluknya, mengusap rambutnya, dan aku tak ingin melepaskannya, tapi aku tahu itu harus kulakukan.
"Aku sayang sama kamu Al." Kata Alika.
"Iya aku tahu, sebesar apapun rasa sayang kamu ke aku, kamu harus lebih sayang sama Ibu. Kamu harus nurut sama Ibu."
"Maafin aku Al, aku nggak pernah mau kaya gini."
"Aku yang harus minta maaf, bikin kamu malu di depan calon suami kamu"
"Nggak, dia bukan calon suami aku, aku nggak mau dia, aku mau kamu."
"Alika, dia juga sayang sama kamu kok, dia pasti bisa jagain kamu sama Ibu kamu."
"Andai menyalahkan takdir Tuhan tidak dosa, sudah pasti aku lakukan." Kata Alika.
"Jangan, jangan gitu. Kamu pulang ya, jangan khawatir, aku tetep jagain kamu kok, dari jauh. Masih inget apa aja yang aku jaga di Bumi?"
"Ibu kamu, harga diri kamu, dan..."
"Kamu." Kataku memotong pembicaraan Alika.
Masih banyak yang ingin aku bicarakan pada Alika, tapi aku tidak mau membawa Alika dan diriku sendiri merasakan kesedihan yang lebih dalam. Pergilah Alika, jangan khawatirkan aku, aku akan baik-baik saja, semoga. Bahagiamu, bahagiaku juga.
Aku melepas Alika dari pelukanku tanpa berbicara apapun lagi. Begitupun Alika, Ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku melangkahkan kakiku meninggalkan Alika yang masih tak bisa berhenti menangis. Aku menghampiri Aska yang dari tadi menyaksikan bahkan mungkin mendengar apa yang aku bicarakan dengan Alika. Aku pun naik ke motorku dan berlalu meninggalkan tempat yang menjadi bagian dari kenangan terindah di hidupku.
Di perjalanan, aku dan Aska tak banyak berbicara, meski aku tahu sebenarnya Aska sangat penasaran dengan apa yang terjadi barusan. Akhirnya Aska memberanikan diri untuk bertanya tentang apa yang terjadi.
"Tadi gimana Al?" Tanya Aska.
"Ya, gitu deh." Kujawab singkat.
"Kok tadi ada dua satpam lari-lari ke rumah Alika?"
"Oh iya, tadi dua satpam itu di telpon Ibunya Alika, mau ngadain semacam upacara."
"Acara apa?" Tanya Aska semakin penasaran.
"Alika, dia diambil alih seorang prajurit" Kataku mencoba mencairkan suasana. Aku dan Aska tertawa, mungkin kalian mengira senyum dan tawaku saat itu palsu. Sepertinya, kalian benar.
Malam pun tiba, ini menjadi malam paling berat yang harus aku lewati. Malam itu aku tersedu menangisi tentang aku dan Alika yang mungkin akan segera menjauh, menghitung setiap jengkal rindu yang harus ku tempuh. Aku lelah, aku rindu kita yang dulu, aku berharap masih bisa menyentuhnya, tapi dia hanya tinggalkan bayangan semu. Aku takut harapan-harapan lain menyentuhnya jauh lebih dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melepas Cinta
RomanceAku cinta dia, dan aku tahu dia punya rasa yang sama. Dia lebih dari sekedar berarti bagiku, dia bagian penting di hidupku. Disaat Tuhan izinkan aku dan dia bersama. Ada sesuatu yang tak bisa dia lawan, hingga akhirnya membuat dia pergi dari hidupku...